C5M - 8. Serius (?)

37 14 5
                                        

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍“Serius?”

Hasna menelan salivanya membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Jantung di balik hijab lebar tersebut berdebar kencang, rasanya seakan ingin copot detik itu juga. Baik dia dan Farhan sama-sama menoleh ke belakang. Tiga gelas pop es disusul adiknya yang duduk di bangku belakang menatap keduanya sekilas. Lalu pintu tertutup sempurna.

Oh Ya Tuhan, apakah Vanya mendengar semuanya. Hasna harap tidak. Remaja itu menyeruput sedotan miliknya seraya menyerahkan dua gelas lain pada Hasna dan Farhan.

“Kak Hasna emang terlalu serius  kan orangnya. Susah diajak bercanda. Dia tuh bete mulu bawaannya.”

Dua manusia di bangku depan saling berpandangan. Hasna memutus kontak lebih dulu, dia memandang ke depan lalu meminum es coklatnya. Dalam hati bersyukur, sepertinya Vanya tak mendengar semua yang Farhan katakan.

“Kak, iiih ... kok pada diem, sih?”

Detik kedua, tawa renyah Farhan meledak. Dia menoleh ke belakang, tersenyum lebar. Sangat manis, astaga. Sepertinya lelaki itu memang suka sekali pamer lesung pipinya.

“Vanya, Mbak Hasna mu itu susah ketawa karena terlalu pusing mikirin kerjaan mulu. Gak pernah kan jalan-jalan?”

Dengan lugunya Vanya mengangguk  sembari sibuk menyeruput minuman.

“Kalo gitu, pas weekend, hari minggu mau gak ke air Terjun Wonosalam?”

Menganga tak percaya, Hasna melebarkan mata menatap Farhan yang juga memandnangnya. Air terjun itu ... pernah jadi topik pembicaraan mereka bertahun-tahun lalu. Dan ... Farhan masih ingat.

Sedangkan di belakang sana Vanya bersorak riang. Entah bicara apa, namun setelahnya Farhan menoleh ke belakang lagi, meladeni celotehan adik ABGnya.

“Bener, ya? Kak Farhan gak bohong mau ajak Vanya ke sana hari minggu. Awas aja kalo bohong.”

“Iya, tuan puteri.”

“Eh, tapi kak. Aku sama mbak Hasna gak pernah dibolehin ke sana. Jalannya itu loh, curam. Bapak pasti gak bolehin.”

“Ya gapapa, nanti Kak Farhan yang yakinin bapaknya Mbak Hasna sama vanya. Oke. Serahin ke kakak.”

Napas Hasna memburu. Kalau seperti itu ceritanya, Farhan akan bertemu dengan bapak dan ibunya. Tidak, Hasna tak mau itu terjadi.

“Enggak Vanya. Gak usah ke sana.”

“Kenapa mbak? Kan Vanya juga pengen refresing sekali-sekali.”

Kali ini Hasna mennegok ke belakang. “Gak usah Vanya, hari minggu itu hari istirahatnya orang kerja. Gak usah ngeribetin mulu.

“Gak apa-apa mbak, kakak gak masalah,” sahutan Farhan sukses menyulut emosi Hasna.

“Maaf kak, kakak gak perlu repot-repot dateng ke rumah  nemuin orang tua aku buat minta ijin.”

Farhan terdiam, membisu di posisi duduknya yang menghadap penuh pada Hasna. Tanpa disangka, suara cempreng Vanya muncul lagi untuk membantah Hasna.

“Tapi Kak Farhan cuma mau ajak jalan-jalan aja, masa gak boleh. Mbak Hasna nih, kenapa sih?”

Entah apa alasannya, yang jelas Hasna tak mau kedua orang tuanya mengenal Farhan. Tidak dengan hubungan tak jelas mereka di masa sebelumnya.

“Mbak!” Suara sang adik kembali menyentak Hasna kembali pada kesadarannya.

“Vanya udah, mbak pusing. Banyak kerjaan, sekarang lebih baik kita pulang.”

Cinta Satu JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang