Chapter 09

582 69 10
                                    

Sejauh apa pun seseorang menutupi kesedihannya, mata tidak pernah bisa berbohong 'kan?
__________________________

Terkadang kita harus merelakan sesuatu, daripada harus menerimanya tetapi justru membuat kita semakin lelah. Seperti yang dilakukan oleh seorang gadis yang tengah berjalan menuju rumah bibinya, karena gerbang sekolahnya telah dikunci oleh security. Iya, gadis itu terlambat mengejar waktu.

Asheeqa menundukkan kepalanya karena terlalu malas dengan bisik-bisik orang di sekitarnya, yang secara terang-terangan menghina wajahnya. Wajah Asheeqa yang tidak secantik dahulu, kini berubah menjadi kemerah-merahan dan tidak lupa dengan memar yang masih terukir sangat jelas di dahi serta pipinya.

"Asheeqa!" panggil seseorang dari arah belakangnya, membuat Asheeqa refleks menoleh ke sumber suara.

Laki-laki itu menghampiri Asheeqa dengan seulas senyum tipis yang belum pernah terlihat sirna di wajah tampannya.

"Kak Wafi?" gumam Asheeqa yang tidak percaya karena bisa bertemu kembali dengan sosok laki-laki yang pernah menolongnya pada malam itu.

Wafi memperhatikan wajah Asheeqa yang terlihat berbeda dari pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Asheeqa yang ditatap pun segera menundukkan kepalanya. Rasanya, Asheeqa ingin menjauh saja daripada Wafi menjadi bahan gibah hanya karena berteman dengannya. Bukan tanpa sebab, tetapi akan ada saja orang yang tidak suka melihatnya bersama. Wafi yang tampan sedang berjalan bersama seorang gadis buruk rupa.

"Wajah kamu kenapa, Asheeqa?" tanya Wafi yang melayangkan tangannya untuk memegang pipi Asheeqa. Asheeqa bergerak secepat mungkin untuk menepis tangan Wafi.

Wafi merasa bersalah karena hampir menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. "Maaf, saya refleks."

"Enggak apa-apa, Kak. Lain kali, jangan sembarang menyentuh lawan jenis yang bukan mahram Kakak. Meskipun hanya pipi, tetapi hal itu dapat menjadi fitnah bagi orang-orang yang melihat." Asheeqa kembali menundukkan kepalanya.

"Kamu, mau ke mana?" tanya Wafi yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Asheeqa, mau ke rumah bibi," jawab Asheeqa seadanya.

"Mari, saya antar!" Perkataan Wafi, selalu membuat Asheeqa terkejut. Entahlah, Asheeqa tidak pernah berdekatan dengan lawan jenis, selain ayahnya. Awalnya Asheeqa merasa takut dengan Wafi, tetapi berbeda dengan hatinya yang seakan berkata bahwa Wafi adalah orang yang baik. Asheeqa pun merasa … nyaman.

"Kenapa, diam saja?" Wafi membuyarkan lamunan Asheeqa.

"Enggak perlu, Kak. Asheeqa, bisa sendiri. Lebih baik, Kakak menjaga jarak dengan Asheeqa. Jujur, bisik-bisik mereka membuat Asheeqa enggak percaya diri," ungkap Asheeqa. Wafi mengernyit tidak mengerti.

"Kenapa, seperti itu?" tanya Wafi yang tidak mengerti.

"Asheeqa jelek, Asheeqa buruk rupa," lirih Asheeqa dengan suara pelan.

"Asheeqa, dengar! Cantik itu relatif. Kecantikan seorang perempuan, bukan hanya dilihat dari wajahnya saja. Sebab, yang cantik saja, belum tentu baik. Namun, yang baik, sudah tentu cantik." Wafi tersenyum, sementara Asheeqa mengerjapkan matanya tidak percaya dengan tanggapan yang diberikan Wafi.

"Kak Wafi berbicara seperti itu, karena kasihan, 'kan?" ucap Asheeqa.

"Kenapa, kamu berpikir seperti itu, Asheeqa? Saya tidak perlu teman yang sempurna, yang terpenting dia baik." Wafi benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Asheeqa.

"Maaf, Asheeqa enggak peduli dengan cara pandang Kakak dalam memilih teman. Keputusan Asheeqa tetap sama, anggap saja kita enggak saling mengenal. Sekali lagi, terima kasih karena Kakak telah menolong Asheeqa pada malam itu. Asheeqa pamit, assalamualaikum." Wafi menatap punggung Asheeqa yang mulai menjauh dari pandangannya.

Wafi mengacak rambutnya frustasi. Entah karena apa, dirinya pun tidak tahu. Yang jelas, saat pertama melihat Asheeqa, ada perasaan lain yang sempat singgah di hatinya. Perasaan yang belum pernah ia rasakan, saat berdekatan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.

--oOo--

Keadaan lingkungan tempat Nurul tinggal, masih tetap sama. Tidak banyak orang yang lalu-lalang. Asheeqa mengembuskan napas lelah, ia mengusap keringat sempat yang mengalir dari pelipis.

"Assalamualaikum, Ummi." Asheeqa mengetuk pintu rumah Nurul. Tidak menunggu waktu lama, pintu tersebut dibuka oleh sang pemilik rumah.

"Waalaikumussalam, Syaza. Masuk, Nak!" ucap Nurul yang antusias mempersilakan Asheeqa masuk ke dalam rumahnya.

Asheeqa berjalan mendahului Nurul dengan kepala yang menunduk, hingga Nurul menyadari sesuatu menurutnya aneh. Wajah Asheeqa yang memerah mengelupas, mengalihkan perhatiannya.

"Berhenti, Nak!" pinta Nurul. Asheeqa pun menghentikan langkahnya. Kedua mata gadis itu dipejamkan sejenak, berusaha mencari alasan saat Nurul mulai mempertanyakan tentang hal yang baru saja dirasakannya.

Nurul melangkah untuk berdiri di hadapan Asheeqa. Wanita itu memegang kedua pipi keponakannya menggunakan kedua telapak tangannya, sesekali membolak-balikkan tubuh Asheeqa serta memastikan luka yang masih terlihat basah di dahi gadis itu, kemudian beralih melihat pergelangan tangan dan telapak tangan keponakannya yang banyak sekali goresan pisau.

"Kamu, kenapa?" Nurul menatap Asheeqa dengan tatapan sulit diartikan.

"Asheeqa enggak apa-apa, Ummi," jawab Asheeqa yang berusaha menampilkan senyum terbaiknya, agar Nurul percaya bahwa didinya baik-baik saja.

"Jawab! Jangan, mencoba menutupi keburukan ayahmu!" tegas Nurul. Wanita itu sangat geram dengan sikap Asheeqa yang tidak mau terbuka, sejak dahulu.

Asheeqa memainkan jemari tangannya dengan kepala yang menunduk takut, kala mendengar Nurul yang berbicara dengan nada tinggi. Nurul mengetahui jika Asheeqa sedang dalam fase ketakutan, sehingga Nurul secepatnya mendekap tubuh Asheeqa untuk menenangkannya.

"Maaf, Ummi hanya tersulut emosi, saat melihat keadaan kamu yang tidak baik-baik saja." Nurul mengurai pelukannya dan beralih menatap mata Asheeqa.

"Tolong, jawab pertanyaan Ummi! Apakah, Fadlan yang melakukan semua ini?" tanya Nurul dengan suara lembutnya.

"Iya, Ummi," Nurul mencoba untuk menahan amarah, saat Asheeqa menyetujui perkataannya.

"Apa saja, yang Fadlan lakukan pada kamu?" ucap Nurul.

"Setelah pulang dari rumah Ummi, Asheeqa dihadang oleh tiga preman bertubuh gempal. Mereka hampir melecehkan Asheeqa, Ummi. Beruntungnya, ada seorang laki-laki yang menolong Asheeqa dan bersedia mengantar Asheeqa ke rumah. Saat sampai di rumah, ayah salah paham. Ayah mengira, Asheeqa pulang larut malam bersama seorang lelaki asing. Ummi tahu 'kan, ayah enggak akan tinggal diam. Maaf, Asheeqa enggak mau membuka aib ayah yang lainnya." Asheeqa tidak berniat untuk menceritakan hukuman yang diberikan ayahnya pada malam itu.

"Maaf, Ummi. Asheeqa mohon, jangan memperpanjang masalah ini." Asheeqa bersimpuh di hadapan Nurul. Sebab, Asheeqa mengetahui bahwa Nurul sangat membenci Fadlan.

"Tidak ada yang menyuruh kamu untuk bersimpuh di hadapan Ummi. Syaza, Berdiri!" Nurul tidak mau menatap mata Asheeqa, karena di sana adalah kelemahan dirinya. Nurul sangat menyayangi Asheeqa, tetapi Asheeqa memiliki sifat yang terlalu baik, sehingga Nurul tidak bisa berbuat apa-apa ketika Asheeqa memintanya untuk menyimpan keburukan ayahnya dengan sangat rapat.

Asheeqa selalu membuat pertahanannya runtuh seketika, walau hanya dengan menatap manik mata indah milik keponakannya itu.

--oOo--
TBC
To Be Continue

Asheeqa's Dream [COMPLETE]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang