~oOo~
Sadar terjebak, tapi tak kuasa mengelak
~oOo~
~KIA~
Kai mendadak jadi pendiam. Dari caranya menatap sesuatu, aku tahu pikirannya sedang melayang entah ke mana. Kosong dan tidak ada di sana. Bahkan pesona Wayag saja tidak sukses menyihirnya. Padahal aku akhirnya bisa berteriak lantang kepada bukit karang di seberang. Kai bahkan tidak tampak tergerak waktu aku menyuarakan teriakan bernada curhatku di atas sana.
Tiba-tiba aku disusupi perasaan khawatir. Apa aku sudah menyakiti hatinya? Tapi apa?
Wajah Kai hanya diliputi senyuman waktu beberapa pengunjung Wayag mengenalinya dan meminta foto bersama. Ingat aku pernah mengatakan bahwa Kai punya tampang arogan yang alami? Ya, wajah itulah yang dipasangnya sepanjang hari. Terus terang aku jadi enggan mendekat atau bertanya sesuatu padanya. Mungkin dia butuh waktu sendiri dan aku besok akan pergi. Kami akan jadi dua orang asing kembali bukan? Jadi lebih baik aku tidak ikut campur apa-apa lagi.
Satu rahasia dibayar dengan satu rahasia. Kami impas seharusnya.
oOo
"Kai, terimakasih buat semuanya," kataku begitu kami tiba di dermaga Waisai. "Semoga kita bertemu lagi." Aku mengedikkan bahu. Tidak yakin apakah Kai akan suka kalau kami bertemu lagi. Biar bagaimana dia tetap selebriti yang harus menjaga image-nya. Sikapnya di sini dan di ibukota bisa jadi akan sangat berbeda.
Kehangatan sikapnya di sini bisa jadi karena aku hanya segelintir orang yang bisa diajaknya berteman. Di ibukota perlakukan ini akan sangat rawan oleh serangan gosip dan infotainment.
Sebelum mendaki Wayag, aku berusaha keras untuk menata hati supaya tidak terbuai sikap baiknya. Begitu sadar dia jadi pendiam, sedikit banyak aku bersyukur tidak perlu bersusah payah mengontrol detak jantungku agar tidak berjingkrak seperti kemarin.
Tapi aku tidak menyangkal bahwa sekelumit sesak muncul di sudut kosong hatiku. Tak nyaman membayangkan kami akan bertemu dengan sikap saling asing dan berlagak tidak saling mengenal.
"Apa kita bakal pisah dengan cara begini saja?" Kai yang diam seperti patung buka suara.
"Maksud lo?"
"Ayo kita duduk-duduk lagi di dermaga seperti semalam."
Aku berpikir sebentar. Besok pagi-pagi aku sudah harus menuju Sorong dengan speedboat. Kalau tidak istirahat sekarang, semua bisa berantakan. Jadwal penerbanganku bisa kacau. "Tapi..."
"Lo udah nggak galau terus pergi ninggalin gue sendiri. Sekali pun lo nggak tanya apa gue sudah berhasil menemukan apa yang gue cari di sini?"
Aku meneguk ludah. Kata-kata Kai barusan membuatku seperti orang paling keji di muka bumi yang tak tahu terima kasih. Mencampakkan temannya seorang diri begitu tahu cara mengembangkan sayapnya lagi.
"Baiklah. Kita makan malam di tempatku. Bagaimana?"
oOo
~KAI~
Gue mematut diri di depan cermin. Kegilaan apa yang barusan lo lakuin sampai harus ngomong begitu ke Kia, Kai. Sepanjang hari lo cuma mendiamkan dia dan sekarang lo nggak rela pisah sama dia? Lo bukan lagi bocah remaja, Kai. Orang seusia lo, sudah banyak yang punya dua orang anak, tapi sikap lo masih kayak kanak-kanak.
Tubuh gue berkeringat di balik kancing-kancing kemeja pantai gue membuka. Gerah berlayar seharian di atas speedboat diterpa angin pantai yang asin dan lengket di badan. Gue mengacak rambut gue yang lepek sambil menyumpahi diri sendiri.
Bagaimana memulai dan mengatakannya nanti?
Ah! Persetan, Kai. Lo sudah tahu lagi dimainin sama takdir. Bukannya menghindar lo malah mengejar.
Gue menarik handuk yang tergantung dan bergegas mandi.
oOo
~KIA~
Kupikir Kai tidak punya sisi sentimen semacam mengadakan perpisahan hanya karena beberapa hari bersama seseorang. Dia seorang selebriti yang punya segudang relasi. Tentu banyak bekerja sama dengan orang-orang yang menghabiskan waktu singkat, tanpa perlu selebrasi ketika pekerjaan selesai. Menghabiskan waktu tentu saja.
Setelah seharian lebih banyak diam, dia mengajakku melakukan perpisahan?
Aku menggosok rambutku yang basah setelah keramas. Wanginya menenangkan dan rasanya tubuhku begitu ingin terlelap. Aku duduk bersandar di tempat tidur. Mataku sayup-sayup terpejam ketika pintu kamarku diketuk.
"Kia," terdengar suara Kai di luar. Dia benar-benar datang.
Aku beranjak dari tempat tidur dan bergegas membuka pintu. "Sori, gue baru selesai mandi. Tadi habis beres-beres koper biar besok tinggal balik." Pintu kubuka lebih lebar supaya dia bisa masuk.
Kai tidak menyahut malah menatapi koper besar dan sebaran barang yang kuletakkan di dekatnya. "Lo benar-benar mau balik?"
"Hm?" Apa aku tidak salah dengar? Rasanya pertanyaan itu terlalu aneh dan aku tidak tahu harus menjawab apa. "Apa lo keberatan kalau gue ngeringin rambut sebentar?" Tanganku menarik handuk yang menutupi kepalaku.
"Gue bahkan nggak keberatan kalau lo minta bantuin ngeringin rambut lo." Kai mengucapkannya dengan nada serius. Dia duduk di salah satu sisi sofa.
Keningku berkerut, lalu bibirku berkedut dan tertawa. "Apa sih, Kai. Lo hari ini aneh banget." Aku bergerak mengambil hair dryer dari dekat koper dan menancapkan ke stopkontak tidak jauh dari tempat Kai duduk. Begitu hair dryer menyala, wangi shampoku terbang mengevaporasi udara di sekitar kami. "Gara-gara mau gue tinggal balik ya?"
"..." Suara hair dryer mengaburkan jawaban Kai. Tahu-tahu dia menarik hair dryer dari tanganku dan mengambil alih benda itu.
Aku menatapnya dengan bingung tapi Kai tampak santai menggerakkan hair dryer di tangan kiri sambil menjumput sedikit demi sedikit rambutku di tangan kanan. Tatapan Kai fokus pada helai rambutku. Tidak sekali pun dia menatap balik mataku.
Desir aneh bergerak di dadaku waktu tangannya secara tak sengaja menyentuh kepalaku lembut. Aku memilih balik badan dan memungunginya. Memejamkan mata sedemikian rupa sambil merapal doa supaya jantungku tidak menggila.
"Sudah," kata Kai sambil mematikan hair dryer. Dia meletakkan benda itu di meja lalu merapikan rambutku dengan tangannya.
"Thanks. Lo pernah kerja di barbershop?"
"Apa gunanya gue jadi artis yang setiap hari berurusan sama stylish kalau ngeringin rambut doang nggak bisa, Kia." Kai melempar senyum arogan dari bibirnya yang terkatup judes sepanjang hari ini.
"Oh, oke. Yuk, makan dulu kalau begitu."
oOo
KAMU SEDANG MEMBACA
Winterhearted (END)
RomanceMantan playboy dan playgirl dipertemukan ketika keduanya sama-sama patah hati dan ingin bertaubat. Tampaknya, takdir sedang bermain dengan magic moment bernama 'kebetulan'. Mulai dari Jakarta hingga Raja Ampat, keduanya terus dipertemukan secara tid...