C5M - 15. Masa Lalu

41 9 0
                                    

‍‍‍‍“Hasna, jujur ibu gak mau kamu nikah sama orang yag baru beberapa bulan kamu kenal.”

Sudah yang kesekian kali hari ini, semenjak seminggu lalu dan ibunya terus saja membahas tanpa jemu. Hasna ingin menjawab, tapi dia juga tak ingin ibunya terluka karena perkataannya. Jadi perempuan itu cuma bisa terdiam, seolah mengiyakan padahal batin dan akalnya bergejolak menolak.

“Ibu gak mau Hasna hidup sengsara karena salah memilih suami. Ibu gak tau seperti apa watak pemuda itu, ibu juga yakin kamu belum begitu mengenalnya”

Hasna mengakui itu, tapi mau bagaimana lagi.

“Sekarang hidupmu udah enak, bebas. Kamu bisa apa aja. Cari pria yang baik Hasna. Kamu tau kan Na, hidup ibu jungkur balik 180° setelah ketemu ayahmu.”

Suara Ismi bergetar, tak lama isakkan-isakkan kecil ikut menyusul. “Penting buat kamu menikah sama orang yang udah lama kita kenal.”

Ibunya terus menoleh pada peristiwa yang sudah jauh di belakang, merasa takut dengan hal yang bisa jadi tak akan terjadi.

“Laki-laki punya masalah krusial dalam hidupnya, Nak. Uang dan wanita.” Ia melirik pada anaknya. “Saat laki-laki punya uang, ia akan berkuasa atas istri, rumah, bahkan dia akan merasa bebas dengan apa yang dia lakukan.”

Hasna menunduk mencoba mengaitkan satu demi satu kepingan puzzle masa lalu. Berusaha memahami apa yang ingin ibunya katakan.

“Ibu yakin, Hasna masih inget soal perempuan lain yang bikin ibu marah.”

Tiba-tiba saja dada Hasna seperti diguyur air panas, begitu perih sampai matanya berair, sangat ingin menangis. Di dua puluh tujuh tahun hidupnya, Hasna bukan tidak tau apa yang oernah ibunya lewati semasa menikah dengan sang ayah. Tak sedikit pun 20 tahun lebih, ibunya kewati dengan perasaan suka cita. Semuanya hanya duka, jalannya berduri, perih, penuh air mata.

“Ibu yakin, Hasna masih inget dengan cerita-cerita ibu ketika masih mengandung kamu.”

Hasna menunduk, menutupi air matanya yang mulai mengalir deras. Tentu, dia ingat semua. Sejak awal pernikahan, ibunya sama sekali tak menyecap kebahagiaan. Nenek Hasna, ibu Hasan sama sekali tak merestui hubungan keduanya. Ketika itu, Hasan tak sedikit pun mendapat bantuan finansial dari nenek Hasna. Hasan tak punya apa-apa, padahal calon putri lertamanya, Hasna akan segera lahir.

Sampai pada Ismi hamil besar. Ia memilih pulang ke Jombang, ke rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung Hasna. Ismi, tak bisa hidup di Jakarta lagi. Tak ada uang yang tersisa untuk biaya persalinan. Tak ada orang yang bisa membantu mengurus bayinya. Jadi, satu-satunya tempat yang akan menerimanya dengan lapang adalah rumah orang tuanya sendiri.

Sedangkan Hasan, dia berjuang di ibu kota nerintis usahanya yangndi dapat dari hail menghutang temannya. Kembali pada Ismi, di rumah orang tua pun dia tak mendapat ketenangan. Selama hampir dua bulan di sana, saudara-saudaranya yang lain selalu mencela.

Begini kata bude-bude Hasna, “Awakmu i wong tuo wes tuwek malah nyusahno ae.”

“Duwe bojo tapi lontang-lantung. Ngakune kerjo tapi mbok ya mosok ra iso ngunu ngirimi duwek.”

“Ngeneki duwe bojo uripmu tambah soro. Is, Is.”

Dan ya, Hasna menangis deras ketika pertama kali mendengar semua itu dari ibunya disaat dia delapan belas tahun. Hasna tak menyangka, kalau ternayta bude-budenya tak sebaik yang ia kira. Untuj eprtama kalinya, ia mengerti kehidupan dunia seperti apa.

