~oOo~
Berlari hingga lelah tak pernah menuntaskan masalah.
Menghilang hingga dilupakan tak akan membuat tenang.
~oOo~
~KIA~
Ruang HRD masih sama sepinya. Aku duduk menunggu di kursi depan meja Renata. Membiarkan pikiranku kembali melayang entah kemana.
"Heh!" tahu-tahu tanganku disenggol dengan sterofoam hangat. Apalagi kalau bukan bubur ayam. "Ngelamun jorok pagi-pagi." Renata meletakkan tas lalu duduk di depanku. "Kata Romi, lo sakit kemaren. Udah enakan?"
Aku hanya mengangguk.
"Udah minum obat?" Renata membuka bubur ayamnya.
Lagi-lagi aku cuma mengangguk. Anggukan bohong karena setelah makan siang kemarin aku belum makan apapun. Mencium aroma makanan membuatku mual. Termasuk bubur Renata pagi ini.
"Tumben lo nongkrongin meja gue pagi-pagi. Ada apa?"
"Gue mau minta cuti."
Renata mendongak. Lalu menatapku lekat-lekat. Sedari tadi, baru kali ini Renata menatapku intens. Aku berusaha menghindari kontak mata tapi Renata berkeras bergeming. Bahkan sekarang dia meletakkan sendok, menutup bubur, lalu menyingkirkannya. "Kenapa lo?" bisik Renata.
"Nggak kenapa-kenapa. Pingin liburan aja."
"Nggak usah bohong. Jangan nutupin mata lo yang bengkak pake make up tebal begitu," bisik Renata supaya orang tidak bisa mendengar kami. "Nggak ngaruh ke gue."
Aku tetap bungkam. Renata menarikku masuk ke ruang bosnya yang pagi itu masih kosong.
"Sekarang bilang, ada apa?" ultimatum Renata setelah menutup pintu dan mendudukkanku di sofa ruangan.
Kata 'curhat' adalah kosakata yang asing di lidahku. Dalam posisi seperti ini, aku tidak pernah bisa bercerita kepada orang lain. Air mataku yang menjawab pertanyaan Regina.
"Kia," Renata merangkul pundakku sambil mengusap-usapnya. Terasa nyaman, tapi aku masih tetap tidak bisa mengatakan apapun. "Udah sering gue bilang kan, kalau ada apa-apa cerita sama gue." Dia meradang. Mengetatkan pelukannya padaku. "Lo anggap gue apa? Gue itu sohib lo, tapi lo nggak pernah terbuka sama gue!"
"Bukan begitu, Ren. Gue..." lalu kata apa yang tepat untuk melanjutkannya? Mengakui bahwa aku memiliki seorang ibu tukang selingkuh dan selingkuhannya adalah calon mertuaku? Atau, mengatakan bahwa player sepertiku nggak pantas buat mendapatkan pasangan yang baik? Dan bahwa istilah berhenti sebagai player dan percaya pada cinta adalah hal yang seharusnya nggak pernah aku coba?
"Gue nggak tahu harus cerita apa. Gue nggak bisa ngomong sekarang. Yang gue butuhkan sekarang cuma waktu buat menenangkan diri."
Kami terdiam cukup lama sampai air mataku berhenti. Pada akhirnya Renata mengalah. "Kapan?"
"Secepatnya."
oOo
~KAI~
Setelah Farrah pergi, gue masuk ke ruangan Mbak Saski. Dia sedang sibuk menerima telpon. Membolak-balik file dan mengecek jadwal artis di bawah menejemennya. Gue duduk di single sofa depan meja kerjanya, menunggu.
"Gimana? Udah clear semuanya?"
Gue mengangguk. "Mbak," kata gue hati-hati, "Maaf ya, gue jadi bikin repot."
"Lo kayak ngomong sama siapa aja," Mbak Saski melipat tangan. "Kayak artis kemarin sore yang baru diguncang gosip aja. Yang penting sekarang semua udah kelar."
Lagi-lagi gue mengangguk. "Mbak, ternyata gue udah tua, ya?"
Mbak Saski tertawa. "Baru sadar lo?"
"Iya." Gue tertawa. "Anak Farrah menyadarkan gue tentang sesuatu yang sempat gue lupain. Keluarga." Gue menatap Mbak Saski. "Gue baru sadar, hidup dengan melindungi dan menyayangi seseorang anak ternyata menguatkan."
"Gue seneng lo dapat pelajaran dari masalah ini."
"Gue juga." Senyum gue melebar, "Lebih seneng lagi kalau gue bisa cuti buat merenungkan ini semua."
"Sampah!" Mbak Saski melempar file jadwal yang tadi dibolak-baliknya ke gue. "Mau ngomong gitu aja muternya ke mana-mana," lalu dia tertawa lebar.
Gue ikut tertawa, lalu berdehem sebelum ngomong serius, "Tapi gue serius mau merenungkan tujuan hidup gue lagi, Mbak."
Mbak Saski menarik napas. "Bagus juga buat nyingkirin dugaan lo bikin sensasi dengan nyebarin berita ini biar diundang talkshow di sana sini." Dia menatap gue sesaat. "Kapan?"
"Secepatnya."
oOo
KAMU SEDANG MEMBACA
Winterhearted (END)
RomanceMantan playboy dan playgirl dipertemukan ketika keduanya sama-sama patah hati dan ingin bertaubat. Tampaknya, takdir sedang bermain dengan magic moment bernama 'kebetulan'. Mulai dari Jakarta hingga Raja Ampat, keduanya terus dipertemukan secara tid...