Tak selamanya manusia yang kuat akan senantiasa kuat. Ada saatnya mereka mengalami sisi kerapuhannya.
~One Gift for Alvan
...
Tiga hal yang paling menyakitkan dalam hidup bagi Alvan adalah, kesepian, masa lalu, dan cinta.
Cinta?
Cowok berwajah datar itu keluar dari kelas seraya membenarkan sandangan ranselnya, kakinya terus melangkah lalu berhenti tepat di depan pagar pembatas di sekitar koridor lantai dua, tubuhnya ia condongkan memperhatikan lapangan yang tengah mengadakan acara di sana.
Tampak ramai, berisik, dan begitu banyak hal yang menyakitkan di sana.
Diam-diam Alvan menggertak giginya geram, kedua tangan yang saling bertautan itu semakin ia genggam dengan erat.
Kesepian sudah dipastikan hal yang menyakitkan baginya. Jujur saja, dulu ketika ada Alvin dirinya tak pernah merasa kesepian seperti ini. Meskipun Alvin selalu menganggapnya musuh, menjauhnya, dan memperhatikannya tidak enak. Tapi ia tidak merasa kesepian, papa dan masih menemaninya. Kedua orangtua itu selalu melimpahkan kasih sayang yang cukup padanya.
Bahkan bisa dikategorikan kelewat cukup.
Masa lalu? Percayalah. Alvan benar-benar tak ingin membahas hal seperti itu sekarang. Dirinya sudah cukup terikat dengan masa lalu. Dari awal menginjak universitas hingga sekarang.
Masa lalu melemahkannya, masa lalu membuatnya tidak bisa bergerak maju, masa lalu emmbuat dirinya senantiasa membanding-bandingkan kehidupannya yang dulu hingga sekarang.
Begitu jauh jika dulu dirinya memberi hidupnya dengan nilai sepuluh maka sekarang lupakan saja angka satu itu.
Tak ada lagi yang namanya hidup, tak ada lagi yang namanya kebahagiaan, dan lupakan saja apa makna dari cinta yang sesungguhnya.
Cinta tak jauh bedanya dengan kesakitan. Memang awalnya membuat seseorang bahagia, lalu nyaman, dan akhirnya berujung dengan kesakitan. Sakit yang amat sangat.
"Yosh Van!" panggil Hendra, menepuk pundak Alvan, yang tengah berdiri tegak di sudut lapangan sekolah seraya memperhatikan acara di lapangan sana.
Seluruh murid berseragam olahraga biru tua tengah menikmati acara, ada yang berteriak histeris karena pesona si pengisi acara panggung dan ada pula yang berlonjak kegirangan ketika mendengar musik beat yang sesekali mengalun di sana.
"Enggak nonton pensi lo?" tanya Hendra, menaruh lengannya di sebelah pundak Alvan. Alvan menatap lurus tanpa niat nemperhatikan Hendra di sebelahnya.
"Enggak selera gue di tempat ramai-ramai kayak gitu," jawab Alvan malas. Melipat kedua tangan, seraya memicingkan mata menghalangi terik matahari yang menyilaukan pandangannya.
"Enggak selera atau enggak punya teman lo mau heboh-hebohan di sana?"
Sontak, Alvan menoleh, menggertak giginya geram. Mungkin Hendra benar, dirinya juga benar, ia malas untuk pergi ke tengah lapangan sana sendirian. Aneh rasanya hanya berdiri dan menonton di tengah keramaian.
Teman? Jujur saja, dari ia duduk di bangku sekolah dasar dulu hanya beberapa teman yang ia punya bisa dihitung dengan jari. Dan setelah lulus sekolah sudah dapat dipastikan orang-orang itu entah pergi kemana.
Jika ia satu sekolah dengan mereka pun, ada kalanya mereka berubah. Meninggalkan teman lama demi teman barunya.
Membosankan.
Hendra menyengir, menepuk-nepuk pundak Alvan dengan kuat. "Tenang gue bercanda. Lo kan teman gue. Mau jajan enggak lo?"
Alvan sedikit terlonjak. Pandangan yang daritadi menyipit tajam, seakan tak tersentuh itu kini sedikit takjub, heran kenapa ada orang yang berteman dengan orang seperti dirinya.
Alvan menggeleng. Rasa was-was masih menghantuinya.
"Gue enggak mau nerima penolakkan," sambar Hendra, mulai melangkahkan kakinya.
Tak menerima penolakan? Alvan menghembus napas panjang, berjalan menyamakan langkahnya dengan Hendra. Teman? Sahabat?
Bolehkah ia menganggap Hendra sebagai sahabatnya sekarang?
"Sial," Mendadak nada kutukan lolos terlontar dari mulut Alvan. Cowok yang setengah menerawang memperhatikan acara pensi di kampus itu, memukul tiang pembatas dengan kuat.
Sial, ingin sekali ia mengutuk sepuas-puasnya, meskipun sejujurnya ia tak tahu pasti untuk siapa kutukan itu ditujukan. Untuk dirinya? Hendra? atau masa SMA-nya?
Bodoh, Hendra sahabat pertama yang ia punya. Satu orang yang berhasil membuat rusuh di masa sekolah dan orang itu sedikit membuatnya tampak hidup. Bukan kaku layaknya patung.
Lalu Veny, Alvin, Olive. Barulah orang-orang itu muncul satu persatu, mewarnai hidupnya, membuat dirinya nyaman, dan pikirannya jauh terbuka lebar hingga menjadi tampak kebih dewasa.
Dewasa?
Napas Alvan seakan terhenti. Dulu dirinya bisa bersikap dewasa karena keempat orang itu. Orang-orang itu seakan-akan tidak membiarkan dirinya kesepian dan jujur saja, bahkan ia sempat lupa bagaimana rasanya kesepian.
Di sekolah, ia ditemani sahabat-sahabatnya itu. Di rumah? Ia ditemani Papa Mama. Hati seorang Alvaranda Manathan sangat terlindungi kala itu, tak pernah kekurangan kasih sayang dan berlimpah dengan kebahagiaan.
Tiga tahun yang menyenangkan. Namun sekarang?
"Papa sama mama sibuk, kamu sudah besar, seharusnya enggak perlu sampai papa suruh makan."
Sungguh, napas Alvan serasa sesak sekarang. Dikerjapkan mata dengan cepat alih-alih mencoba mengusir air yang hampir menggenang di pelupuk matanya.
Pergi. Semua orang pergi seakan-akan menjauhinya. Seolah-olah menampar dirinya begitu kuat dan mengatakan jangan terlalu berharap, tiga tahun yang ia lewati hanya mimpi indahnya belaka.
Sakit.
Begitu sakit.
Dan ia ingin secepat mungkin mengakhirinya.
____
Hai...
Selamat malam minggu
Udah lama Alpan enggak update wkwkkwkUntuk minggu depan aku usahakan update, soalnya udah ada draft juga yang kubuat. Mumpung masih liburan 😁
Kunjungi ceritaku yang lainnya juga.
Thanks for reading guys! I hope you enjoy it.
^^20.01.18
KAMU SEDANG MEMBACA
ATSFN SERIES : One Gift for Alvan
General Fiction"Kenapa ada warna hitam dibalik warna putih? Kenapa ada kata buruk dibalik kata baik?" Itulah yang menjadi pertanyaan seorang Alvaranda Manathan sekarang. Dirinya yang dulu selalu hidup tanpa beban kini malah berubah menjadi sebaliknya. Semua kesen...