Part 7

45 12 0
                                    

"Ve! Atlas! Kalian di mana?"

"Di belakang, Kak!" Seru Atlas memberi tahu.

Kak Maya pun berjalan menghampiri mereka yang sedang duduk di anak tangga. "Kok masih di sini? Kalian udah mandi?"

"Belum." Kompak Ve dan Atlas.

Kak Maya mendengus, bertolak pinggang. "Kalau gitu, kalian cepat mandi. Bentar lagi makan malam."

"Iya, Kak." Jawab keduanya.

Selesai memberi perintah, Kak Maya balik kanan, masuk ke rumah, tepatnya ke dapur, hendak menyiapkan makan malam.

"Ceritanya dilanjut nanti, ya. Pas ngerjain PR." Ucap Atlas seraya berdiri.

Ve mengangguk. Juga berdiri.

Mereka masuk ke kamar masing-masing. Membersihkan diri dengan air yang bersih, berpakaian, dan melakukan aktivitas lain. Setelah selesai, mereka berkumpul di meja makan untuk mengisi perut.

Dua puluh menit berlalu. Seluruh makanan telah tandas, menyisakan piring-piring kotor yang sedang diangkut oleh Susi dan Tita, hari ini jadwal mereka mencuci piring membantu Kak Maya.

Sementara anak-anak lain bercengkerama di ruang televisi, Ve dan Atlas segera menuju beranda belakang, dengan membawa buku PR dan alat tulis. Mereka akan mengerjakannya di sana.

"Jadi, gimana?" Tanya Ve sambil membuka buku.

"Gimana apanya?"

"Cerita kamu. Kenapa kamu bisa ada di pesawat itu juga?"

Atlas terdiam. Ia duduk bersila di lantai beranda. Kemudian menarik napas.

Ve memperbaiki posisi duduk, bersiap mendengarkan.

"Waktu itu, aku habis dari makam orang tua aku. Ziarah bulanan. Biasanya aku sering datang ke kota itu malamnya, buat tidur di rumah peninggalan Kakek, tapi, Paman lagi sibuk sama kerjaannya. Dia baru bisa antar aku besok pagi.

"Aku sama Paman sampai di makam Ayah Ibu jam 8. Kita berdoa di sana cuma satu jam. Terus harus pulang hari itu juga, karena Paman ada acara penting di kantornya. Akhirnya kita balik lagi ke bandara, nunggu pesawat berikutnya.

"Di pesawat, aku sama Paman kebagian kursi di deretan belakang. Pertama pesawat lepas landas, aku merasa ada yang aneh, tapi aku mencoba bersikap biasa. Mungkin cuma perasaan aja. Tapi, tahu-tahu perasaan aneh aku terbukti. Mesin pesawatnya rusak. Sampai akhirnya meledak.

"Selama menunggu Paman diperiksa dokter, aku terus berdoa, berharap Paman--adik kandung Ibu dan keluarga aku satu-satunya--bisa selamat. Tapi nyatanya, doa aku ditolak. Paman meninggal. Dia pergi. Menyusul Ayah, Ibu, Kakek, sama Nenek."

Atlas menunduk. Sorot matanya menampakan kesedihan, kehilangan. Raut wajahnya pun berubah.

"Saat itu aku bingung. Aku gak tahu harus apa. Aku merasa benar-benar sendiri. Aku udah gak punya siapa-siapa lagi. Semuanya ninggalin aku gitu aja. Aku sempat berkeinginan buat menyusul mereka, tapi, pesan Ayah sebelum meninggal tiba-tiba muncul dipikiran aku. Pesan yang mengatakan bahwa, bagaimana pun kondisinya, aku harus menjalani hidup sebagaimana mestinya.

"Aku ingat itu. Aku ingat pesan dan wajah Ayah saat mengatakannya. Rencana bunuh diri akhirnya gagal. Agar aku bisa melanjutkan hidup dengan tenang, berusaha menerima semuanya, aku memutuskan pergi dari rumah Paman. Aku gak mau terus-terusan dihantui kenangan-kenangan keluarga aku kalau tinggal di sana.

"Akhirnya aku datang ke tempat ini. Untuk memulai hidup yang baru dan menutup kenangan masa lalu." Atlas tersenyum mengakhiri kisahnya.

"Kamu tahu panti ini dari mana? Kenapa milih di sini? Padahal panti asuhan kan banyak." Ve bertanya.

Tunggu Aku.. [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang