Langit malam tak tersaput awan. Bintang gemintang menampakan konstelasinya yang begitu menawan. Indah. Kerlap-kerlip. Sama halnya dengan lampu kendaraan di perempatan jalan. Kemacetan mengular di sepanjang ruasnya. Mencapai satu kilometer.
Klakson mobil dan motor saling sahut satu sama lain. Bagai simfoni nan berisik. Nyaring dan memekakan telinga. Para pengendaranya menyembulkan kepala, memanjangkan leher, berteriak minta segera melajukan kendaraan untuk orang-orang di barisan terdepan. Mereka tidak peduli sekitar. Tidak mementingkan ketertiban lalu lintas. Pun tidak memperhatikan seorang gadis yang lari pontang-panting di atas trotoar. Di belakangnya, sekelompok anak laki-laki mengejar.
"Hey! Berhenti!" Salah seorang pengejar berteriak.
Namun gadis itu tidak menggubrisnya. Ia terus memacu laju larinya. Napas gadis itu naik turun. Peluh membanjiri pakaian lusuh dan kumalnya. Semilir angin malam tak mampu menurunkan suhu tubuhnya yang meningkat.
Di depan, jarak seratus meter, terlihat ada sebuah gang sempit. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera berbelok, masuk ke dalam gang tersebut. Sekelompok anak laki-laki yang mengejar pun ikut berbelok.
Gelap. Lembap. Juga licin. Tak masalah, yang terpenting ia mampu lolos dari kejaran kelompok laki-laki itu. Sayang, bukan keadaan gang yang menjadi masalah, melainkan ujung jalan yang terhalang oleh sebuah dinding. Gang itu buntu. Sial!
"Mau lari ke mana, Cantik?"
Gadis itu berbalik. Lima anak laki-laki seusianya berdiri sejajar, menghadang.
"Ayo! Ikut kami!" Salah satu dari mereka menghardik, mencengkeram lengannya.
Gadis tersebut sempat memberontak, sekuat tenaga berusaha melepaskan genggaman yang menyakitinya. Tapi ia kalah kuat. Bagaimana pun juga ia hanyalah seorang gadis.
"Ke mana kita akan membawanya?"
"Ke tempat sepi-lah. Masa iya ke pasar malam. Nanti orang-orang pada mau ikutan lagi."
"Maksudnya di mana bego?" Laki-laki yang menyeret gadis tersebut menoyor kepala temannya.
"Heh! Gak usah berantem. Tuh, di depan ada toko yang baru kebakar kemarin. Kita bisa bawa dia ke sana. Jangan banyak bacot lagi. Udah gak tahan nih." Teman lainnya melerai, sambil memegangi selangkangan, bergidik.
Sesampainya di dalam bangunan sisa kebakaran itu, gadis yang mereka tawan dihempaskan begitu saja. Ia meringis, tangannya memerah.
"Jadi, siapa yang duluan?"
"Aku aja. Aku yang pertama kali lihat dia."
"Gak bisa! Aku dulu. Aku yang maksa dia ikut ke sini."
"Yang milih tempat siapa, heh?"
"Sadar diri! Di sini ketuanya siapa?"
Empat laki-laki lain terdiam. Karena nafsu yang menggebu, mereka lupa bahwa ketua geng mesti didahulukan dalam hal apa pun.
"Jangan takut, Cantik. Aku gak bakal main kasar kalau kamu mau nurut. Hey, jangan menjauh." Melihat gadis buruannya mundur perlahan, sang ketua geng memegang tangannya, lalu menarik. Keempat mata mereka bertemu. Tatapan gentar dari si gadis, dan tatapan yang sulit diartikan dari si ketua geng.
Deru napas gadis itu terdengar keras. Ia menelan ludah. Menggigit bibir saat tengkuknya diusap pelan oleh tangan laki-laki di hadapannya. Tak lama, gadis tersebut menepis tindakan kurang ajar itu.
Sang ketua geng geram. Ia pun memegang bahu korbannya supaya tidak diam.
"Tolong! Tolong!"
"DIAM!" Bentak ketua geng.
"Tolong! Tolong!" Gadis itu semakin berteriak ketika pakaiannya hendak dibuka. Suaranya pun parau. Antara ingin menangis dan menahan amarah.
"Aku bilang DIAM!" Ketua geng kalap. Ia sampai membuat robek pakaian gadis itu.
"JANGAN BERGERAK!" Seruan lain menggema di langit-langit bangunan.
Kelima laki-laki itu memutar badan. Mampus! Patroli keamanan datang! Mereka kompak mengumpat dalam hati.
Seorang pria dewasa berseragam melangkah, sambil menodongkan senjata api. "Lepaskan gadis itu. Dan angkat tangan kalian."
Bagai hewan buas pada pawangnya, kelompok laki-laki berandalan itu mengikuti intruksi tersebut. Daripada harus disuntik timah panas, lebih baik mereka menyerah secara suka rela.
* * *
"Nama kamu siapa, Nak?"
Lengang. Tidak ada suara yang keluar. Staf kantor tersebut menoleh kepada rekannya yang melakukan penangkapan kasus tadi, meminta jawaban. Sudah lebih dari 7 kali pertanyaannya tidak mendapat tanggapan.
Pria yang berdiri di samping gadis itu merendahkan tubuh, mencoba berbicara dengan cara lain, lebih lembut. "Gak apa-apa kalau kamu gak mau jawab. Mungkin kamu takut terjadi sesuatu lagi, kan? Kalau gitu, saya antar pulang, ya."
Gadis yang tertunduk di sebuah kursi itu pun samar-samar menggeleng.
Pria di sebelahnya berkerut bingung. "Kamu gak mau pulang? Kenapa? Nanti orang tua kamu cemas loh."
Menggeleng lagi. Tatapannya kosong.
"Apakah kamu hidup sendiri?" Tanya pria tersebut hati-hati. Yang dibalas dengan anggukan pelan. Ia pun menghela napas. Menatap nanar. "Saya akan membawa dia ke tempat yang aman dan nyaman. Tidak baik anak perempuan macam dia hidup di jalanan yang keras. Semoga saja dia menyukai tempat barunya nanti." Ucap pria itu kepada rekannya.
"Gak apa-apa kamu hidup sendiri, karena sebentar lagi kamu akan punya teman, keluarga, juga saudara." Diusapnya penuh kasih sayang kepala gadis yang tak bicara sepatah kata pun sejak menginjakan kakinya di kantor itu.
Tanpa sepengetahuan pria tersebut, gadis itu mendesis tidak suka. Bukan sebab niat baiknya, tetapi perkataannya tentang teman dan saudara.
Apa itu teman? Saudara? Ia tidak mengenalinya. Kosakata itu sudah beberapa bulan hilang dalam ingatannya.
Apakah ia akan mendapat teman dan saudara baru seperti apa kata pria itu? Entahlah. Karena, jujur, gadis itu membenci keduanya. Ia membenci orang berlabel teman dan saudara.
* * *
Hai, Readers!
Bagaimana? Apakah kalian dapat menebak ke manakah gadis itu akan pergi?
Dan mengapa ia begitu membenci teman dan saudara?
Yang pasti, siapakah nama gadis tersebut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tunggu Aku.. [Complete]
Romance"Hidup kita ini bagai sebuah drama. Dunia adalah panggung pementasannya. Lalu takdir yang mengatur alur kisahnya. Dan kita, sebagai pemainnya. Keren, kan? Tanpa disadari, ternyata kita itu artis." ---------- "Saat aku mulai percaya, kenapa kamu mala...