[36] Treason

6.5K 735 28
                                    

~oOo~

Kekuatan yang melumpuhkan kesetiaan

Kesetiaan yang menyisakan kesakitan

Kesakitan yang meninggalkan keputusaasaan

~oOo~

~KAI~

Nyaris tengah malam waktu gue sampai ke rumah. Lampu udah temaram dan Kia udah berbaring di kamar. Nggak mau ganggu dia, jadi gue serba pelan-pelan mandi dan ganti baju. Sebisa mungkin nggak nyalain lampu supaya dia nggak terganggu.

Gue berbaring di sebelahnya perlahan. Pengin minta maaf, tapi cuma dapat punggung. Pengin langsung meluk dari belakang takut diamuk. Seenaknya gue nyimpulin dia bakal ngamuk, padahal belum tentu juga. Gue belum mengenal Kia luar dalam. Mendadak rasa asing yang biasa hinggap di awal pernikahan kami muncul lagi.

"Kia, maaf," lirih gue nyaris nggak kedengaran. Permintaan maaf itu lebih terdengar sebagai usaha gue melegakan diri sendiri dari pada memohon maaf dengan tulus. Payah gue!

Pada akhirnya gue cuma bisa terlelap sambil menatap punggung istri gue. Pas kebangun, punggung itu udah nggak ada berganti jendela yang silau banget. Sial! Gue kesiangan!

Buru-buru gue melihat ponsel dan nggak ada panggilan masuk dari kru film-nya Kania. Ini aneh. Padahal setengah jam lagi on cam, biasanya sejam sebelumnya ada kru yang nelepon kalau gue belum muncul di lokasi.

Terserahlah. Gue pilih siap-siap kilat lalu meluncur ke lokasi. Sampai di sana, gue disambut cengiran dan lambaian santai. Gue menggaruk tengkuk. Lima menit sebelum on cam, dan nggak ada yang negur atau menyambut gue buat buru-buru ganti kostum?

"Sori, gue telat!" Gue melambai ke Jansen yang kebetulan melintas. Jarang-jarang produser turun langsung ke lapangan. Mungkin karena ini proyek sepupunya.

Jansen berbalik menghampiri lalu menepuk punggung gue. "Santai bro, Alika juga belum kelar dandan."

Kening gue berkerut. Feeling gue langsung nggak enak. Benar dong, setengah jam setelah jadwal on cam, gue baru dipanggil buat ganti baju, touch up, coba reading lagi yang Alika masih gugup-takut kayak gue ngajak berantem aja.

"Pak Sut!" Gue melambai-lambaikan tangan ke sutradara setelah dua jam dan lighting-nya belum siap juga. Dari tadi kerjaan gue cuma nyoba blocking, geser sana, geser sini. "Jam berapa mulai?" Telunjuk gue mengetuk pergelangan tangan. Sudah nyaris jam makan siang.

"Sebentar lagi, Kai."

"Sebentar itu jam berapa?" Gue bangkit dari kursi tunggu yang disediakan kru. Hari ini kami syuting di daerah Cibubur, di salah satu taman resto. "Kalau masih lama, gue mau ke tempat istri gue dulu deh."

"Jangan dong. Pengantin baru kalau ketemu istri suka lama," guraunya, tapi gue nggak terhibur.

Capek banget nungguin nggak jelas begini. Gue bakal mencatat dalam hati buat blacklist tim produksi tukang ngaret begini. Mana sialnya, gue diagendakan syuting seharian full, jadi nggak ada jadwal lain yang bikin gue ngeles pula. "Gue udah nunggu dua jam, Bro! Nunggu apa lagi sih?"

"Satu kamera belum ready," kata sutradara. "Lo mau kita single cam terus retake-retake buat close up shoot-nya?"

Kedua tangan gue mengendik terbuka. "Kok bisa?"

"Hai, Kai!" Kania muncul di antara kemaran gue ke sutradara. "Udah dari tadi?"

Ini lagi kenapa mesti muncul di sini. Bisa prahara lagi hidup gue. Ya Tuhan, kalau mau tobat ada aja sih, yang namanya ujian. Heran gue sama Tuhan.

Winterhearted (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang