[25] Terrifying

7.4K 907 46
                                    

~oOo~

Perangkap dipasang di mana-mana

Pelacak diletakkan secara acak

~oOo~

~KAI~

Penerbangan menuju Labuan bajo-Jakarta ini diisi gue dan manajemen. Nyokap sama Tante gue langsung balik ke Surabaya. Kedua orangtua Kia dan keluarga masing-masing memperpanjang liburan. Romi dan Renata pilih penerbangan transit di Bali dan menginap semalam sebelum kembali ke Jakarta.

"Kai, wartawan di mana-mana." Mbak Saski langsung menyalakan ponsel begitu memasuki terminal kedatangan. Suara notifikasi tak henti menyerbu benda itu. "Apa lo baik-baik saja?" Dia menatap gue sebelum beralih ke Kia.

Kia mengangguk ragu. Dia berdiri canggung di sisiku, jadi kutarik saja pinggangnya merapat.

"Gue jagain." Gue bersikap tenang dan memang begitu reaksi wartawan pada setiap kesempatan. Yang kukhawatirkan justru Kia.

"Lo harus bersiap buat kemungkinan terburuk." Mbak Saski merebut koper dari tangan Kia. "Gue sama anak-anak manajemen yang lain bakal jalan duluan supaya perhatian mereka teralih ke kita. Setelah itu, lo menyelinap ke mobil langsung. Oke?"

"Nggak usah Mbak Saski." Kia menahan tangan Mbak Saski. Dia menggeleng perlahan. "Sekarang atau nanti, kami pasti harus menghadapi ini kan?"

Seratus persen benar. Sebanyak apa pun penundaan, semuanya tetap bakal dihadapi.

"Temui saja. Bersikap wajar, cuma jangan ngasih komentar. Kalau kucing-kucingan, nanti dianggap kita menyembunyikan sesuatu." Gue menambahkan sambil menepuk Mbak Saski dan teman-teman manajemen gue.

"Lagi pula, lawan kita bukan cuma wartawan di luar sana, tapi juga semua orang yang diam-diam mengarahkan kameranya pada kita." Kia diam-diam menyisirkan tatapannya ke sekeliling. "Seperti sekarang."

Gue langsung memutar badan, seolah mau menantang orang-orang yang berusaha merekam kami. Mereka langsung beringsut mundur dan berlagak tengah melakukan aktivitas lain.

"Yakin?"

Serempak aku dan Kia mengangguk. Kami keluar terminal kedatangan menuju gedung parkir. Di puncak escalator sebelum memasuki gedung parkir, puluhan wartawan sudah bersiaga mengarahkan kamera. Gue menarik napas sebelum menjejakkan kaki di atas eskalator.

"Jangan khawatir," bisikku sambil merapatkan rangkulan.

Dia mengangguk. Gue dan Kia menyelipkan diri di tengah rombongan.

Mbak Saski merapat di sebelah Kia seolah ingin melindungi cewek itu—bahkan dari gue sekalipun. "Lama-lama lo juga bakal terbiasa dengan kehidupan Kai yang..." Dia melempar tatapan padaku, "kalau sampai ini cuma ulah lain lo buat dompleng sensasi, gue nggak segan-segan nyingkirin lo dari agensi."

"Kok lo ngomongnya gitu, Mbak." Gue membelalak. Tudingannya empuk banget.

"Denger ya, Kai. Seleb-seleb sensasional cuma laris diundang sama acar infotainment, paling banter talkshow. Duitnya nggak seberapa, hina namanya luar biasa."

Kia tertawa mendengar aku ditegur begitu.

"Kalau gue cuma cari sensasi, nggak sudi gue kawin jauh-jauh sampai ke Labuan Bajo menghindari wartawan," kilahku.

"Atau sebaliknya, semakin bikin orang penasaran?" Mbak Saski menaikkan alis penuh curiga.

Gue mengerling. "Terserah. Kayak lo nggak kenal gue saja." Lalu gue tarik Kia rapat ke gue. Cewek ini harus ada di pihak gue. Dia nggak boleh meragukan gue.

Asha dan anak-anak menejemen sudah mencapai puncak escalator. Gue menarik napas panjang sekali lagi. "Semua baik-baik saja," bisik gue pada Kia, padahal itu ditujukan ke gue sendiri.

"Boleh minggir dulu?" teriak salah satu teman menejemen gue. "Kita nggak bisa lewat nih. Nggak lucu kan, kudu jalan di tempat di atas escalator."

Akhirnya rombongan wartawan menyibak. Seorang wartawan langsung menghampiri teman gue, membawanya ke tepi buat diwawancarai. Begitu juga teman-teman gue yang lain. Ditarik ketepi diintrogasi. Pasti testimoni soal pernikahan gue. Sisanya, masih menyemut di depan. Mereka ini bukan dari media yang sama, tapi seolah sudah berbagi tugas masing-masing jangan sampai rombongan lenong ini luput dari cecaran mereka.

"Kai! Kai! Cerita-cerita kabar bahagianya dong."

"Kai, kenapa kawinannya jauh banget?"

"Kai, kenalin dong istrinya ke media."

Belum mendarat di puncak escalator mereka sudah memberondong gue dengan beragam pertanyaan.

Begitu menjejakkan kaki di lantai, mereka menahan gerak langkah kami, memaksa kami mengatakan sepatah dua patah kata. Gue pengin banget terus bungkam, tapi orang-orang yang mengantre di belakang gue terus mendesak supaya kericuhan ini cepat diakhiri. Security bandara nggak bisa berbuat banyak lantaran banyaknya wartawan—mungkin juga mereka dititipi pesan istrinya buat nyari tahu bahkan merekam yang gosip yang beredar. Lumayan numpang tenar kalau tangkapan kameranya masuk Bibir Nyinyir.

"Terima kasih atas perhatian rekan-rekan media. Mohon doanya saja supaya saya dan istri bisa langgeng." Setelah tersenyum, gue merangkul Kia erat-erat lalu mencoba menembus pertahanan para wartawan.

Sayangnya, pernyataan itu seolah nggak cukup buat mereka.

"Kenapa pernikahan ini terkesan ditutupi, Kai?" Pertanyaan pancingan.

"Kenapa pernikahannya dadakan banget?" Pertanyaan pancingan nomor dua.

"Apa tanggapan kerabat kalian pernikahan ini?"

"Sempat beredar isu pernikahannya gagal karena kalian membatalkan venue. Bisa dikonfirmasi soal ini Kai?"

"Kai, kenapa memilih pasangan dari non-selebriti?"

"Kenal di mana sama pasangan Kai?"

Gue cuma tersenyum menatap mereka sambil berusaha mengusir kerumunan ini. Mbak Saski terjepit di tengah wartawan. Sementara Asha yang tadi berhasil lepas di awal berusaha menarik Kia keluar dari kerumunan tapi gagal. Terjadi saling dorong dan saling desak.

"Rekan-rekan wartawan, mohon menghormati privasi kami," teriakanku seharusnya cukup lantang, tapi mereka mengacuhkan.

Gagal menginterogasiku, mereka ganti mengintimidasi Kia. Desak-desakan menghimpitnya. Microfon disoforkan tepat di depan wajahnya. Semua orang berebut mendapatkan posisi terdepan dan terdekat. Seorang wartawan terdorong maju hingga microfonnya menusuk perut Kia.

Kia mengaduh sambil memegangi perutnya. Tangan gue menopang badannya yang oleng ke belakang.

"Bisa nggak, jangan main fisik?" tanya gue kesal pada semua mata yang memandang tanpa iba. "Kamu nggak apa-apa?" tanya gue ke Kia, panik. Khawatir.

Kia menggeleng.

Dalam keadaan seperti itu, mereka bukannya buyar atau memberi celah lebih lebar, malah menyorotkan kamera. Pertanyaan-pertanyaan juga makin ngawur terdengat.

"Perutnya nggak apa-apa Mbak?" Ini jelas subbab pertanyaan pancingan.

"Mungkin perlu ke rumah sakit?"

"CUKUP! CUKUP!  BISA TOLONG MINGGIR?" teriakku marah. Sungguh kali ini aku harus marah. Mereka keterlaluan.

Alih-alih menyingkir, mereka malah mengarahkan kamera ke tangan Kia yang memegangi perut. Kan, sialan. Gue hamper tahu apa yang ada di otak mereka.

"Kalau kalian penasaran apa Kia hamil duluan, hitungin saja kalender mulai sekarang!" Gue menegakkan punggung Kia sambil menyibak kasar kerumunan.

Kia menggeleng-geleng lemah. Dia tampaknya sudah kehabisan napas berhimpitan dengan kegugupan, juga kelelahan karena kurang tidur. Gue nggak peduli lagi. Tangan gue mencengkeram salah satu kamera sambil menatap kameraman di belakangnya.

"Geser atau gue benturin kamera lo?" desis gue. Nggak berteriak, tapi gue yakin kameraman itu mendengar. Peduli setan kalau yang barusan direkam. Peduli setan!

oOo

Winterhearted (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang