~oOo~
Kejutan apa yang disiapkan Tuhan untuk kami?
Dua makhluk yang tak paham arti mencintai
~oOo~
~KAI~
Tidur saja di sebelahnya!
Bohong kalau gue nggak tertarik sama Kia. Bohong kalau gue nggak ingin merengkuhnya. Kucing mana yang nggak suka suka daging?
Set dah! Jelek banget istilah gue buat diri sendiri. Whatsoeva, lah.
Tapi gue, kami, menikah untuk berhenti menjadi kucing liar yang makan sembarang daging, ikan asin atau bekas tulang belulang. Kami ingin menjadi kucing peliharaan yang bersih, wangi dan bahagia. Gue pemimpin bagi Kia sekarang. Surga-neraka gue yang bakal membawa dia. Bahagia atau menderita gue yang menuntunnya. Dan kami ingin segalanya baik-baik saja.
Sebelum pernikahan ini terjadi, gue sudah berniat flirtinghabis-habisan, memperlakukannya sebagaimana pasangan yang baru saja menikah lainnya, menghujanjinya dengan berbagai hal manis. Namun, beberapa jam sebelum prosesi pernikahan dimulai aku mulai berpikir. Dalam, sangat.
Saat itu, nyokap bicara dari hati ke hati dan itu mengganggu gue.
"Kamu yakin dengan pernikahan ini?" tanyanya dengan raut cemas. Nyokap, hamper hafal luar dalam sepak terjang gue—seringnya gue mau diterjang karena susah dibilangin dan ujung-ujungnya nyokap nyerah ngasih tahu. "Kalau pernikahan ini cuma sebuah pelarian yang menyakitkan untuk Kia suatu saat nanti, pernikahan ini terlarang untuk dilakukan, Kai. Mama adalah orang yang gagal, semoga tidak denganmu."
Gue terus berpikir apakah gue salah mengambil keputusan? Pertanyaan itu mengejar jawaban yang entah di mana harus dikejar dan dicari. Jadi inilah keputusanku; menunda soal flirting habis-habisan itu hingga sang jawaban tertangkap. Kami harus memastikan hati kami satu sama lain, sebelum aku memperburuk keadaan dengan bermain dengan hatinya.
oOo
"Pikirin cara buat mengatasi omongan nggak ngenakin di media." Mbak Saski meletakkan iPad tepat di depan gue yang lagi mengamati segunung kado pernikahan di atas meja.
"Apa nih?" tanyaku sambil melirik Mbak Saski yang balik ke belakang mejanya.
"Apa lagi kalau bukan sikap lo kemarin sore di bandara."
Gue batal membaca artikel itu. "Lalu gue harus diam saja?"
"Kesepakatannya begitu kan?" Mbak Saski melongok dari balik kacamata yang dipakainya. "Kita hadapi dengan tenang, jangan kayak kucing-kucingan, senyumin saja, terus lewat saja. Lalu kenapa lo pakai ngancam-ngancam mereka, Kai?" geram Mbak Saski nggak tertahankan.
"Menurut lo, apa gue harus diam istri gue dikeroyok kayak gitu?" Gue lihatin saja Mbak Saski. Kayaknya, salah terus gue di mata dia. Apa dia senewen gara-gara jatah cuti gue jadi panjang nggak keruan karena liburan terus ditambahin cuti kawinan? "Gue bakal ambil sikap kalau ada yang mutus kontrak gara-gara teguran gue ke media."
"Pengantin baru mah, gitu Mbak Saski," Asha yang baru datang dengan setumpuk wardrobe meletakkan sesuatu di tumpukan kadoku, lalu berbisik di sebelah Mbak Saski, "sensitif dan posesif."
Mbak Saski mengibaskan tangan meminta Asha tidak ikut campur. "Sikap lo justru bikin mereka ngomong yang enggak-enggak dihubungkan sama perutnya Kia."
"Mereka boleh ngomong apa aja soal gue, tapi jangan Kia apalagi sampai nyentuh dia, Mbak," tambah gue.
"Apa kubilang, Mbak Saski." Asha berkeras memanasi Mbak Saski.
"Terserah apa kata lo, yang jelas, image kasar nggak bisa dibenarkan. Konfirmasi sana di sosmed lo."
Gue mendengkus. Titah mutlak Mbak Saski nggak pernah bisa dibantah. Gue mengalihkan kekesalan dengan meraih tumpukan hadiah yang tergeletak di meja, mengecek pengirimnya satu persatu tanpa membuka isinya, lalu tiba giliran kotak yang tadi diletakkan Asha.
"Dari lo?" tanya gue ke Asha. "Nggak kurang gede?"
Asha melirik Mbak Saski sebentar, lalu berjalan perlahan ke arah gue. Waktu dia mendekat dengan cara aneh begitu, gue langsung waspada. Terutama waktu dia bicara hati-hati dan perlahan.
"Titipan Kania."
Ada nggak istilah lain yang lebih dahsyat dari sambaran petir siang bolong? Asha pernah dekat dengan Kania, gue tahu itu. Namun, Kania ngirimi gue kado pernikahan? Setelah peristiwa tak menyenangkan tempo hari dia masih mengirimi gue kado?
Gue menatap Asha lekat-lekat yang langsung membuatnya mundur dari gue. Aroma keheningan yang janggal membuat Mbak Saski menatap kami curiga.
"Ada apa?" tanyanya.
"Nggak ada, Mbak." Asha mundur—lebih tepatnya menghindari gue dan mewakili menjawab. "Gue kepo sama banyaknya kado," dusta Asha. Jelas dia takut kena tegur Mbak Saski kalau masih menjadi kurir Kania. Mbak Saski jelas takut gue galau berkepanjangan kayak dulu pas awal putus—meski pun gue sangsi itu bakal terjadi lagi sekarang.
Napas gue tertahan dan mata gue terpaku pada kado berbalut beledu navy itu. Bukankah gue harus membukanya sebelum membawa semua benda ini pulang nanti? Memastikan Kia nggak bakal marah karena apa yang dikirimkan Kania—entah apa pun isinya.
Tangan gue sedikit dingin waktu meraih kotak itu. Permukaannya lembut, mengingatkan gue pada Kania yang suka sekali kain sejenis ini untuk pakaiannya. Dan navy adalah warna gaun yang dia kenakan pas kami kami dinner pertama kalinya sebagai pasangan.
Damn it! Gue ingat sampai sedetail itu.
Gue membukanya perlahan. Dada gue sesak oleh antisipasi soal apa yang dia kirim. Membuka kotak itu rasanya bikin jantung gue berhenti. Apa pun isinya gue harap bukan bingkisan beraga barang mantan, melainkan hal lain.
Scarpbook album. Itu isinya.
Gue nggak tahu mesti lega atau curiga, jadi gue buka album berwarna nude lembut itu. Halaman pertamanya kosong. Pilihan yang bagus untuk meletakkan foto di hari bahagia. Tapi, otak gue lalu memproyeksi, meletakkan foto di hari bahagia sambil terbayang-bayang foto-foto kebersamaan dengan mantan? Gue dan Kia sama-sama tertawa memandangi buku itu nantinya. Kia tertawa karena ekspresi gue yang lucu, sedangkan gue tertawa karena album itu mengingatkan gue sama mantan yang fotonya menuh-menuhin album foto gue dulu?
Ah, konyol.
Entah kenapa gue jadi negative thingkingsama scrapbook album ini. Bukankah seharusnya gue berterima kasih? Walau begitu, gue tetap membalik halaman kedua—berharap menemukan sesuatu. Kosong. Entah kenapa gue didorong untuk mengecek semua halamannya tapi Mbak Saski keburu teriak.
"Kai ngapain lo? Bukannya kerja malah bukain kado!" teriak Mbak Saski. "Kirim klarifikasi sana!"
oOo
KAMU SEDANG MEMBACA
Winterhearted (END)
RomanceMantan playboy dan playgirl dipertemukan ketika keduanya sama-sama patah hati dan ingin bertaubat. Tampaknya, takdir sedang bermain dengan magic moment bernama 'kebetulan'. Mulai dari Jakarta hingga Raja Ampat, keduanya terus dipertemukan secara tid...