Chapter 10

670 69 7
                                    

Kalau dia sayang sama kamu, seharusnya dia jaga perasaan kamu. Bukan malah menghukumnya, seakan kamu lebih rendah daripada hewan.
____________________________

Nurul ingin bertindak. Tetapi di sisi lain, dia sangat takut jika Asheeqa menjadikan hal itu sebagai beban pikirannya. Nurul pun mengembuskan napasnya lelah. Sampai akhirnya, dia memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan. Pikirnya, akan ada saatnya dia menjebak Fadlan tanpa diketahui oleh Asheeqa.

"Kamu duduk sebentar ya, Nak! Ummi, mau mengambilkan sesuatu," ucap Nurul yang beranjak menuju kamarnya.

Nurul kembali dengan tangan yang tidak kosong. Wanita itu membawa sesuatu dan memberikannya kepada Asheeqa.

"Ini apa, Ummi?" tanya Asheeqa.

"Ummi, sengaja memberikan kamu jilbab dan cadar. Karena, Ummi tahu, impian kamu sejak dahulu adalah memakai cadar." Perkataan Nurul cukup mengejutkan Asheeqa.

"Masyaallah, Ummi. Terima kasih, Asheeqa sangat menyukainya." Asheeqa memeluk Nurul dengan erat, sementara Nurul mengusap punggung Asheeqa dan tersenyum tipis.

Nurul mengurai pelukannya, kemudian mengusap pipi Asheeqa, lalu beralih untuk mengambil alih jilbab serta cadar yang sempat dia berikan kepada keponakannya tersebut.

"Boleh, Ummi membantu Syaza untuk memakai jilbab dan cadar ini?" tanya Nurul meminta persetujuan. Asheeqa pun tidak menolaknya. Gadis itu menganggukkan kepala, menanggapi.

Nurul memakaikan jilbab serta cadar untuk Asheeqa. Tidak pernah menduga sebelumnya, jika pakaian yang Asheeqa pakai saat ini sangat serasi dengan jilbab serta cadar tersebut.

"Ummi, terima kasih banyak. Asheeqa, senang sekali." Asheeqa tersenyum dan dibalas senyuman hangat oleh Nurul.

"Iya, Syaza. Semoga kamu selalu bahagia, ya." Nurul mengusap kepala Asheeqa dengan penuh kasih sayang. Nurul selalu memberikannya kasih sayang, layaknya orang tua kepada anak kandungnya. Hal itu tidak pernah Asheeqa dapatkan dari orang lain, termasuk ayah kandungnya sendiri.

--oOo--

Azan Zuhur telah berkumandang, sejak lima belas menit yang lalu. Asheeqa pun sempat salat Zuhur di rumah Nurul, sebelum akhirnya memilih untuk secepatnya pulang ke rumah keluarga Fadlan, karena takut ada yang curiga bahwa dirinya tidak sekolah hari ini.

"Ummi, Asheeqa pamit ya. Terima kasih untuk hadiahnya. Assalamualaikum." Asheeqa mencium punggung tangan Nurul.

"Waalaikumussalam, iya. Hati-hati, ya! Kalau terjadi sesuatu, segera hubungi Ummi!" Nurul memberikan pesan agar Asheeqa bisa selalu terbuka dengannya dan tidak menyimpan rahasia apa pun kepadanya.

"Iya, Ummi."

--oOo--

Rumah mewah milik Fadlan bernuansa putih golden, berada di depan mata seorang gadis yang sedang bergeming menatap bangunan tersebut. Pikirannya berkelana entah ke mana. Yang jelas, Asheeqa sangat takut keluarganya salah paham, terlebih lagi ayahnya pasti akan turun tangan untuk menghukum dirinya.

Asheeqa mengembuskan napas berat, kemudian melihat suasana yang terjadi melalui celah gerbang rumahnya. Tatapannya berhenti pada satu titik. Ayahnya sedang melamun di kursi taman dengan tangan yang memegang bagian dada, seakan sedang menahan sakit.

"Ayah kenapa, ya?" gumam Asheeqa yang hanya melihat gerak-gerik Fadlan dari celah pagar rumahnya.

Asheeqa melihat Firda yang sedang berjalan menghampiri Fadlan. Asheeqa tidak bermaksud untuk menguping, hanya saja sepertinya bukan waktu yang tepat, jika Asheeqa memaksakan diri untuk masuk ke dalam rumahnya.

Asheeqa mendengar percakapan mereka, meskipun dengan suara yang samar-samar. Jujur saja, Asheeqa hanya ingin tahu bagaimana keadaan ayahnya saat dirinya tidak ada di sampingnya.

"Firda, dada saya sakit sekali. Tolong, bawa saya ke rumah sakit!" Fadlan meringis menahan sakit. Tangannya mencengkeram erat baju bagian dadanya itu.

"Huh, menyusahkan saja. Minta antar saja pada anakmu yang tidak tahu diri, itu!" Firda duduk di samping Fadlan dengan sesekali memakan camilan yang berada di atas meja.

"Firda, saya membutuhkan bantuan kamu. Saya pun tidak mau merepotkan Asheeqa," ucap Fadlan yang menatap penuh harap ke arah Firda.

"Fadlan, kamu terlalu naif untuk berkata bahwa kamu malu untuk meminta bantuan Asheeqa, 'kan? Anggaplah, penyakit kamu itu adalah azab karena terlalu jahat kepada anakmu sendiri." Firda tertawa terpingkal-pingkal dengan ucapannya sendiri.

Fadlan beranjak untuk pergi meninggalkan Firda yang masih menertawakan dirinya. Percuma saja, jika dia melanjutkan pembicaraannya.

Di lain tempat, Asheeqa hanya bisa menatapnya tidak percaya, bahunya meluruh lemas setelah mendengar percakapan antara ayahnya bersama ibu tirinya. Asheeqa pikir, Fadlan dan Firda adalah pasangan yang romantis, tetapi pada kenyataannya Firda memperlakukan Fadlan dengan sikap tidak acuh.

"Sebenarnya, ayah sakit apa?" gumam Asheeqa.

Asheeqa membuka pintu gerbang dan secepatnya menghampiri Firda. Pikirnya, barangkali saja Firda akan memberitahukannya tentang penyakit ayahnya.

"Assalamualaikum, Ma." Asheeqa mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan Firda, tetapi Firda hanya memutar bola matanya malas dengan sikap Asheeqa. Asheeqa kembali menarik tangannya, karena uluran tangannya itu tidak dibalas oleh Firda.

"Sudah pakai cadar, sekarang?" tanya Firda dengan senyum mengejek.

"Iya, alhamdulillah." Asheeqa menjawab singkat, sebelum akhirnya kembali membuka suara.

"Ma, ayah sakit apa?" tanya Asheeqa, sementara Firda menoleh ke arahnya.

"Kamu menguping, ya?" Firda menuduh Asheeqa.

"Maaf," ucap Asheeqa dengan kepala yang menunduk.

"Tidak apa-apa, justru bagus kalau kamu sudah tahu. Jadi, ayahmu tidak perlu merepotkan saya untuk membantu mengantarkannya ke rumah sakit." Firda menjeda ucapannya.

"Fadlan, memiliki riwayat penyakit jantung, tetapi sayangnya dia terlalu naif untuk meminta bantuan anak kandungnya. Saya pikir, penyakit dia adalah azab karena terlalu jahat kepada kamu." Firda tertawa.

"Cukup, Ma! Mama, enggak pantas berbicara seperti itu! Asheeqa sama sekali enggak membenci ayah. Asheeqa juga enggak pernah menyalahkan ayah, tentang sikapnya yang kerap kasar kepada Asheeqa." Napas Asheeqa memburu karena tidak terima dengan perkataan Firda yang menyebut bahwa penyakit Fadlan adalah azab.

"Ayah melakukan itu kepada Asheeqa, semata-mata karena ayah menyayangi Asheeqa. Hal itu memang pantas Asheeqa dapatkan, sebagai pengganti kesalahan Asheeqa kepada ayah. Ayah pernah berkata bahwa kesalahan Asheeqa sangat banyak, termasuk tentang lahirnya Asheeqa yang menjadi penyebab meninggalnya bunda," lirih Asheeqa dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.

"Jangan mimpi! Tidak ada, seorang ayah yang menyayangi anaknya dengan cara menyiksanya. Kalau dia sayang sama kamu, seharusnya dia jaga perasaan kamu. Bukan malah menghukumnya, seakan kamu lebih rendah daripada hewan." Firda menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Pemikiran Asheeqa terbilang sangat lucu dan tidak masuk akal, menurutnya.

Asheeqa menatap kosong ke arah Firda. Kalimat terakhir yang diberikan Firda, telah berpengaruh besar terhadap keyakinan hatinya.

"Kenapa, menatap saya seperti itu? Perkataan saya benar, 'kan? Dengar! Sayang kepada seseorang itu wajar, tapi jangan sampai pemikiran bodoh itu lebih menguasai--"

Asheeqa memilih untuk masuk saja ke dalam rumahnya dan meninggalkan Firda daripada harus berdebat dengan ibu tirinya yang tidak pernah mau mengalah.

"Woy, Asheeqa! Saya sedang bicara sama kamu! Dasar anak tidak tahu diri!" seru Firda dengan wajah kesal. Sikap Asheeqa, berhasil membuatnya jengkel.

--oOo--
TBC
To Be Continue

Asheeqa's Dream [COMPLETE]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang