Ada kalanya kenangan terbaik itu malah dapat menghancurkanmu.
~One Gift for Alvan~
...
Matahari mulai terbenam, burung-burung tampak berterbangan menghiasi langit senja. Via yang baru saja turun dari angkutan umumnya itu tampak kelelahan, jam kuliah pagi hingga sore benar-benar membuat tenaganya terkuras habis-habisan, bukan lama karena belajar, tapi lebih tepatnya lagi lama menunggu jeda waktu dari jadwal yang sudah ditentukan.
Gadis yang daritadi memperhatikan langit jingga itu akhirnya mulai berjalan, kakinya terangkat tinggi-tinggi melintasi perumahan kumuh yang terlihat becek akibat ditimpa hujan selama dua puluh menit tadi.
"Kak Via!!"
Via mengangkat kepalanya, kedua sudut bibirnya terangkat seketika memperhatikan si pemanggil nama. Bukan hanya seorang yang memanggilnya, tapi bisa sekitar sembilan atau sepuluh anak kecil dengan rata-rata usia baru saja menduduki delapan tahun.
Mata Via menyipit senang, seraya melambaikan sebelah tangannya.
Tanpa basa-basi lagi anak-anak itu keluar dari satu pondok kayu yang kecil lalu berlari menghambur memeluk Via.
"Kak, kita kangen sama kakak," ucap seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua, kaos merah mudanya tampak kotor dan warna yang hampir pudar.
Via mengangguk, mengacak rambut anak-anak itu satu persatu. "Kakak juga kangen adik-adik kakak. Oh ya! Kakak bawa hadiah loh..." ucap Via, mengerling jail, berhasil membuat anak-anak itu berloncatan, sambil bertanya-tanya penasaran.
"Mau buka sekarang apa besok?"
"Sekarang!!" jawab anak-anak itu serempak.
Via tertawa pelan, lalu berjalan diikuti anak-anak itu ke arah pondok kembali. Jika ditanya tempat apa yang menjadi favoritnya, maka ia akan menjawab pondok ini, bukan mall, bukan pantai, dan bukan tempat rekreasi lainnya. Percayalah, tempat ini jauh lebih seru dari rekreasi.
Ia daratkan tubuhnya ke tempat beralas kayu itu lalu tersenyum, memperhatikan rak-rak buku yang tertera disekelilingnya. Sengaja ia meletakkan buku-buku itu disana, mengingat dirinya yang gila-gilaan ingin membuat perpustakaan mini untuk anak-anak jalanan.
Tempat ini seperti rumah, memberikan rasa nyaman dan tempat dimana kita mengenal arti cinta sesungguhnya.
"Crara!!"
Senyum anak-anak itu merekah seketika, mata-mata bulat itu berbinar memperhatikan dua buku tebal dan sekotak cake ditangan Via. Sebelum berakhir dengan berebutan buku bacaan dan makanan, secepat mungkin Via membagi dua kelompok, 5 orang di samping kanannya dan 5 orang di samping kirinya?
5 orang di samping kiri? Via mencondongkan tubuhnya, hanya ada 4 orang di samping kirinya, lalu kemana perginya satu anak lagi?
"Kak Via."
Via menoleh ke belakang, dihembuskannya napas lega. Ternyata satu anak lagi, berada di belakangnya. Rian, anak laki-laki itu menyodorkan selembar foto ke arah Via.
"Punya kakak kan?"
Via mengobrak-abrik dalam tasnya, lalu tersenyum, mengambil selembar foto dari tangan anak itu. Rian duduk di sebelah kiri Via, masih menatap kakaknya itu dengan penasaran. "Itu foto apa kak?"
"Hmm?" Via mengangkat sebelah alisnya, bibirnya terkulum, tersenyum malu. Ia menunduk memperhatikan foto itu, tampak dirinya yang masih duduk di bangku sekolah tengah mengikuti sebuah lomba cerdas cermat, dan di samping kelompoknya ada satu kelompok lagi yang beranggotakan tiga orang laki-laki.
"Kak Via, kak Via! Abang yang ini ganteng loh kak. Teman kakak ya? Abang ini mau enggak main sama kita? Nayla mau ketemu, Nayla mau minta diajarin pelajaran yang kali-kali kak, soalnya Nayla belum ngerti," sambar perempuan kecil di samping kanan Via.
Via tertawa pelan, memperhatikan objek foto yang ditunjuk oleh Nayla. Seorang cowok tengah serius memperhatikan Via yang menjawab pertanyaan dengan mic-nya, kedua alis tebal cowok itu nyaris menyatu, dan jangan lupa mata bundarnya yang membuat cowok itu malah menjadi tampak imut.
