C5M - 16. Keseriusan [End]

90 13 1
                                    

‍“Di mana dia Hasna?”

Menundukka kepala , Hasna harus bilang apa. Baru kemarin Farhan datang kemari dan hari ini dia sudah tak ada di Jombang. Dia di Serang sekarang, di rumah ibunya. Entah apa keperluannya, Hasna tak tahu karena lelaki itu tidak menjelaskan.

“Sebenernya dia niat melamar Hasna apa enggak?” Ismi menyahut dengan nada yang tidak mengenakkan.

“Dia kabur? berubah pikiran?”

Hasna tersentak mendengar kalimat ayahnya. Deru napasnya terdengar berat. Ia mendadak takut kejadian tujuh tahun lalu terulang kembali. Farhan pergi mendadak, meninggalkannya begitu saja dengan harapan yang tidak jelas ke mana arahnya.

Apakah lelaki itu berniat mengulangi hal yang sama lagi.

“Berarti kemarin, dia ke sini cuma main-main aja.” Hasna menggeleng menatap ibunya. Tidak, Farhan bilang dia pasti akan kembali ke sini.

“Bukan begitu, Bu. Farhan ke Serang, mungkin lagi ke rumah ibunya.”

“Sampai kapan? Kapan dia ke sini lagi?”

Hasna tak bisa menjawab pertanyaan Ismi yang satu ini. Lagi-lagi karena Farhan tak memberi tahu dirinya.

“Ibu gak suka kamu nikah sama orang Sunda. Pamali Hasna. Wanita jawa gak baik menikah sama pria sunda.”

Ruangan Hening, lalu Ismi kembali angkat suara. “Rumah tangga kamu akan bermasalah.”

“Yang kaya gitu itu cuma mitos, Bu. Jangan dipercaya, Na.”

Hasan berkomentar, menatap dengan pandangan tak biasa pada istrinya. Hasna bukan tidak tau, kalau ayah dan ibunya sedang bertengkar karena membahas masalah ini semalaman.

Ismi kembali menatap wajah putri sulungnya. “Katakanlah itu mitos. Tapi, Hasna ... Ibu gak mau kamu tinggal terlalu jauh dari ibu. Rumah kamu yang di deket sini gimana? Siapa yang mau nempatin?”

Bibir wanita setengah abad itu bergetar. “Ibu gak mau, anak ibu dibawa pergi jauh sama orang. Ibu gak bisa jaga Hasna kalo Hasna tinggal di sana.”

Tanpa permisi, air bening juga ikut menggenangi pelupuk mata Hasna. Sejujurnya dia juga tak tega meninggalkan ibunya sendiri, mengurus usaha diusianya yang tak lagi muda. Jika memikirkan ini, rasanya Hasna hanya ingin mengurus ibu dan ayahnya saja. Dia tak ingin menikah. Itu konyol dan tak mungkin dilakukan. Apa yang dipikirkannya bertentangan dengan keinnginan ibunya, bahkan Hasan.

“Hasna akan dijaga suaminya, gak usah kuatir.”

Ismi menoleh tajam. “Suami gak akan bisa memberi penjagaan layaknya seperti seorang ibu. Suaminya bisa sewaktu-waktu melukai Hasna.”

Dia memegang kedua sisi wajah putrinya. “Dan ibu gak mau itu terjadi.”

“Jangan bersikap kekanak-kanakan. Hasna bisa menjaga dirinya sendiri.”

Ismi tersenyum kecut. “Ibu berharap, dia gak balik lagi ke sini. Ibu suka kalau kamu berubah pikiran dan mau nikah sama Galen.”

Itu tak mungkin, sekali pun Jasna berubah pikiran. Ia tak akan melakukannya. Galen pasti sudah berubah pikiran. Lagi pula Hasn tak bisa mempermainkan perasaannya. Dia terlalu baik untuk itu.

“Kasih tau dia, bapak ksih waktu seminggu. Kalau dia emang gak ke sini. Bapak gak akan mendukung kalian.” Hasna menunduk dalam, tak membalas tatapan pria paruh baya itu.

“Hasna ngertikan maksud bapak?”

“Iya, Pak.”

Dada Hasna berdegup kencang. Dia takut kalau Farhan tak bisa kembali ke sini sebelum waktu tujuh hari yang diberikan ayahnya.
.

Air mata mengalir begitu saja di pipinya. Ini sudah yang ketujuh kali malam ini dia menelpon, tapi masih tidak aktif. Hasna melempar pelan ponsel ke ranjang. Sudah lima hari dan Farhan tak memberi kabar dan sekali. Dia berniat menghilang.

Menenggelamkan sebentar wajah di bantal. Hasna lalu memandang jam di dekat nakas. Sudah tengah malam dan dia malah bertingkah seperti orang gila. Menangisi orang yang bahkan yak pernah peduli sedikitpun. Yang sampai detik ini menghilang kabar.

Ini melelahkan, menunggu tanpa kepastian.

Pagi itu hari senin, di hari yang menjadi kesempatan terakhir bagi Farhan. Hasna sudah kehabisan harapan. Seperti tujuh tahun lalu, hari inipun begitu.  Farhan meninggalkannya lagi.

“Mbak! Mbak Hasna.”

Vamya, si remaja tanggung itu berteriak lagi. Enatah apa yang kali ini dicarinya. “Cari apa lagi?”

“Itu di luar, ada Kak Farhan.”

Hasna menghentikan gerakan tangan. Dia menoleh pada sisiwi berseragam abu-abu itu. Meneliti setiap sudut ekspresi wajahnya.

“Vanya gak bohong, Mbak.”

Menoleh ke arah lain, Hasna lalu mengibaskan tangan dan berkata, “Suruh dia pergi. Usir aja, Nya.”

“Ih gak bisa, Vanya udah telat kalo ngurusin itu. Mbak Hasna usir sendiri aja, ya. Aku berangkat dulu, Assalamualaikum.”

Membuang napas kasar, menatap langit-langit dapur. Hasna mencoba membendung air matanya. Kenapa dia selemah ini. Mengumpulkan seluurh ketenangan dan mencoba mengusir rasa sesaknya. Hasna melangkah menuju ruang tamu.

Dan benar, ada Farhan di sana. Dengan jaket boomber, kaos yang melekat sempurna, dan jeans yang membalut kaki jenjangnya. 

“Keluar.”

Hasna lemah, ia akui itu. Hanya dengab melihat wajahnya saja Hasna sudah siap meloloskan semua air mata. Ia rindu pria itu, sangat. Namun, juga kesal karena dia selalu menghilang. Seakan Hasna tidak tidak berarti baginya.

“Mba Hasna, kakak bisa jelasin semuanya.”

“Keluar!” Menyebalkan, bahkan suaranya pun ikut bergetar.

“Mbak tolong kakak mau cerita semua yang terjadi. Mbak Hasna harus denger.”

Hasna menatap tajam. “Aku gak peduli.”

Ia mendorong punggung lelaki itu menuju pintu. Membawanya keluar lalu menutup daun pintu kencang-kencang. Hasna merosot dibalik pintu. Air matanya mengucur derasa sementara lelaki itu terus mengoceh di luar sana. Tepat di balik pintu.

“Mba Hasna, maaf  karena kakak datang terlambat. Maaf karena gak pernah menghubungi mba Hasna. Semuanya bukan keinginan kakak.”

Hasna menangis deras. Ia benci merasa tak karuan seperti ini.

“Mamah sakit, kakak harus ke sana. Dan lagi, maaf karena terlalu lama. Kakak perlu waktu minta restu Mamah buat melamar Mba Hasna. Dan lagi, hp kakak ilang. Kakak gak nyimpen nomer mbak selain di hp.”

Hening sejenak.

“Kakak sayang Mbak Hasna. Kakak gak akan menyerah. Kakak gak masalah jikslau harus menunggu Mbak Hasna lebih lama lagi. Mbak adalah tujuan dari semuanya dan kakak gak mau kehilangan tujuan itu. Enggak akan.”

Di dalam sana Hasna tersenyum kecut. Apa dia bergurau lagi?

***

“Jadi, kamu serius dengan anak saya?”

Mengangguk kecil, Farhan tersenyum menatap ke arah ayah dan anak bergantian. “Saya serius ingin menjadikan anak sulung bapak sebagai pasangan hidup saya.”

“Apa jaminannya?”

“Untuk itu, saya siap menunggu selama yang Hasna inginkan. Saya akan menunggu sampai Hasna merasa yakin dengan pinangan saya. Dua, tiga, atau empat tahun. Saya tetap akan menunggunya.”

Hasan membenarkan letak kacamata, lalu kembali menatap pria muda di hadapannya. “Kamu bisa menjaga putri saya selama masa itu?”

“Sebuah ketenangan bagi saya melihat Hasna baik-baik saja. Saya tentu akan selalu berusaha menjaganya.”

“Hasna menerima lamarannnya?”

Melihat anggukan kecil dari putrinya, Hasan tersenyum. “Berbahagialah, Nak.”

[Tamat]

Cinta Satu JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang