C5M - 14. Perkara Restu

30 10 0
                                    

‍‍‍‍‍Haluvyu: Mba, kk otw ke rumah mba sekarang.

Me
Kakak yakin udah siap nemuin orang tua aku?

Haluvyu: Sejak kakak menginjak tanah Jombang. Kk selalu siap buat menghadap orang tua mba

Seulas senyum menghiasi wajah Hasna. Dipandangnya cincin bermata satu yang tersemat di jari manis. Hasna lalu mengetikkan balsan.

Me
>.< aku tunggu. Semoga berhasil!

Haluvyu: Pasti dong mba haha tersayang
Haluvyu: Kk lgi nyetir, sampai nanti ya, Sayang

Hasna senyamcsenyum tak jelas membaca kata terakhir pesan Farhan. Astaga, itu pertama kalinya dia memanggil dengan sebutan sayang. Dan rasanya seperti ada kembang api yang meletup-letup.

Untuk sesaat, percakapn singkat mereka mengusir kegelisan yang sejak seminggu lalu menggelayuti Hasna. Tak terkecuali saat ini. Hasna takut, ibunya beraksi lain dari apa yang Hasna dan Farhan harapkan.

Hasna memegang perutnya, mendadak ia ingin ke toilet. Astaga perasaan tegang ini berdampak buruk pagi perutnya. Ini pernah terjadi, dulu saat ia akan menghadapi sidang skripsi. Ouh, itu pengalaman yang tidak bisa di bilang baik. Ia malah bolak-balik ke kamar mandi di menit-menit terakhir menjelang sidangnya.

Beberapa menit stelahnya. Vanya masuk, menggedor pintu kamar mandi di kamar Hasna.

"Mbak! Ceoet keluar, Kak Farhan ke rumah. Mbak cepeeet!"

Hasna buru-buru mencuci tangan, mengeringkannnya dengan handuk. Semntara di luar sana Vanya tak henti-henti menggedor pintu.

"Ih, sabar napa!"

"Ibu sama bapak yang gak bisa nunggu lama tau, Mbak."

Hasna menelan paksa salivanya. Oh tenggorakan juga mendadak jadi kering. "Euuu, y-yaaudah sana. Keluar duluan, abis ini mbak nyusul."

Hasna mengusap wajah pelan. Oh, Ya Tuhan. Dadanya bertalu-talu sekarang. Dengan langkah perlahan, ia memberanikan diri keluar kamar. Berjalan menuju ruang tamu.

Di sana ibu dan ayahnya duduk menghadap Farhan. Lelaki berkemeja maroon itu menoleh, tersenyum sekilas pada Hasna. Hasna duduk di sofa tepat di sebelah Farhan.

Hasna berdehem. "Bu, Pak ini Farhan, dia kerja di garment baru yang itu. Farhan juga temen Hasna."

Pria di sampingnya mengangguk. "Salam Pak, Bu."

"Jadi, ada urusan apa ke sini?" Hasan bertanya setelahnya.

"Sebelumnya saya meminta maaf karena telah datang kemari mendadak sekali."

Ia berhenti sejnak, lalu kembali bicara. "Niat saya, ingin melamar sekaligus meminta restu bapak dan ibu untuk menikah dengan Hasna."

Ruang tamu di rumah Hasan hening. Dua orang berumur setengah abad tersebut memandang tak percaya pada putri sulung mereka. Terlebih Ismi, dia yang paling menunjukkan wajah tak sukanya terang-terangan.

Hasna angkat bicara. "Bu, Hasna mau minta restu. Farhan sama Hasna mau nikah."

"Enggak! Ibu gak kasih restu. Ibu mau kamu nikah sama Galen. Bukan sama orang asing ini."

Hasna menggeleng kecil. "Tapi, Bu ... Hasna gak cinta sa-"

"Kamu gak butuh cinta untuk menikah dengan pria yang baik, Hasna. Kebaikannya akan membuat kamu jatuh cinta perlahan."

Hasna menghembuskan napas pelan. "Bu, tolong ngertiin keputusan Hasna."

Ismi memalingkan wajah. "Ibu gak akan bisa ngerti Hasna."

"Bu, jangan gegabah. Kita pikirkan baik-baik. Jangan asal ambil keputusan begitu aja. Kita diskusiin dulu semuanya."

"Haaah! Sudahlah." Ismi bangkit dari duduknya. "Bapak emang gak mengerti maksud ibu."

Saking heningnya suara napas berat Hasan terdengar sampai ke telinga Hasna. Pria yang duduk di kursi roda itu menatap sepasang insan di hadapannya.

"Farhan, maafkan istri saya. Akhir-akhirnya ini sedang banyak pikiran. Kami tidak menolak mentah-mentah i'tikad baikmu. Lain kali, kita beemrtemu lagi. Kita biacarakan tentang rencanamu ke depannya. Saya perlu waktu untuk berdiskusi dengan ibunya Hasna."

Walau sulit, Farhan tetap berusaha tersenyum sebaik yang ia bisa. "Tentu, Pak. Terima kasih telah memberi saya kesempatan."

Sepeninggalnya Hasan. Ruang tamu kembali hening. Hasna menunduk merasa tak enak hati pada Farhan. Dia tak melakukan apa yang sudah direncanakan.

Langkah pertama mereka ada pada tugas Hasna. Memberi tahu kedatangan Farhan. Dan Farhan datang untuk meyakinkan irang tua Hasna. Namun, Hasna tak melakukannya. Alhasil dua paruh baya itu terkejut dan apa yang Hasna takitkan terjadi.

"Kak, maaf ... Aku gak bilang ke Ibu sama Bapak soal kakak. Aku gak sanggup nyeelsein tigas aku. Dan gara-gara aku semuanya jadi kaca-"

"Ssst, enggak Hasna. It's okay, itu enggak jadi masalah. Aku tau pasti sulit memperkenalkan orang yang memang masih asing di telinga orang tua."

Farhan menggenggam telapak kiri Hasna. "Aku yang akan berusaha, Hasna. Aku janji kita akan dapat restu dari orang tua."

Hasna mengangguk saja. Entah bagaimana caranya, tapi dia bersyukur setidaknya ia tahu kalau Farhan benar-benar serius dengan hubungan ini.

"Aku, pulang dulu."

Melepas genggamannya, pria itu lalu memegang sekilas bahu Hasna sebelum akhirnya melenggang pergi dari ruang tamu. Kira-kira, akan seperti apa akhirnya nanti. Apa Farhan bisa ia miliki, atau memang tetap jadi sebatas angan saja.
.

"Ibu keterlaluan, bukan begitu caranya menolak, Bu. Lagi pula kenapa Ibu main ambil keputusan tanpa diskusi dulu sama Hasna?"

Ismi menghentikan gerakan tangannya di atas telenan. Menaruh pisau, perempuan setengah abad itu berbalik badan lantas menjawab, "Aku tau mana yang baik dan enggak untuk Hasna. Lelaki itu, aku yakin Hasna baru mengenalnya beberapa bulan."

"Lalu apa masalahnya?"

Alis perempuan setengah baya itu menukik. "Apa masalahnya?" dia tersenyum miring. "Aku tak mau Hasna menyesal karena menikah dengan orang yang salah nantinya."

"Anak kita pasti punya pertimbangan tersendiri," Hasan kembali mencoba menjelaskan bahwa Ismi salah.

"Pertimbangannya diambil karena perasaan, pikirannya mungkin tergesa-gesa memutuskan. Siapa yang tahu?" Ismi kembali berkutat dengan pisau.

"Sudahlah, aku tau apa yang terbaik untuk putriku."

"Dan kamu pikir aku tak bisa melakukan itu juga?" Hasan menyela tajam. "Aku memang pernah bersalah di masa lalu, tapi bukan berarti aku tidak tau caranya mengurus anak."

"Dia sudah punya pilihan, Ismi. Tugas kita hanya memastikan, bukan melarangnya tanpa sebab yang jelas."

Ismi menengok sekilas. "Katakan, apa yang bisa dilakukan agar kita mengenal tabiat pemuda itu? Burukkah? Atau baikkah dia? Kita bahkan tak mengenal dia."

"..."

"Bapak tak tahu kan?"

"Kenapa tak kita tanya dulu pada Hasna. Bagaimana pendapat dia, apa alasan dia? Dan pertimbangan-perinbangannya."

"..."

"Aku juga akan bicara dengan pemuda itu, seberapa seriusnya dia ingin menjaga Hasna."

"Pak!" Ismi memghentikan pergerakan Hasan yang hendak menyudahi percakapan. "Ibu ngomong soal tabiat, bukan serius atau tidaknya."

"Lalu? Apa menurut Ibu, Galen satu-satunya pria yang baik? Mungkin, kita sebagai orang tua hanya melihat hal-hal baiknya saja. Putri kita yang menjalaninya, dia tau lebih baik dari kita."

"Aku akan bicara dengan pemuda itu. Setelah kita bicara dengan Hasna. Di saat seperti ini bukan tentang siapa yang harus menurut siapa. Kita butuh waktu untuk diskusi bareng."

Ismi kali ini membiarkan Hasan meninggalkan dapur. Pria tak akan mengerti ketakutan akan rumah tangga yang tidak baik. Ismi tak ingin apa yang pernah terjadi dalam hidupnya terulang pada anak-anaknya. Tidak, cukup ia saja yang merasakan.

Cinta Satu JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang