Mengunyah pelan nasi goreng buatan sang ibu. Pagi itu, isi kepala Hasna seluruhnya tersita pada laki-laki berlesung pipi kemarin. Hati kecilnya resah. Bertanya-tanya apakah benar dia adalah Farhan, laki-laki yang berhasil mengunci hati Hasna.
Jika dipikirkan, rasanya hal ini mustahil terjadi. Farhan yang dikenalnya tujuh tahun lalu tak akan bisa sampai menemukannya. Tidak, karena Hasna tak pernah memberikan alamat lengkap keberadaannya.
“Mbak Hasna!”
Bahunya tersentak lalu refleks berucap, “Apaan sih, Nya? Teriak-teriak aja.”
“Mbak Hasna tuh ngelamun aja.” Lagi-lagi Hasna terdiam. Memangnya apa yang ibu dan adiknya bicarakan.
“Tuh kan, Bu, bener. Vanya gak bohong. Mbak Hasna lagi ngelamunin cowok yang kemarin di makam Gus Dur itu.”
Hasna melotot, meletakkan sendoknya di piring. Heh, apa-apaan adiknya itu. “Cowo yang mana? Mbak Hasna gak kenal orang itu. Masih abg jangan sok tau, ya.”
“Eee, Vanya li—”
“Vanya, kalo makan itu diem. Udah gak usah dibahas lagi.”
Ismi lalu memandang putri sulungnya. “Kata bapak ada urusan kerjaan yang gak beres. Masalah di toko mana, Mbak?”
Sementara adiknya menekuk wajah karena teguran sang ibu. Hasna kini tengah menimang, haruskah ia menjawab pertanyaan ibunya dengan jujur.
“Itu Bu, pabrik garment di daerah Tugu. Mundur dua mingguan beroperasinya. Jadi harusnya Hasna udah dapet duit 360 kotak nasi. Eh, malah gak jadi.”
Hasna terkekeh kecil, berusaha menutupi kedustaan lain. Yang barusan dia katakan memang tak salah, tapi jujur, bukan ini masalahnya. Semalaman dia berusaha memutar otak agar bisa mendapat uang untuk membayar para pekerja kateringnya. Jatah gajian karyawan katering habis untuk membeli bahan makanan yang harusnya senin besok sudah ia dapatkan hasilnya dari pabrik.
“Uang buat gajian ibu-ibu katering udah ada kan, Na?” tanya Ismi lagi.
Hasna terpaksa mengangguk. Ia akan mengusahakan uangnya. Masih ada waktu satu hari sebelum tanggal satu.
“Ya sudah, ibu ke kamar bapak dulu.”
Menghembuskan napas panjang, matanya menatap pada meja. Kepalanya berusaha keras mencari jalan keluar. Meminjam uang adalah satu-satunya yang terlintas. Tapi pada siapa, itulah yang jadi masalahnya.
.Hasna baru saja memindahkan masakannya ke wadah mangkuk saat sebuah bel berbunyi. Menoleh ke belakang, pasti ada tamu. Tumben, apa Vanya sudah pulang. Tapi, kalau pun begitu sang adik pasti tak akan repot-repot memencet bel. Baru saja hendak melepas celemek, tapi ibunya melarang.
“Hasna lanjutin aja.” Ibunya lalu menoleh pada Hasan. “Sebentar Pak, ibu buka pintu dulu.”
Tak lama, Ismi kembali ke meja makan dengan Galen mengekor di belakangnya. Hasna diam saja, tak ikut menyapa. Lebih mendengarkan dialog ringan pria itu dengan dua orang tuanya.
“Gimana Om kabarnya?” Galen mendudukkan diri di kursi setelah mencium punggung tangan Hasan.
“Lebih baik dari sebelumnya. Kabarmu sekeluarga piye, Le?” Hasan kembali mengunyah suaoan yang Ismi sodorkan.
“Alhamdulillah, Galen sekeluarga sehat, Om.”
Ibu dan ayahnya mengucap syukur bahagia. Begitu pun Hasna ikut tersenyum. Hasna kantas mengambil posisi duduk di samping ibunya sembari mengisi piring dengan nasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Satu Janji
RomancePria asing itu menyapaku, tersenyum, dan mengaku-ngaku sebagai Farhan. Menggeleng kecil, tidak mungkin itu dia. Kisah kami sudah usai tujuh tahun silam, semenjak Farhan pergi tanpa jejak. Tidak meninggalkan nomor ponsel, akun media sosial, atau apa...