Dan ibunya bilang, “Itu udah lalu Hasna, sebelum bapakmu bisa beliin rumah, buka usaha, beli mobil senduru dan lainnya. Setelah itu, mereka tak pernah mengolok lagi dan berubah baik seperti yang kamu liat saat ini.”

Teelepas dari masalah finansial, nasalah lain datang. Ketika masa jaya, Hasan, dia bertahun-tahun mengkhianati ibunya, berselingkuh. Bahkan ketika ketahuan pun, dia tak merasa bersalah. Kejadian ketika Hasna masih kelas 3 SMP. Banyak kejadian pelik yang terjadi, oertengkaran hebat di rumah, Hasan yanh tak pernah pulang, ibunya yang menangis diam-diam dan Hasna yang selalu menguping menjadi saksi bisu kehancuran rumah tangga ibunya.

Hasna lelah melihat semya, sampai ketika ia berumur 16 tahun. Setelah mengumpulkan banyak keberanian. Ia mulai menyampaikan pendapat pertama tentang kehidupan keluarganya saat itu. “Kenapa,ibu enggak udahan aja sama bapak? Hasna gak masalah kalau kaya Mas Rendra, ibu sama bapaknya pisah.”

Detik itu juga, satu kalimat yang ibunya katakan membuat Hasna mengerti alasan kesabaran yang selama ini membuat Ismi bertahan.

Ibu gak punya apa-apa Hasna untuk meminta perpisahan. Ibu gak mau kehilangan kamu sama Vanya. Lagipuka Vanya masih kecil. Dia gak bisa mengerti kaya kamu. Ibu akan pertahankan semua ini demi anak-anak ibu.”

Menelan susah payah salivanya, Hasna mengusap air bening yang melewati pipi. Tepat ketika Hasna hendak lulus SMA. Usaha Hasan bangkrut. Semua rumah, mobil, terjual habis. Hanya tersisa rumah warisan dari pihak Ismi yang mereka punya. Ketika itu, Hasan pun terserang penyakit, dia tak lagi bisa bekerja. Hanya Ismi yang menjadi tulang punggung. Hasna juga sempat gap year setahun karena terkendala biaya. Ia bekerja mengumpulkan uang sendiri agar bisa kuliah.

Sampai ketika umurnya 20 tahun. Ia dan ibunya mencoba usaha kue tradisional. Siapa sangka usaha itu berhasil, sampai-sapai bisa mencukupi kehidupan keluarga mereka. Dan tentu saja, semua itu tak lepas dari bantuan Galen. Mahasiswa S2 yang menempuh pendidikan di kampus yang sama dengan Hasna. Hasna tak menyangka, awal pertemuannya karena sebuah kecelakaan itu berakhir seperti ini.

“Cuma satu Hasna kesalahan yang sangat ibu sesali saat itu.” Ismi dengan mata yang juga sedikit sembab menatap putri sulungnya. “Ibu enggak mengenal siapa dan seperti apa bapakmu itu. Ibu, menyesal enggak bisa mengulur wajtu lebih lama untuk mengenalnya lebih jauh.”

“Ibu cuma mau nantinya, Hasna merasa menyesal dengan apa yang Hasna putuskan saat ini.”

Percakapan berhenti, tepat ketika Hasan muncul di ruang makan dia atas kursi rida bersama Vanya yang mendorongnya.

“Kenapa mendadak pada diem? Lanjut aja ceritanya, Vanya ama bapak dengerin.”

Ismi beranjak dari duduk, mengambil alih kursi roda suaminya. “Udah ayo Vanya cepet duduk, sarapan.”

Dan satu hal yang Hasna takutkan dari raut wajah Vanya dan mata sembabnya. Remaja itu jelas tidak baii-baii saja. Apa, dia dan Hasan mendengar semua berbincangannya dengan sang ibu.

Sorenya

Hasna baru saja pulang dari tempat catering.  Hasan ada di ruang tamu, duduk sendiri di atas kursi roda dan memanggilnya untuk ikut bergabung.

“Ada apa, Pak?”

“Bawa pria itu ke rumah, bapak mau ngomong sesuatu sama dia.”

Apa?

Tbc ...

Cinta Satu JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang