Part 39

41 9 0
                                    

Brak!

Pintu terbuka--lebih tepatnya terbanting--oleh tendangan kaki.

Seseorang di dalamnya terkaget. Menoleh. Melipat dahi ketika dua orang pria masuk terburu-buru.

"Di mana dia?!" Tanya pria pertama. Menghardik.

"Dia ada di lantai satu, kantor penerbitan, duduk di salah satu sofanya."

"Jangan bohong, Bocah Jangkung! Jangan main-main denganku!" Pria pertama mendorong kasar sampai menghantam dinding.

Bohong? Siapa pula yang berbohong? Dia tidak bohong sama sekali. Jelas-jelas ia meninggalkannya di sofa itu tadi.

"Katakan yang sejujurnya, Nak. Di mana dia?" Sekarang pria kedua yang bertanya. Lebih tenang. Namun dengan suara yang dalam.

"Saya udah jujur. Dia ada di sana. Saya 'kan udah bilang tadi."

"Nyatanya tidak ada. Kami sudah memeriksanya. Dia tidak ada di sana. Ke mana dia?"

Pupil mata laki-laki itu membesar. Menggeleng. "Saya gak tahu."

"Pembohong! Mana mungkin kau tidak tahu! Kau bersamanya tadi." Pria pertama mencak-mencak.

"Tapi saya beneran gak tahu."

"Kalau begitu, cari dia sekarang! Cari sampai ketemu!" Bentaknya.

"Kau harus ingat perjanjian kita, Nak. Berani kaulanggar, nyawa dia terancam." Ucap pria kedua tajam saat laki-laki itu melewatinya, keluar dari toilet.

Setibanya di kantor penerbitan, ia mengedarkan pandangan, menyisir dari sisi ke sisi. Tidak ada.

Berjalan ke tiap sofa, rak buku, sudut baca, memeriksa. Tidak ada.

Bertanya ke satpam di pintu utama, siapa tahu dia pergi keluar untuk membeli minum karena haus. "Tidak, Nak. Tidak ada gadis dengan ciri-ciri itu melewati pintu ini selain saat datang satu jam lalu."

Laki-laki itu berterima kasih. Lalu menghampiri meja resepsionis. Mungkin saja naskahnya diterima dan langsung ditemui oleh tim redaksi untuk melakukan penyuntingan.

"Mohon maaf. Saya kurang tahu. Sebab tadi saya sedang bertukar posisi dengan pegawai lain. Menggantikannya sementara."

Laki-laki itu menghembuskan napas. Berpikir keras. Kemudian meloloskan ponselnya.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."

Ia pun mendengus. Menatap layar ponsel. "Ya, ampun. Kamu ke mana sih? Kenapa sampai gak aktif?"

Sekali lagi, laki-laki itu berkeliling ruangan. Mengecek tiap lantai yang berkemungkinan dikunjungi olehnya. Tanya-tanya kepada para pegawai. Atau siapa pun yang ditemui. Sambil terus mencoba menelepon.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."

Selalu saja operator yang menjawabnya.

"Ya, Tuhan. Kamu di mana? Jangan bikin aku khawatir."

Panik. Laki-laki itu resah mencari keberadaan temannya. Bukan. Bukan karena desakan dari dua pria tadi, melainkan karena perasaan yang berasal dari hati. Ia benar-benar mencemaskannya. Takut hal buruk terjadi padanya. Terlebih, ponselnya sampai tidak aktif. Apa mungkin sengaja dimatikan? Entahlah.

Di tengah keputus asaan, di puncak kegelisahan, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sontak, ia cepat menyambar--mengabaikan rambut yang acak-acakan karena terus diremas sebagai pelampiasan--menjawab panggilan masuk.

"Halo, Ve. Kamu di mana? Kenapa gak ada di lantai satu? HP juga gak aktif lagi. Sengaja dimatiin atau lowbat? Terus sekarang kamu di mana? Kok gak bilang dulu? Aku nyariin kamu loh dari tadi. Takut kamu hilang."

Tunggu Aku.. [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang