Orang baik selalu berakhir terkhianati karena pikiran mereka terlalu murni. Mereka menganggap bahwa semua orang, sama baiknya dengan mereka.
Well, maybe.
Pada dasarnya, kita semua orang baik. Kita terlahir dengan cara yang sama dan dengan kondisi yang sama pula. Tidak bisa bicara, tidak bisa mengerti dan tidak bisa menelaah situasi buruk dan baik selayaknya orang dewasa. Artinya, semua orang itu baik—sebelum situasi di sekitar mereka menghancurkan kepercayaan pada sesama. Menembus segala pikiran-pikiran naif dan membelokkan arah menuju semua hal yang berbau negatif.
Tapi, bagi Jaehyuk—ini bukan tentang berbuat baik. Pertanyaan paling menggantung di dalam benaknya saat ini adalah apakah jika ia berbuat baik untuk mengharapkan sesuatu—itu masih bisa dikatakan baik?
"Kau sudah kerjakan tugasmu?" Tanya Asahi yang sedari tadi terheran-heran melihat Jaehyuk termenung dengan pena dan buku tulis dihadapannya.
Bukan apa-apa, Jaehyuk terlalu terbawa pikiran oleh cerita Doyoung kemarin. Bagaimana, jika kutukannya saat ini adalah sesuatu yang harus ia terima? Dia tak pernah tau perbedaan antara malapetakan dan hukuman. Barangkali Jaehyuk melakukan kejahatan di kehidupan sebelumnya atau apa. Yang jelas, tiba-tiba Jaehyuk jadi penasaran.
"Aku bukan sedang membuat tugas," ujar Jaehyuk lantas kembali menatap buku bacaan dan buku tulisnya secara bergantian. "Aku sedang mencatat beberapa info penting soal penjajahan Jepang di Korea."
Terang saja hal itu jadi sesuatu yang asing bagi Asahi. "Serius? Yoon Jaehyuk yang biasanya tidur saat kelas sejarah—kini tanpa konteks yang jelas, malah mencatat informasi dari buku setebal 300 halaman lebih?"
Hinaan itu tak bisa dibantah oleh Jaehyuk pribadi. Karena memang begitu adanya. Dia hanya mendengus. Dia bukan melakukan ini karena dia ingin. Tapi karena dia penasaran—dan mungkin karena dia juga ingin hidup. Ntahlah, keinginan hidupnya akhir-akhir ini meningkat. Jika mimpi Doyoung berhubungan dengan kondisinya maka mungkin akan lebih mudah.
Sesosok pria mungil melewati mereka. Dia mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dan jeans. Jaehyuk mengangkat tangannya untuk mengajak pria itu ketempatnya. Pria itu pun datang, meski dengan raut yang berbeda dari biasanya.
"Kau tidak apa-apa Mashi?" Tanya Jaehyuk kepada Mashiho yang mengambil tempat di hadapannya. Tepat di sebelah Asahi. "Kau pucat sekali."
Mashiho seperti sedikit lost. Dia bahkan mengangguk dengan kikuk. Lalu meneruskan tatapan kosongnya. Tatapan yang cukup membuat Jaehyuk dan Asahi jadi sedikit takut.
"Kau yakin baik-baik saja? Tali sepatumu beda sebelah," ujar Asahi sambil menunjuk kebawah.
"Ah benar," ujar Mashiho pelan. Namun tak ada perubahan emosi sedikit pun.
Menyadari itu, Jaehyuk menutup bukunya. Dia tau ada yang tak beres di sini. "Kau—tidak kerasukan kan?"
Asahi mendecih. Baginya itu konyol. Tapi Jaehyuk menatapnya kesal dan kemudian dia berdehem. Sementara Mashiho hanya menggeleng. Mata itu, tampak sangat kosong. Berbeda sekali dengan biasanya.
"Lalu kenapa?" Tanya Jaehyuk lagi.
Jeda beberapa detik. Hilir mudik para mahasiswa dan mahasiswi teralihkan dalam nuansa yang berbeda. Jaehyuk dan Asahi menunggu dengan sabar. Mashiho bergerak pelan menatap keduanya secara bergantian. Tapi emosinya tidak mencuat. Sangat tenang namun sendu di saat bersamaan.
"Ibuku meninggal. Kemarin pagi."
Apa yang Jaehyuk dengar adalah irama yang hampa. Sehelai daun maple dari pohon di atas gugur. Menemani detik kaku usai kalimat Mashiho mengudara. Seberkas cahaya yang tadi menelusup hilang tertutup dengan awan yang bergeser.
KAMU SEDANG MEMBACA
birthdeath ✓
Fanfiction[Sudah Terbit] 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐮𝐡 𝐭𝐚𝐰𝐚. *sebagian part sudah dihapus