"Kakak kok ketawa? Lucu ya?"
Berusaha mungkin Via mengangguk. Lucu? Entahlah, perasaannya mendadak berubah mengingat Alvan yang berada di kampus, hari ini begitu banyak kejadian yang dialaminya, bertemu dengan Alvan, dibentak Alvan, terlambat masuk kelas hingga membuat dirinya terpaksa duduk di samping cowok itu, dan...
Via menggeleng, memasukkan foto itu ke dalam buku binder-nya kembali. Sampai-sampai pulang dari kampus pun ia harus terlibat dengan cowok itu.
"Nama teman kakak yang di foto itu siapa?" tanya Rian. Heran, anak laki-laki itu terkadang selalu tampak dewasa dibandingkan anak lainnya.
Via memejamkan matanya sejenak, lalu tersenyum tipis, berusaha menikmati angin senja yang berhasil menggoyangkan ujung rambutnya.
"Alvan."
___
"Alvan pulang," gumam Alvan, melangkahkan kakinya ke dalam rumah dengan malas. Ia lewati ruang tengah lalu menaiki tangga untuk menuju ke dalam kamar. Sesampainya, ia lempar tas dan kunci mobil, begitu juga dengan tubuhnya ke atas ranjang.
Alvan memejamkan mata, seraya memukul kasurnya dengan kuat. Rumah. Entah sejak kapan ia mulai tidak betah tinggal di tempat ini. Bukan hanya rumah, di kampus, di jalan, bahkan disemua tempat rasanya ia tidak betah.
Seluruh tempat itu seakan-akan mengganggunya, mengejeknya, dan menyakitinya.
Perlahan Alvan menghembus napas panjang, menutup mata dengan sebelah lengannya. Sungguh beda dengan dirinya yang dulu. Dulu, saat ia pulang sekolah, ia selalu disambut oleh kedua orang itu, melihat senyumnya, bahkan ia ingin cepat-cepat duduk di ruang tengah untuk berkumpul dan menonton acara televisi bersama keluarganya itu.
Tapi sekarang? Lihat saja apa yang terjadi saat ia menginjakkan kaki ke dalam rumah ini. Sepi, tak ada suara, apalagi suara yang menyambut kepulangannya. Padahal di ruang tengah tadi ada papa yang tengah sibuk dengan tugas di laptopnya, dan mama-mungkin-tengah berada di dapur untuk menyiapkan teh untuk papa.
Perbedaan yang drastis, dirinya yang sekarang sungguh seperti dijauhi.
Alvan tersenyum sinis. Baiklah, mungkin ada yang beranggapan dirinya terlalu kekanak-kanakan. Dirinya sudah beranjak 19 tahun dan tidak seharusnya ia berpikir seperti ini. Harusnya ia berpikir, wajar jika papa sibuk, papa bekerja untuk keluarga, begitu juga mama yang bukan hanya bekerja untuk membantu papa, mama juga harus melayani keluarga.
Tapi...
Alvan menggertak giginya geram, sekali lagi ia memukul kasur begitu tenggorokannya seakan tercekat. Tapi, jika orang-orang itu sibuk, tak bisakah papa dan mama berbicara sedikit dengannya? Hanya sekedar bercanda, dan demi apapun Alvan memohon, jangan berbicara tentang pekerjaan, kuliah, ataupun pembicaraan yang menghakimi dirinya.
Sungguh! Ia bisa stress sekarang!
Perlahan kedua mata bundar itu terbuka, memperhatikan langit-langit kamarnya dengan sayu. Wajahnya benar-benar tampak kelelahan, benar-benar lelah dengan segala jenis pikiran gila, dan belum lagi dengan hal-hal yang menuntutnya untuk bersikap dewasa.
Bersikap dewasa?
Alvan menggeleng pelan, ia pejamkan matanya kembali, seraya berusaha melemaskan tubuhnya agar segera tertidur. Biarlah ia pulang langsung tertidur sekarang, tanpa mencuci muka, berganti baju, bahkan membersihkan tubuh lebih dahulu. Dirinya juga sudah besarkan? Ia harus pandai-pandai sendiri, dan...
Harus bisa hidup sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATSFN SERIES : One Gift for Alvan
Ficción General"Kenapa ada warna hitam dibalik warna putih? Kenapa ada kata buruk dibalik kata baik?" Itulah yang menjadi pertanyaan seorang Alvaranda Manathan sekarang. Dirinya yang dulu selalu hidup tanpa beban kini malah berubah menjadi sebaliknya. Semua kesen...