Mungkin perasaan dibuat untuk mewujudkan batin yang jauh lebih tulus dari pikiran. Di mana kedua komponen itu memiliki prinsip yang bertolak belakang. Pikiran Doyoung memerintahkannya untuk bersikap acuh pada apapun selain misi. Tapi perasaannya ternyata lebih menang dan membuatnya membantu seorang arwah bernama Bang Yedam.
Satu gelas cup kopi susu bertengger di meja yang berhadapan dengan Yedam. Sementara Doyoung meneguk miliknya setelah meniupnya terlebih dahulu.
"Kenapa kau membelikanku ini, padahal tau aku tidak bisa minum?" Tanya Yedam heran sambil menunjuk gelas di depannya.
Doyoung meletakkan gelas yang sudah habis itu kembali ke atas meja. "Aku dengar seseorang baru bisa dibilang teman satu sama lain, jika mereka sudah minum bersama. Karena kau masih dibawah umur jadi minum kopi susu saja."
Mind-set yang konyol dan tak masuk akal bagi Yedam. Bagaimanapun, mana ada hantu yang minum kopi susu. Sama saja dia buang-buang duit untuk hal yang tidak begitu penting.
Yedam mengerutkan kening. "Teman?"
Doyoung mengangguk. "Aku tidak ingin membohongi ayahmu. Jadi kita resmi jadi teman sekarang. Meski kau akan pergi sebentar lagi."
Sekarang, perasaan Yedam sudah jauh lebih lapang dari sebelumnya. Rongga dadanya seakan dikeruk habis sampai tak bersisa. Rasanya ia bisa melayang di udara. Yedam tak menyangka, bahwa mantan malaikat maut ini mau berbaik hati untuk mengurusi urusannya. Padahal mereka tak pernah kenal.
"Hidup sebagai hantu itu sulit kan?" Ujar Doyoung.
Yedam mengangguk membenarkan sembari tersenyum hambar. "Aku beruntung bertemu denganmu dan bisa menyelesaikan urusanku hari ini juga. Jadi aku bisa pergi dengan cepat."
Doyoung hanya mangut-mangut. Dia mengerti betul tentang itu. Meski dia bukan hantu, tapi selama jadi pencabut nyawa—Doyoung sudah menyaksikan jutaan arwah yang hidup menyedihkan di bumi. Para hantu tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan jika keinginannya terdengar begitu sepele oleh manusia.
Mereka tidak bisa memindahkan sekotak makanan ringan ke dalam lemari pendingin, Mereka tidak bisa mengambil ponselnya sendiri dari loker, Mereka tidak didengar dan tidak ditanggapi. Semua hal tersebut bisa dilakukan dengan mudah oleh manusia. Namun para arwah hanya bisa berdiri sambil berharap seseorang mau membantu—agar urusannya segera selesai dan bisa beristirahat dengan semestinya.
Doyoung tak tau harus menyalahkan siapa. Memang begitulah cara kerja alam semesta.
"Sudah saatnya pergi." Yedam berdiri dari duduknya. Menghalangi matahari yang tadi menyinari Doyoung.
Doyoung hanya mendongak, lantas menaikkan tangannya untuk melambai pelan. Antara niat-tidak niat. Setidaknya dia berusaha untuk bertingkah seperti manusia ketika mereka akan berpisah. Mengucapkan selamat tinggal sebenarnya tidak buruk—jika suatu saat ada harapan lagi untuk kembali bersitetap. Tapi lain cerita jika kematian yang memberikan jarak.
"Semoga kau juga segera istirahat, dan bereinkarnasi. Siapa tau, kita benar-benar jadi teman di kehidupan berikutnya," ujar Yedam.
Doyoung mengedikkan bahu. "Ntahlah, aku berencana reinkarnasi jadi batu nantinya."
Mendengar itu Yedam terkekeh. "Terserah."
Tubuhnya berangsur memudar. Senyum mengembang dan lambaian tangan itu adalah pengisi detik-detik terakhir keberadaannya di muka bumi. Doyoung hampir tak berkedip, padahal dulu dia sering menyaksikan ini. Tapi sebagai manusia sementara, hal ini begitu asing. Ada iri dan juga sendu di balik tatapannya.
─⊹⊱☆⊰⊹─
Bicara soal arwah, Haruto mungkin tidak seberuntung Yedam. Dia harus menetap di dunia selama bertahun-tahun sebagai bayangan tak kasat mata. Mengikuti langkah Jaehyuk dengan semena-mena—kendati Jaehyuk sebenarnya belum pernah memberikannya ijin untuk dibuntuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
birthdeath ✓
Fanfiction[Sudah Terbit] 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐮𝐡 𝐭𝐚𝐰𝐚. *sebagian part sudah dihapus