1. Pulang Kampung

2.2K 153 5
                                    

Are you ready??
.
.
.
.
.

Selasa pukul lima sore.

"Ibuk minta kamu pulang sekarang. Kalau bisa langsung aja ya..."

Begitu mendapat telfon dari kakaknya, Arin langsung bergegas menyiapkan diri dan memesan travel dengan waktu keberangkatan paling dekat.

"Mas, nggak apa-apa aku tinggal?" Untuk ke sekian kalinya ia bertanya pada suaminya.

"Nggak apa-apa, Sayang. Kamu nggak usah kuatir, Mamah lagi jalan ke sini. Kamu pulang sekarang, hati-hati di jalan. Maaf, nggak bisa anterin kamu. Kerjaan aku bener-bener lagi nggak bisa ditinggal," sahut Ditya, sang suami dengan nada menyesal.

"Aku ngerti, Mas. Lagian ini juga kan emang mendadak, Ibuk sakit dan minta semua anaknya kumpul."

Ditya mengangguk paham. "Kirim salam buat Ibuk dan yang lainnya."

Arin tersenyum tipis menjawabnya. Tak lama, sebuah mobil travel berhenti di depan gerbang rumah mereka. Maka Arin pun segera berpamitan pada dua gadis beranjak remaja dan seorang jagoan berusia dua tahun yang baru disapih tiga bulan lalu, balita laki-laki yang hari itu menjadi sedikit rewel tidak seperti biasanya. Terakhir, pada sang suami yang telah membuka lebar-lebar lengannya. Arin memeluk suaminya yang dibalas dengan sangat erat, seolah enggan melepaskannya pergi.

Beberapa langkah melewati teras, suara salah satu anaknya menghentikan gerakan kaki Arin.

"Mamah tungguin Bella ya. Nanti Bella nyusul, Bella mau ketemu Papa Rafi."

Arin membelalak kaget. "Eh, nggak usah nyusul, Mamah nggak lama kok. Kalau Uti udah sembuh, Mama langsung pulang ke sini."

Gadis berusia sebelas itu hanya membalas dengan cengiran jahil, membuat Arin menggelengkan kepalanya sebelum berbalik menuju mobil travel yang telah menunggunya.

"Jangan lupa kabarin kalau udah sampai," pekik Ditya saat mobil yang ditumpangi Arin mulai melaju.

Perjalanan panjang menuju tanah kelahirannya dilalui Arin dengan hati gelisah. Tadi siang, Eza, kakaknya itu menelfon dan mengabari bahwa ibunya tengah sakit sejak seminggu yang lalu. Dan hari ini meminta semua anaknya berkumpul. Kontan saja kabar itu membuat perasaan Arin kocar-kacir. Ibunya tak lagi muda, meski fisiknya masih terlihat bugar, tapi usia tak bisa dibohongi dengan tampilan luar.

Sesampainya di tanah kelahiran, Arin langsung menuju salah satu rumah sakit untuk menengok ibunya.

"Anak Ibuk yang paling jauh akhirnya datang juga."

Sambutan penuh haru menyapa telinga Arin begitu dia memasuki kamar rawat kelas satu, di mana sosok perempuan tak lagi muda itu dirawat.

"Ibuk kenapa nggak ngabarin aku kalau sakit?"

Perempuan tua itu tersenyum. "Ibuk nggak mau bikin kamu kepikiran, karena Ibuk rasa ini cuma sakit ringan. Nggak tahunya malah sampai mondok di sini."

"Maafin aku, Buk. Nggak bisa jagain Ibuk pas sakit kemarin," tukas Arin sendu.

"Nggak papa, Rin. Lihat kamu pulang jengukin Ibuk aja rasanya udah seneng banget. Gimana kabar Ditya sama cucu-cucu Ibuk?"

"Alhamdulillah kami semua baik, Buk. Mas Ditya nitip salam sama minta maaf nggak bisa ikut ke sini. Jadwalnya dia lagi padet banget, nggak bisa ditinggal," Arin menjelaskan soal keabsenan suaminya.

"Bilang sama Ditya, Ibuk nggak kenapa-napa. Ibuk bentar lagi sehat dan boleh pulang," sang ibu menyahut menenangkan.

Setelah puas menyapa ibunya, Arin lantas menyapa bapak, kakak serta adiknya. Satu keluarga itu berkumpul dalam satu ruangan menemani sang perempuan tua yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

A L O N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang