Jaehyuk termenung sembari mengaduk gelas berisikan teh hangat. Ia sudah berusaha untuk memerintahkan otaknya agar berhenti berpikir, tapi organ tubuhnya yang satu itu seakan tidak mau dengar. Jaehyuk takut tanpa alasan yang jelas saat ini. Namun ia mencoba untuk meredamnya dan mengatur ekspresi seakan-akan tidak ada hal yang janggal hari ini.
Ia membawa gelas itu ke ruang tengah. Dan kemudian ia bergerak menyodorkannya kepada Ryan. Menyadari itu, Jihoon memicingkan matanya kepada Jaehyuk.
"Teh itu bukan untukku?" Garis bibir Jihoon melengkung kebawah, pertanda bahwa ia kecewa. "Aku kan habis kena serangan panik."
"Hyung bisa buat sendiri. Dia kan perempuan," jawab Jaehyuk.
Jihoon mendecih tak percaya. "Kau anggap dia perempuan? Dia sudah tua sekali asal kau tau."
Gantian Ryan yang melotot ke arah Jihoon dengan tatapan membunuh. Namun itu sama sekali tak menyurutkan niat Jihoon untuk membeberkan sejumlah kata-kata menyebalkan. Dia sangat ahli dalam menjelek-jelekkan seseorang.
"Kalau begitu bukankah hyung lebih tua? Sejujurnya agak jijik untukku memanggilmu hyung ketika aku tau bisa saja usia mu sudah lebih dari delapan puluh tahun." Jaehyuk berkata dengan penuh kejujuran. Dan itu membuat Jihoon semakin ingin marah.
"Aku yakin aku tidak setua itu!" Bentak Jihoon. "Meskipun aku lupa tahun berapa aku mati."
"Lihat? Jangan-jangan hyung ada sejak era kerajaan Joseon." Jaehyuk terkekeh remeh.
"Kau sudah gila ya?! Berhenti mengatakan aku tua!" Nada suara Jihoon meninggi. Berbanding terbalik dengan dirinya ketika kena serangan panik.
"Tua tua tua tua," ledek Jaehyuk tak peduli.
Dan Jaehyuk serta Jihoon masih terus menyemarakkan argumen mereka masing-masing selama bermenit-menit. Debat dadakan yang tak menguntungkan sama sekali ini membuat kepala Ryan seperti ingin meledak sangking risihnya. Ia memandang Haruto yang seakan sudah terbiasa dengan keadaan ini.
"Kenapa kau tahan tinggal di sini bersama orang-orang berisik?" Tanya Ryan.
Kalimat tanya tersebut membuat debat Jihoon dan Jaehyuk sedikit terhenti. Jaehyuk mendelik takut kearah sekitarnya. Ia belum terbiasa untuk mengetahui bahwa ada sosok makhluk tak kasat mata yang juga tengah berada di sini.
Haruto menghela napas. "Biasanya mereka akan diam jika Doyoung melempar keduanya dengan bantal."
Ryan mangut-mangut mencoba untuk beradaptasi. Sepertinya berat bagi hantu seperti Haruto yang hanya bisa menyaksikan tanpa bisa menghentikan. Tak bisa Ryan bayangkan betapa sengsaranya hidup di tengah Jihoon dan Jaehyuk. Apalagi di tambah Doyoung yang suka tidur dan Yoshi yang tidak berhenti mengunyah.
"Kacau sekali," lirih Ryan.
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
Doyoung tak menyangka dirinya benar-benar melangkah sejauh ini. Dia cukup terpukau dengan tubuhnya yang ternyata tak menolak untuk bergerak lagi. Biasanya ia sungkan untuk berkontribusi atas urusan orang lain—tapi kali ini berbeda. Mungkin semakin lama menjadi manusia, semakin ia memiliki perasaan yang serupa. Rasa kasihan, rasa untuk menolong dan rasa iba. Pasalnya, saat menjadi malaikat pencabut nyawa—Doyoung tak memiliki ketiga perasaan tersebut.
Doyoung berada di sekolah Yedam. Meninggalkan Yoshi tanpa pamit dan pergi seenaknya meski ia sedang di dalam misi. Doyoung tak begitu takut akan dimarahi Hyunsuk, lagipula dia sudah mati. Tak ada yang perlu di takutkan oleh orang yang sudah bukan lagi makhluk bumi.
"Kau serius?" Ujar Doyoung di depan loker Yedam. Wajahnya memperlihatkan raut yang ingin memaki. "Kau menyuruhku ke sekolahmu hanya untuk mengambil ponselmu yang ketinggalan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
birthdeath ✓
Fanfiction[Sudah Terbit] 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐧𝐮𝐡 𝐭𝐚𝐰𝐚. *sebagian part sudah dihapus