[17] Trigger (2)

8.5K 1.1K 211
                                    

~oOo~

Sadar menjebak dan tak ingin dia memberontak.

~oOo~

~KAI~

Waigeo Villa sering jadi tempat gue menginap kalau sedang ke Raja Ampat. Tempatnya lumayan dan punya dermaga sendiri. Yang paling gue suka adalah resto outdoor-nya yang nggak jauh dari pantai. Ada bangku-bangku kayu berat yang nyaman untuk diduduki. Kalau siang, naungan pohon-pohon besar membuat tempat ini tetap teduh.

Sementara gue susah banget nelan makanan, Kia tampaknya baik-baik saja. Dia makan dengan tenang, bahkan cenderung lahap. Mood-nya benar-benar membaik. Gue ikut senang kisah sedih gue berhasil menjadi booster lo buat bangkit, Kia.

"Lo percaya takdir, Kia?" tanya gue waktu makan malam kami selesai dan di atas meja terhidang seporsi buah dan kudapan.

"Hm?"

"Takdir dan karma." Gue menoleh supaya bisa melihat ekspresinya.

Kami berdua duduk di bangku panjang yang sama. Kia menaikkan kaki ke bangku dan memeluknya seperti menahan dingin. Gue melepas jaket dan meletakkannya di atas punggung Kia. Prosedur standar banget memang.

"Thanks." Dia merapikan jaket gue yang menyampir di punggungnya. Angin malam ini lumayan. Debur ombak juga cukup kencang terdengar. "Gue mau bilang nggak percaya tapi keduanya bekerja dalam hidup gue."

"Kalau gue bilang..." Gue menahan napas. Obrolan baru dimulai dan gue sudah langsung mengarah pada inti percakapan ini. "Takdir sedang memainkan magical moment untuk menjerat kita. Apa lo percaya?"

"Kai, ini lo lagi gombalin gue apa gimana?"

"Yakin lo ngerasa ini cuma gombalan?"

Kia terdiam. Gue tahu dia ngerti apa yang gue maksud. Pertemuan kami di diskotik, di Bellagio Mall Jakarta, hingga sisi timur Indonesia berulang kali bukan sebuah kebetulan biasa. Cerita hidup kami yang senada dan tengah berada di titik yang sama—dihujat ketika ingin bertaubat. Lalu kami tertambat di sini. Kalau ini cuma kebetulan biasa, dunia benar-benar lelucon. Terlalu lucu.

"Sudah lama gue nggak gombalin cewek, Kia. Sudah lama gue berhenti jadi cowok brengsek dan baru kali ini gue tergoda lagi."

"Sama gue?" Kia terkekeh. Tapi gue nggak ikut tertawa. Biar dia tahu, gue serius.

"Ya."

Begitu gue mengiyakan, tawa Kia langsung membeku. Dia menarik kakinya turun dari bangku. Gerakannya jadi kaku waktu menanggalkan jaket gue dari bahunya. Dia bergerak-gerak seperti mau pergi, tapi gue menahannya. Tangannya begitu dingin. Kia gemetar.

oOo

~KIA~

Udara mendadak jadi lapisan beku yang sulit kuhirup. Jantungku kehilangan daya untuk memompa. Tubuhku gemetar. Aku kedinginan.

Apa yang terjadi di antara kami? Kenapa Kai merasakan hal yang sama persis kurasakan. Jaring-jaring takdir sialan dan rasa ketertarikan satu sama lain padahal kami sudah menyumpah untuk berubah?

Percakapan semalam cukup untuk menguatkanku menghadapi hidupku lagi. Apa secepat itu kekuatanku menguap pergi, membiarkan aku terjerat kesalahan yang sama berulang kali, lalu suatu saat jatuh terpuruk lebih buruk lagi?

"Kai, ini nggak benar," serakku.

Kai mengggenggam jariku dengan telapak tangannya yang besar dan hangat, tapi aku diserang ketakutan alih-alih ketenangan. Aku harus menyingkir dari godaan ini. Masing-masing dari kami punya sisi iblis yang ditidurkan. Sisi petualang yang sulit dipadamkan. Saling menaklukkan sesama petualang memang tawaran menggiurkan, tapi aku sudah bertekad untuk berhenti.

Kegagalanku atas Nathan saja rasanya cukup untuk membuatku mati. Apalagi jika aku mengulangi kesalahan lagi. Tuhan pasti lebih murka dari ini dan melimpahiku teguran yang lebih keras dari ini.

"Gue tahu kita sama-sama ingin berhenti Kia, tapi dengar dulu apa yang mau gue omongin.Please, Kia." Genggaman tangan Kai semakin erat. Matanya sarat permohonan. "Bagaimana kalau pertemuan-pertemuan ini adalah jawaban takdir atas keinginan kita?"

Aku tersengat aliran listrik kecil. Tidak menyangka akan mendengar pertanyaan itu. "A-apa maksud lo?"

Kai mengarahkanku untuk duduk dan keterkejutan membuatku menurut begitu saja. "Kita berdua adalah dua orang yang sama-sama mencari jalan untuk tidak mengulangi kesalahan dan berhenti menyakiti orang lain. Bukan begitu?"

Aku mengangguk kaku.

"Bagaimana kalau takdir mau kita menaklukkan satu sama lain?"

"Kai!"

Tangan Kai terangkat. Dia memintaku untuk tidak menyela ucapannya. "Kita ini sama-sama penjahat, Kia. Karma dan takdir sedang berkonspirasi untuk mengendalikan kita. Kalau lo sama gue bersama, nggak ada lagi yang jadi korban sakit hati. Selain itu, kalau lo sakit hati karena gue dan sebaliknya, anggap saja karma sedang bekerja untuk menghukum kita."

Butuh waktu bagiku untuk mencerna kata-kata Kai. Udara di sekelilingku serasa mampat. Apa ini teknik untuk menyatakan perasaan dalam level berbeda dari seorang casanova? Kepalaku menggeleng seperti mengusir pendaran tak kasat mata yang mengganggu kejernihan pikiranku."Apa yang sebenarnya lo mau?"

Dada Kai naik. Dia membiarkan udara mengisi ruang kosong dalam paru-parunya sebelum mengatakan, "Mari kita berperang menaklukkan satu sama lain."

oOo

~KAI~

Tidak sepersekian detik pun gue mengalihkan tatapan dari mata sayu Kia. Segalanya harus jelas. Semalaman di dermaga, menjaga dia yang lelap tertidur, otak gue nggak berhenti untuk mempertimbangkan kemungkinan ini. Terdengar sinting, tapi masuk akal. Kami berdua berada dalam level yang sama.

Latar belakang keluarga yang sama-sama kelam, latar belakang masa lalu yang sama-sama suram, track record yang sama-sama mengerikan. Tidak ada yang patut protes seperti yang terjadi dalam hubungan gue dan Kania atau Kia dan Nathan.

"Lalu setelah takluk apa, Kai? Lo ninggalin gue, gue ninggalin elo. Done." Kia menjepit rambutnya dengan frustasi. "Gue sakit hati, lo sakit hati. Lalu apa?"

Gue meraih kedua tangan Kia hati-hati dan menangkupkan kedua pasang tangan kami jadi satu. "Nggak akan ada yang ninggalin satu sama lain kecuali kematian."

Bibir tipis Kia membuka. Matanya menyipit penuh kebingungan.

"Peperangan ini bersifat selamanya, seumur hidup kita, Kia." Mata gue menatapnya serius. Jelas gue tidak menyisakan celah untuk menyebut semua ini sebagai sekedar lelucon atau gombalan player tolol. "Ayo kita menikah dan mengakhiri petualangan kita."

oOo

~KIA~

Aku pasti benar-benar sudah mati. Tubuhku berhenti memberontak, tanganku dalam genggaman Kai mati rasa, napasku tidak teraba dan detak jantungku tidak bekerja. Aku melayang dalam ruang kosong yang hampa dan kehilangan seluruh kemampuan indera.

Apa yang terjadi pada kami berdua hingga ide ini dicetuskan Kai? Segala kebetulan ini memang menyisakan misteri. Tapi sebuah pernikahan adalah hal tergila yang pernah kudengar dari seorang asing yang baru beberapa hari kukenal.

"Lo punya waktu sampai besok pagi untuk memikirkan semua ini, Kia," kata Kai setelah beberapa menit kuhabiskan dalam keterkejutan. "Kalau lo setuju dengan penawaran gue, ayo kita ke Misool. Anggap perjalanan ini sebagai tahap pengenalan kita lebih jauh."

oOo

Winterhearted (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang