C5M - 10. Iya!

31 12 1
                                        

‍‍‍‍‍‍‍‍‍“Mau aku jawab atau enggak, semua itu gak akan ada gunanya lagi, Kak. Sekedar berteman pun, Ibu gak merestui.”

“Tapi kenapa, Mbak?” Lelaki di depan Hasna mengerutkan kening. Kurang jelas bagaimana lagi kalimatnya. Ia benci harus mengulang-ngulang.

Melihat tak ada jawaban apa pun dari Hasna. Lelaki itu kembaki bicara, “Ibu Mbak udah tau soal kakak? Ibu udah kenal kakak?”

Hasna menatap sekilas, tak tau harus menjelaskan mulai dari mana. Berbalik badan ia segera melangkah keluar restoran. Jasa ojek online yang ia pesan sudah di pinggir jalan.

“Mbak Hasna, ya.” Gadis itu tersenyum, menerima helm yang diberikan perempuan berjaket hijau tersebut.

Ketika sudah bersiap untuk naik ke boncengan. Suara Farhan menahannya untuk beberapa saat. Lelaki itu mendekat.

“Tujuan kakak ke sini itu cuma buat Mbak. Dan kakak gak akan pernah berhenti sebelum sampai ke tujuan.”

Hasna hanya bisa bungkam dan memalingkan wajah. Naik ke motor matic tersebut, tanpa berpamitan Hasba menyuruh perempuan muda itu melajukan motornya. Di balik kaca helm yang Hasna kenakan, ada genangan deras air mata yang berusaha ia sembunyikan.

Hasna bisa apa. Ia sendiri tak menyangka akan mengatakan hal itu hari ini. Dia pikir, kemarin akan jadi awal warna baru hari-harinya. Hasna ingin memberanikan diri membuka hati untuk Farhan. Hasna ingin mulai mempercayai lelaki itu. Namun, mungkin Farhan bukan takdir Hasna sehingga semuanya harus berakhir hari ini.

“Mbak udah sampe.”

“Oh, iya.” Dengan terburu-buru, dirinya menyeka air mata lalu menyerahkan helm kembali pada mbak tukang ojeknya.

“Terima kasih.”

“Mbak, sebentar!” Hasna kembali berbalik. Perempuan itu menyodorkan sebuah sapu tangan putih.

“Titipan dari mas yang tadi.”

Memandangi benda itu, Hasna mengambilnyameremat benda itu sementara dia membalas senyuman tukang ojek tersebut. Buru-buru ia masuk ke dalam. Menuju ke kamar mandi yang ada di tokonya.

Sapu tangan itu, meninggalkan wangi khas Farhan. Menangis dalam keheningan. Rasa sesak datang lagi, persis seperti pertama kali ia bertemu dengan Farhan lebaran hari itu.

***

Sudah sebulan berlalu. Farhan benar-benar tak pernah menemuinya. Begitu pun Galen. Dan selama sebulan itu pula. Ibunya sellau mendesak Hasna untuk segera menikah. Seperti saat ini.

“Hasna, kamu harus nikah. Umur mu itu udah 26, kurang berapa bulan aja udah 27. Kapan sih, nak?”

“Bu, Hasna belum ketemu sama yang cocok. Lagian Hasna lagi mau fokus ke usaha aja dulu.”

Makan pagi, makan siang, makan malam. Selalu saja itu yang dibahas. Entah ada apa dengan Ismi. Hasna sendiri tak pernah mengerti.

“Kalo semisal jodoh kamu dateng. Gimana? Masih belum siap juga?”

Hasna memejamkan mata. Kalimat ibunya mulai melantur. Sebulan lalu Ismi sendiri yang menyurh Hasan menjauh dari semua teman laki-lakinya. Tapi hari ini jadi lain haluan.

“Ibu Hasna capek kalo mikirin itu terus.”

“Udah Bu, jangan paksa Hasna dengan terus-terusan bicarain masalah itu. Biarin Hasna menentukan hidupnya. Selagi dia tidak berbuat yang buruk, gak usah dipaksa-paksa gitu, Bu.” Hasan angkat bicara.

“Bapak tuh sama aja, hak ngerti maksud ibu. Udahlah.”

Ismi berlalu dari meja makan. Vanya yang sejak tadi diam akhirnya pamit berangkat sekolah. Tak lama Hasan juga berlaku dari sana. Tinggal Hasna sendiri di dapur dengan segala pikirannya yang terus tertuju pada Farhan.

Hasna pernah hampir mau menerima lamaran lelaki itu. Dan mungkin hari ini tak pernah terjadi. Ibunya tak akan mendesak Hasna untuk segera menikah.

Ya Allah. Hasna harus bagaimana.

Saat itu pukul lima sore dan Hasna mendadak harus ke toko kue untuk membantu para peekrjanya yang agak ketetran dengan pesanan untuk malam itu. Sesampainya di pelataran toko.

Ada sebuah mobil hitam yang Hasna paham betul siapa pemiliknya. SUV itu terparkir manis di pinggir jalan depan toko kue Nusa. Entah ini kebetulan atau bagaimana, dia sedang membeli sesuatu. Puput yang melayaninya.

Hasna berniat masuk tanpa menyapa ataupun berbasa-basi. Namun, tiba-tiba, “Mbak, boleh saya bicara sebentar.”

Puput di sana juga memerhatikan, Hasna bisa apa selain mengangguk. Sementara lelaki itu mengambil kue pembeliannya. Hasna mengambil duduk di depan etalase.

“Bisa kita cari tempat lain?”

Menoleh tajam, Hasna menggeleng kecil. “Di sini saja tidak masalah.”

Farhan masih berdiri terlihat ingin mengucapkan sesuatu. Dan Hasna paham apa itu. Menoleh pada Puput, Hasna lantas tersenyum. “Puput ke belakang aja dulu, aku yang jagain tokonya.”

Suasana hening, sepeninggalnya Puput. Hasna menghadap pada jalan, duduk diam seakan tak ada siapa pun di sampingnya. Suara kaki bangku digeser. Tak lama lelaki di sampingnya bersuara.

“Mbak, maafin kakak. Karena kedatangan kakak yang terus-terusan. Mbak jadi kena gosip orang-orang.”

Melirik sekikas pada Farhan, ini pasti perbuatan Vanya. Anak itu pasti menceritakan semuanya pada dia.

“Kalo gitu masalahnya. Ijinin kakak buat nemuin ibu sama bapak Mbak.”

“Buat apa?” sela Hasna tajam. “Aku juga belum tentu nerima lamaran kakak. Kenapa kakak keukeuh banget, sih?”

Tak ada hal lucu, tapi Farhan malah tertawa kecil. Dan tingkahnya barusan menarik eprhatian Hasna yang lantas menoleh, menatap dengan wajah heran. “Karena cuma Mbak alasan kakak ada di sini.”

Dia tersenyum sampai dua pipinya berlubang. Lalu Farhan kembali bicara. “Mbak lagi pusing, kan? Ijinin kakak bantuin Mbak Hasna keluar dari masalah mbak itu.”

Katakanlah Hasna mudah terbawa perasaan, sikap Farhan yang begini malah membuat Hasna ingin menangis saja. Hasna sudah menyuruh lelaki itu untuk tidak mendekat, Hasna bahkan selalu mereject panggilannya, tak membalas pesannya, bahkan bersikap cuek padanya, tapi dia masih tak berhenti.

“Kakak tau, Mbak. Kalau perasaan cinta kakak ini gak pernah bertepuk sebelah tangan.”

Hasna diam, dia memalingkan wajah ke arah lain. Mencegah Farhan melihat air matanya.

“Iya kan, Mbak?”

“Iya!”

Cinta Satu JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang