Beberapa hari ini, Jihoon sedikit merasa terbebani oleh dirinya sendiri. Mungkin dia terlalu menikmati perannya sebagai manusia sampai lupa bahwa suatu saat nanti ia juga akan pergi lagi. Ntah untuk kembali jadi pencabut nyawa atau bereinkarnasi. Dan dia juga lupa bahwa waktu terus menipis seiring dengan dirinya yang semakin menganggap bahwa hidup sebagai manusia itu ternyata menyenangkan.
Kemarin malam, Hyunsuk menemui Jihoon yang baru pulang dari kerja paruh waktunya. Jihoon tersenyum sambil memamerkan amplop putih berisi gajinya tersebut. Tapi di luar dugaan Hyunsuk tidak kesal dan malah menatap Jihoon prihatin. Sama sekali bukan reaksi yang Jihoon harapkan dari Hyunsuk.
"Park jihoon, jangan sampai lupa kalau kau sudah mati. Semakin kau lupa, kau akan semakin menyesal nantinya."
Kalimat itu sangat menusuk dan terus terngiang di kepala Jihoon saat ini. Dulu, ia tak berharap untuk terlahir kembali. Baginya menjadi manusia itu sungguh merepotkan. Tapi ternyata hidup dan bernapas tidak seburuk itu.
"Kenapa kita malah ke rumah sakit keluarga Jaehyuk?" Tanya Yoshi. Dia celingak-celinguk sambil mengamati situasi.
"Aku juga merinding saat menyadarinya. Tapi kurasa, paman Jaehyuk adalah orang yang membuatku jadi seperti ini," ujar Ryan dengan ekspresi serius. "Dunia memang sekecil itu."
Jaehyuk sontak saja membulatkan matanya. "Maksudmu Park Junsoo? Manajer rumah sakit ini?"
Ryan mengangguk mengiyakan. Ia pun mengajak mereka semua mengintip di balik papan iklan besar yang berada tak jauh di depan rumah sakit tersebut. Hanya Haruto yang tak ikut sembunyi dan hanya menunggu sambil melipat tangan di depan dadanya. Lagipula tak ada yang bisa melihat dia.
Seseorang keluar dari pintu utama rumah sakit tersebut beserta orang-orang suruhannya yang menguringi seperti budak yang tak memiliki emosi. Mereka seakan-akan hidup hanya karena disuruh.
"Sampai sekarang kalau melihat wajah itu, aku ingin sekali menghantamnya dengan batu," ujar Ryan menahan geram.
Jaehyuk mendelik. "Memang pamanku melakukan apa padamu?"
Ryan diam sejenak. Berdiskusi dengan dirinya sendiri apakah ia harus memberitahukan mereka sekarang atau tidak. Melihat Ryan yang sepertinya tak ingin memberikan jawaban, Jaehyuk berdehem dan kembali memperhatikan apa yang orang-orang berjas itu lakukan di depan pintu masuk. Kecurigaannya mencuat saat seseorang berbisik di telinga si Park Junsoo, kemudian pria tua itu pun tersenyum miring.
Demi tuhan perasaan Jaehyuk langsung tak enak dibuatnya.
"Apa mereka merencanakan sesuatu?" Ujar Haruto pelan sambil mengerutkan kening. "Sepertinya bukan hal yang bagus."
Yoshi tak sengaja mendapati ekspresi Doyoung yang berbeda dari biasanya. Sorot matanya fokus pada si pria tua yang dimaksud oleh Ryan tadi. Sedikit kilatan emosi terasa ketara dari tatapan itu. Yoshi tak tau apa yang terjadi, tapi dia tak bodoh untuk mengetahui ada dendam yang bergejolak dari jiwa Kim Doyoung saat ini.
"Tapi kenapa margamu beda dengan pamanmu?" Tanya Ryan.
"Dia adik ibuku. Aku mengikuti marga ayah," jelas Jaehyuk.
Ryan mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Dia baru tau bahwa ternyata yang bersaudara dengan si brengsek di hadapannya ini bukan ayah Jaehyuk melainkan ibunya. Karena itu dia marah sebab kakek Jaehyuk lebih loyal kepada sang menantu hanya karena dia punya dua anak laki-laki yang bisa meneruskan yayasan rumah sakit.
Tiba-tiba Ryan merasa ada yang janggal. Ia langsung menoleh ke arah Jihoon yang ternyata tengah menepuk-nepuk dadanya di paling sudut. Tak hanya itu, dia juga berkeringat dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
birthdeath ✓
Fanfiction[Sudah Terbit] 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐮𝐡 𝐭𝐚𝐰𝐚. *sebagian part sudah dihapus