[31] Telling the Truth

7K 763 5
                                    

~oOo~

Tidak ada rahasia. Seharusnya.

~oOo~

~KIA~

Pintu rumah berbunyi ketika aku selesai menyiapkan makan malam di meja. Bukan makan malam yang istimewa. Aku hanya membelinya dari salah satu rumah makan langgananku. Aku baru setengah langkah menuju pintu ketika kulihat Kai masuk.

"Sudah pulang?"

Kai tidak langsung menjawab malah meminta maaf sambil memelukku.

"Nggak apa-apa." Aku tidak sedang berpura-pura tidak marah. Kenyataannya, aku memang tidak merasa kecewa meski dua kali dia mengingkari janjinya hari ini. Janji makan siang dan menjemput pulang. Oh, aku juga berangkat kerja sendiri karena kantor manajemen Kai berlawanan arah dengan kantorku.

"Kamu nggak marah?" Dia melingkarkan lengannya ke pinggangku sambil menuju ruang makan.

Aku menggeleng sambil menahan tawa karena Kai pasang wajah kecewa. Kenapa dia justru kecewa melihatku tidak marah?

"Rugi dong aku bawa bunga buat antisipasi kalau kalau kamu ngambek."

Tawaku pecah saat Kai mengulurkan sebuket kecil mawar merah yang disembunyikan di balik punggungnya. Seharusnya aku tidak lupa bahwa dia casanova yang punya banyak cara untuk menaklukkan wanita. Aku tidak terperdaya, hanya tertawa saja melihat tingkahnya.

"Terima kasih." Aku menerima bunganya. "Tapi rasanya buket bung aini terlalu kecil untuk istri yang marah tapi tetap menyiapkan makan malam untuk suaminya."

Raut kecewa Kai langsung musnah berganti raut penuh rasa bersalah.

"Kenapa? Kamu sudah makan?" Aku mengantisipasi diri supaya tidak kecewa lagi.

"Aku bisa makan beberapa kali lagi, tapi bukan soal itu."

"Lalu?"

"Kia..." Kai menatap mataku. "Tadi aku meeting sama produser dan ternyata... sponsor utama film itu adalah Kania."

Napasku tertahan sesaat. Mataku bergerak menghindari tatapannya. Otakku tidak mendefinisikan apa yang kurasakan sebagai kekecewaan, hanya saja, aku cukup terkejut mendengar pengakuan itu.

"Sungguh, aku nggak tahu soal ini dan canggung banget. Kamu jangan khawatir, aku sudah berpikir buat nanya ke Mbak Saski apa aku bisa membatalkan kontrak ini."

Anehnya, senyumku muncul. Bukankah kejujuran adalah sesuatu yang berat dan aku harus menghargai usaha itu. "Nggak perlu dibatalin. Selama kamu berterus terang, itu nggak jadi soal buatku."

Dan bukankah, aku juga berhutang sebuah kejujuran padanya?

oOo

~KAI~

Kemakluman dan senyum Kia nyatanya malah melipatgandakan rasa bersalah gue. Bagaimana dia bisa tersenyum di saat seperti ini bahkan menolak pertimbangan gue buat membatalkan kontrak?

Gue merasa buruk. Perut gue yang terisi oleh junk food waktu menghabiskan perjalanan bersama Kania tadi bahkan lebih buruk. Kemacetan lalu lintas yang padat membuat gue batal mengantar Kania ke restoran Thailand. Gue membelokkan mobil ke drive thru karena melihat Kania sudah pucat. Dia punya maag akut dan urusan lebih panjang kalau sampai kambuh. Gue merasa tolol kenapa harus ikut makan dan bukannya berpikir soal Kia yang menyiapkan makanan di rumah.

Kia benar, buket kecil ini nggak sama sekali nggak sebanding. Gue berpikir untuk memesan lebih banyak bunga lagi sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasih ketika Kia berceletuk.

"Aku juga harus mengatakan sesuatu soal Nathan."

Pikiran gue yang sempat melayang pada floris mana yang punya rangkaian terbaik dan bisa dikirim secepat mungkin langsung terpaku pada Kia. Perasaan aneh mulai merayap. Apa ya, ini disebutnya. Bukan kekecewaan atau kemarahan, cuma... rasanya aneh dan nggak nyaman.

"Bolak-balik Renata bilang Nathan masih berusaha mencariku." Kia menyentuh pipi gue sambil tersenyum menenangkan. "Jangan khawatir, aku nggak ketemuan sama dia. Cuma... aku merasa harus ngasih tahu kalau-kalau dia nekat menemuiku atau apalah." Kia menaikkan bahu.

Gue lega. Sedikit.

Kia menggigit bibir. Matanya teralih sejenak dari gue. Dia seperti sedang menimbang buat ngomong sesuatu lagi.

"Renata kesal karena dia jadi diburu Nathan. Dia bilang, seharusnya aku menyelesaikan semuanya sampai tuntas dengan Nathan supaya dia nggak berusaha mencariku lagi." Kia menatapi lantai sebentar lalu tersenyum ke gue. "Aku merasa ini nggak penting lagi buat dibahas, jadi kutolak saran Renata."

Secara mengejutkan, kepala gue malah menggeleng dan bibir gue berkhianat. "Penting." Dari mana gue punya kesintingan pernyataan macam itu? Apa ini karena gue merasa bersalah sama Kia dan berusaha mengkalkulasi pengertian yang setara?

"Ayolah, Kai. Berapa kali kamu mencampakkan cewek dan mengabaikan berapa kali pun dia memohon?"

Gue tertawa, memaksakan tawa mungkin lebih tepatnya. "Nggak penting buat kamu, tapi penting buat Renata atau orang-orang terdekatmu supaya nggak kena terror Nathan." Tangan gue mengusap lembut kedua pipi Kia.

Kia mengembuskan napas panjang. Apa dia benar-benar merasa ini nggak penting atau hanya takut nggak bisa mengendalikan perasaannya waktu ketemu Nathan nanti?

"Bukannya kita sepakat bahwa kita bakal sama-sama meninggalkan jejak kebrengsekan kita di belakang?"

Wajah Kia terangkat.

"Mencampakkan nggak cocok dilakukan buat memulai hal baik." Tangan gue meraih kedua bahunya. "Coba menyelesaikan yang belum terselesaikan dengan baik. Kalau hasilnya nggak sesuai harapan, setidaknya nggak ada penyesalan karena kita udah nyoba."

Kia seperti mencari-cari sesuatu lewat sorot mata gue. Gue merasa dia seperti pencuri yang melompat lewat jendela dan lagi nyari sesuatu yang mungkin gue sembunyikan. "Apa Kania juga mencoba menyelesaikan sesuatu yang belum selesai di antara kalian lewat proyek ini?"

Selama beberapa detik, gue berusaha menghimpun kata-kata. "Aku nggak tahu. Maksudku, aku punya kecurigaan, tapi aku nggak peduli. Dia meyakinkanku bahwa ini soal potensi OTT yang lagi marak di Indonesia. Aku nggak mau bahas soal itu dan menjaga obrolan tetap di jalur kerjaan, Kia."

Lambat-lambat, garis bibir Kia membentuk lengkung senyum. "Kai, bukannya waktu itu kamu bilang Kania yang memilih pergi? Lalu kamu? Apa sudah cukup alasan buat kamu untuk melepaskan Kania?"

"Aku nggak mau keluarga Kania mengusik mama, Kia. Itu lebih dari cukup."

"Kamu menjaga perasaan mama kamu, bukan perasaan kamu sendiri. Begitu juga dengan Kania. Dia dipaksa pergi, bukan karena benar-benar ingin pergi. Kalau begitu, kamu selesaikan juga ini."

Memikirkannya saja membuatku penat. "Akan aku pertimbangkan. Untuk sementara, aku mau ini tetap professional."

Kia mengangguk-angguk. "Baiklah, aku juga masih menimbang-nimbang kalau begitu."

"Buatku semua ini sudah selesai, Kia. Cukup kamu?"

"Kenapa? Takut?"

"Bukan begitu..." Gue mikir buat menyelesaikan kalimat tapi fokus Kia sudah teralih ke setumpuk kado di ruang tamu yang belum kubawa masuk tadi.

"Kado sebanyak itu dari siapa?" Kia sudah melesat kembali ke ruang tamu dan sibuk mengangkutnya masuk.

Kia, apa kamu sadar dengan penawaran kamu? Bagaimana jika kita nggak bisa menyelesaikan masalah ini dan malah terjerat lebih jauh? Bukan, kita. Aku. Gue. Gue yang mulai melemparkan umpan lewat penaran sok bijak ini. Apa kita benar-benar harus melakukan ini? Atau gue bisa menganulir ucapan gue?

oOo

Winterhearted (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang