(12)

2.7K 431 30
                                    

"Iky akan ngelakuin apapun untuk misahin Kakak sama Mas Rendra." Gue menundukkan kepala pasrah begitu Iky terlihat menggepalkan jemarinya kuat.

Tatapan Iky sekarang juga aneh, tawa yang gue perlihatkan awalnya gue pikir bisa membuat Iky mengalihkan ucapannya menjadi becandaan tapi nyatanya itu gak berhasil, tatapan Iky sekarang jelas bukan sekedar ucapan asalnya kaya biasa.

"Ky, Kak Rendra tahu kalau bukan Kakak palakunya ja_

"Karena Iky tahu makanya Iky makin kecewa Kak." Bahkan nada bicara Iky sekarang berubah, Iky keliatan jelas nahan emosinya.

"Dek! Kak Rendra bukan orang jahat, Kak Renda cu_

"Cuma apa Kak? Cuma ngejadiin Kakak alasan untuk pelampiasan amarahnya? Apa Mas Rendra bodoh? Itu gila, Iky nyesel minta Kakak menikah sama Mas Rendra waktu itu, Iky rasa ini semua salah Iky, secara gak langsung Iky yang mendorong Kakak disituasi kaya sekarang." Ucap Iky bergetar.

Gue narik coklat stik di tangan Iky dan memeluk Adik gue menenangkan, apa Iky juga nanggung bebannya sendiri tanpa sepengetahuan gue? Ini bukan salah Iky jadi Iky gak perlu merasa bersalah ke gue sampai kaya gini.

"Bodoh banget sih Dek sampe mikir kaya gitu? Kenapa kita semua pada nyalahin orang lain?" Gue masih memeluk Iky walaupun Iky masih enggan membalas dekapan gue.

"Akan Iky coba perbaiki semuanya Kak, Kakak gak harus menderita lagi." Gumam Iky bergetar.

"Yang bilang Kakak menderita siapa Ky? Kakak punya Bunda, punya kamu, Kakak menderita dari segimananya?"

"Kakak menderita karena punya suami kaya Mas Rendra."

.
.
.

Setelah berusaha cukup keras, gue akhirnya bisa ngebujuk Iky untuk nahan emosinya, gue gak mau Adek gue menyesal untuk alasan apapun, nasib gue mungkin memang begini jadi gak perlu nyalahin siapapun juga.

"Mau sampai kapan Kakak di kamar Iky?" Tanya Iky begitu keluar dari kamar mandi.

"Kakak tidur disini gak papa ya Dek?" Tanya gue padahal udah berbaring di ranjang Iky lengkap dengan selimut siap tidur sekarang juga.

"Kakak kaya maling nyasar tahu gak, maling dulu mau izin." Maksudnya gimana?

"Maling mana pernah izin Dek? Kaya orang ngambil barang mungkin, ambil pake dulu baru bilang pinjem."

"Ya itulah maksudnya, lagian Kakak kenapa tidur disini? Bukannya Mas Rendra nginep dirumah katanya?" Gue mengangguk pelan tapi masih enggan buat beranjak pindah masuk ke kamar gue sendiri.

"Kakak lagi males berdebat jadi jangan kasih tahu siapapun Kakak di kamar kamu." Lirih gue narik selimut gue penuh.

"Jadi Kakak udah dirumah, di kamar Iky kaya sekarang Bunda sama Mas Rendra gak tahu?" Tanya Iky terdengar kaget.

"Heummm." Gumam gue mengiyakan.

"Kakak butuh istirahat Dek, Bunda tahu Kakak dirumah tapi Kakak juga udah bilang sama Bunda kalau Kakak ngerjain tugas dan gak mau di ganggu." Jadi Bunda gak ada ngetuk pintu kamar gue kalau memang gak penting.

"Terus Mas Rendra?" Tanya Iky lagi.

Gue menurunkan setengah selimut gue dan langsung menatap Iky horor yang entah sejak kapan udah pindah berdiri disamping ranjang gue tidur sekarang.

"Kak Rendra itu tugas kamu, kalau tar Kak Rendra dirumah, cari alasan apapun untuk Kak Rendra kalau seandainya dia nanya Kakak kemana, cari cara apapun supaya Kak Rendra gak tahu Kakak di kamar kamu apalagi sampai masuk kemari." Ingat gue.

"Berat kayanya, yaudah tidur, Iky keluar sebentar, Kakak mau sesuatu?" Gue menggeleng pelan, gue cuma mau tidur.

"Jangan pulang larut Ky, besok ujian." Dan Iky mengacungkan jempolnya.

Setelah Iky keluar dari kamar, gue kembali narik selimut gue dan mulai memejamkan mata untuk tidur, gue cuma berharap semoga Bunda gak ngetuk pintu kamar gue dan semoga Kak Rendra gak jadi nginep disini.

"Kak! Handphone Kakak dimana?" Tanya Iky tiba-tiba balik membuka pintu kamar.

"Ada di kamar, kenapa?" Jawab gue santai.

"Dasar, Iky bawa sama Iky ya jadi tar kalau ada panggilan masuk dari Mas Rendra, Iky yang urus, pasword masih samakan?" Gue mengangguk pelan.

"Matiin lampunya Ky." Iky menuruti ucapan gue dan nutup pintu kamar pelahan.

.
.
.

"Kak! Subuh dulu." Gue mengerjapkan mata gue perlahan dan mendapati Iky sedang melipat sajadahnya.

Gue mengangguk pelan dan mengumpulkan seluruh kesadaran gue sebelum bangkit dari ranjang dan beralih masuk ke kamar gue, mukena gue dikamar soalnya.

"Jangan ribut pagi-pagi." Ucap Iky yang gue iyakan.

Keluar dari kamar Iky, gue membuka pintu kamar gue perlahan dan mendapati Kak Rendra duduk bersandar di sisi ranjang, gue melirik Kak Rendra sekilas dan langsung masuk ke kamar mandi, wudu dan menunaikan kewajiban gue.

"Tidur dimana?" Tanya Kak Rendra begitu gue selesai dengan shalat gue.

"Kamar Iky." Jawab gue seadanya, Kak Rendra tersenyum sinis.

"Pantes, sejak kapan Iky tidur dengan lampu kamar mati?" Gue gak ngerespon apapun, gue juga gak terlalu kaget kalau Kak Rendra tahu gue tidur di kamar Iky, asal gak ribut aja.

"Apa kamu ngadu ke Adik kamu juga?" Tanya Kak Rendra bangkit dari duduknya, Kak Rendra berjalan mendekat dan narik lengan gue untuk berbalik menghadap dia.

"Kakak rasa? Udahlah Kak, Aya gak mau berdebat, Aya kuliah pagi soalnya." Lirih gue pasrah.

Gue menatap Kak Rendra memohon untuk melepaskan lengan gue, mau sampai kapan Kak Rendra ngelampiasin amarahnya ke gue? Apa sampai anak gue lahir? Atau mau seumur hidup?

"Kakak tahu, nerima kenyataan kalau keadaan kita berakhir kaya gini aja udah berat jadi Aya minta tolong, jangan ngejadiin Aya tempat pelampiasan Kakak lebih lama lagi." Gue menatap Kak Rendra datar.

"Apa kamu pikir kamu berhak?" Tanya Kak Rendra masih dengan tatapan bencinya.

"Mungkin Aya memang gak berhak tapi apa Kakak pikir Kakak berhak memperlakukan Aya kaya gini?" Jawabannya jelas enggak.

Alasan gue bicara kaya gini bukan karena gue mau Kak Rendra ngertiin kondisi gue tapi gue gak mau Iky semakin membenci Kak Rendra nantinya, hidup dengan kemarahan Kak Rendra aja udah berat jadi jangan membuat gue harus berakhir dengan memilih Adik atau suami gue nantinya.

"Iky bukan anak kecil lagi Kak." Lirih gue sangat, gue mau Kak Rendra ngerti, semua ada waktunya, semua ada batasannya.

"Lagian mau sampai Kakak bersikap kaya gini? Apa memperlakukan Aya sesuka hati bisa mengurangi kemarahan Kakak?" Gue sangat ingin tahu ini, Kak Rendra gak mau ngelepasin gue dengan alasan gak mau anaknya menjadi anak orang lainkan?

"Katakanlah Kakak gak peduli sama Aya tapi apa Kakak gak peduli dengan kandungan Aya? Bukannya ini anak Kakak juga?" Tanya gue menatap Kak Rendra lembut.

"Kak! Aya capek." Lirih gue entah kenapa mendadak menatap Kak Rendra berkaca-kaca.

"Berhenti bersikap sesuka hati atau Kakak akan kehilangan calon anak kita."

In My World (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang