*huruf miring adalah masa lalu/flashback.
---
Melalui perjanjian anekasi, Jepang bisa dengan leluasa membuat pemerintahan kolonial menguasai semenanjung Korea. Selain eksploitasi sumber daya besar-besaran, Jepang juga membuat kebijakan asimilasi—tidak diperbolehkannya pembelajaran bahasa Korea di sekolah-sekolah umum. Saat itu, semua rakyat-rakyat kecil Korea hidup dalam kesengsaraan. Bahkan sebagian besar dari mereka harus mengalami putus sekolah.
Jihoon dan Doyoung adalah salah satunya. Setelah dua tahun verada pada kemelut penjajahan, ibu mereka mulai sakit-sakitan karena gizi yang buruk. Jadi mereka memutuskan untuk berhenti sekolah demi merawat sang ibu. Lagipula ayah mereka juga selalu bepergian hanya untuk membawa paling tidak satu porsi makanan yang bisa membuat mereka menyambung hidup.
Hingga pada suatu hari—sang ayah tak lagi kembali. Kala itu, usia Jihoon masih 17 tahun. Dan Doyoung masih 14 tahun. Masih terlalu muda untuk bekerja sekaligus merawat sang ibu. Jihoon tak tau apa yang terjadi di luar sana, dia terlalu takut untuk sekedar mencari tau. Hati kecilnya hanya sanggup memberikan pemahaman pada Doyoung kecil bahwa ayah mereka hanya tengah bepergian jauh.
Pada hari ulang tahun Jihoon yang kesembilan belas, seseorang dengan pakaian tentara memasuki rumah mereka secara paksa. Sang ibu yang kondisinya lemah pun dibuat harus terjaga. Pria paruh baya itu berteriak seperti orang kesurupan meminta uang dari ibu. Memukulnya berulang kali dengan sangat tidak manusiawi. Jihoon marah sekali sampai ia meninju wajah pria itu tanpa rasa takut.
Jihoon baru saja ingin melakukan yang lebih parah, tapi sang ibu lantas berteriak—
"Jihoon, itu ayahmu!"
Kepalan tangan itu luruh begitu saja. Ia menatap sekali lagi wajah orang itu. Ia yakin sekali orang tersebut bukanlah ayah yang yang selama ini membawakan mereka makanan. Mungkinkah orang ini adalah sosok ayah yang hanya meninggalkan marga di belakang nama Jihoon?
"Ayahmu, bukan ayah Doyoung."
Doyoung yang ada disana ikut terkejut. Jihoon satu-satunya yang tau mengapa marga mereka berbeda. Doyoung masih terlalu muda untuk bertanya dan mengerti. Kini ia sudah mendapatkan jawabannya secara langsung. Bahwa mereka berdua memiliki ayah yang berbeda. Dan Jihoon membenci fakta bahwa si bejad di hadapannya ini adalah ayah kandungnya.
"Kau berani denganku?" pria itu berdiri sambil membuang ludah. Ia mengeluarkan senapan di hadapan Jihoon yang masih mematung. "Kalian rindu pada ayah bodoh kalian kan? Kalau begitu aku akan membuat kalian menyusulnya."
Ayah Jihoon adalah orang yang membunuh ayah Doyoung. Ntah atas alasan apa. Saat itu, Jihoon juga belum mengerti. Dia bahkan kesulitan untuk bernapas. Dia tidak bisa bergerak saat ujung senapan itu sudah mengarah padanya.
Dor!
Percikan darah tersebut mengenai wajah Jihoon. Ibunya berdiri di hadapannya dengan air mata yang menggenang dari ujung pelupuk. Menyalurkan dekapan terakhir setelah menjadikan dirinya tameng untuk sang anak pertama.
"Ibu..." Doyoung ketakutan bukan main. Dia bahkan tak bisa bernapas dengan normal.
"Maafkan ibu—Jaga adikmu baik-baik. Kau hanya punya dia sekarang."
Segala bentuk kebenaran di hadapannya saat ini adalah hantaman bagi Jihoon. Ibunya ambruk dan darah segar merembes dari bekas peluru yang menusuk tubuhnya. Air mata Jihoon jatuh, menghangatkan pipinya yang sudah dingin karena terlalu shock. Doyoung menangis dengan tubuh yang bergetar karena pria itu masih disana bersama senapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
birthdeath ✓
Fiksi Penggemar[Sudah Terbit] 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐮𝐡 𝐭𝐚𝐰𝐚. *sebagian part sudah dihapus