3 || A Normal Day

8.1K 2.1K 457
                                    

Hari yang buruk dan aneh adalah hari yang normal bagi Jaehyuk.

.

.

.

Jika boleh menebak bagaimana cara Jihoon mati dulu—maka dirinya akan mengira bahwa kematiannya berhubungan dengan air. Pasalnya, Jihoon selalu merasa tertekan setiap kali melewati jumlah cakupan air yang lumayan banyak. Seperti danau, sungai apalagi laut. Jihoon tak mengerti—dan ingin sekali mengerti—mengapa respon tubuhnya kepada air menjadi luar biasa kalut.

Tidak masalah jika wujud Jihoon masihlah pencabut nyawa. Dia tak perlumengontrol laju jantungnya. Tapi untuk beberapa saat ini, Jihoon adalah manusia seutuhhnya. Ia punya raga yang benar-benar mempengaruhi seluruh organ dalam tubuhnya.

"Kau kenapa?" Tanya Yoshi yang melihat Jihoon menghentikan langkahnya sambil yerlihat bergetar memandang sungai Han dibawah sana. "Kenapa kau berkeringat? Kita baru jalan sebentar."

Sore ini memang mereka bertiga sengaja berjalan-jalan mengelilingi Seoul sambil mencari beberapa pekerjaan ringan. Mereka harus bertahan hidup di tubuh sementara ini.

Yoshi serta Doyoung tak tau apa yang tengah dialami Jihoon saat ini. Keduanya mulai panik kala Jihoon mengambil langkah mundur dengan gerakan yang aneh. Manik matanya mulai berair dan deru napasnya terkesan tak biasa. Jangan lupakan keringat sebesar biji jagung serta wajah yang mendadak pucat pasi.

"Bawa aku pergi dari sini." Jihoon terduduk, kakinya melemas. "Aku ingin pergi tapi tubuhku—"

"Kau sakit hyung?" Doyoung mengecek kening Jihoon. Pemuda Park itu tak bisa menghentikan getaran di tubuhnya. Doyoung memandang Yoshi. "Dia kena serangan panik."

Yoshi sedikit melebarkan matanya dan berjongkok. Ia mengusap-usap pelan punggung Jihoon dan menyuruh pemuda itu untuk menarik serta membuang napas secara teratur agar pernapasannya kembali normal. Namun sepertinya itu tak membantu banyak.

"Kumohon bawa aku pergi dari sini!" Jihoon manaikkan nada suaranya dengan air mata yang mulai luruh bercampur dengan kerjngat.

Orang-orang mulai memperhatikan mereka. Seorang wanita paruh baya datang karena kasihan. Ia pun tau Yoshi serta Doyoung tak tau cara menenangkan Jihoon saat ini. Wanita itu memberi Jihoon permen karet yang mungkin baru saja ia beli—karena ia mengeluarkannya dari kantung belanjaan.

"Kunyah ini, kau akan merasa lebih baik," ujar wanita itu.

Yoshi menerimanya dan membukakan bungkusnya. Kemudian ia menyuapkannya kepada Jihoon. Pemuda Park itu mau tak mau mulai mengunyah permen karet tersebut. Perlahan-lahan napasnya mulai stabil dan getaran ditubuhnya berangsur membaik.

Wanita itu tersenyum, ia mengusap puncak kepala Jihoon. "Kau masih muda, apa yang membuatmu terkena serangan panik?"

Jihoon diam. Ia sendiri tak tau dan tak bisa mengontrolnya sendiri.

"Terimakasih bibi," ujar Jihoon dengan suara pelan.

Akhirnya Yoshi dan Doyoung yang tadi ikut tertekam bisa merasa lega. Mereka membantu Jihoon untuk berdiri tegak. Jihoon berusaha untuk tak lagi melihat permukaan air dibawah sana. Alih-alih, ia memandang wajah wanita tua yang tadi menolongnya. Sebenarnya bukan hanya permen karet yang membuatnya tenang, tapi juga keberadaan wanita itu.

"Aku psikiater, ini kartu namaku," Wanita itu menyerahkan kartu kepada Jihoon.

Disana tertulis alamat dimana ia bekerja.

birthdeath ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang