Arin menapakkan kakinya di sebuah taman pendidikan anak usia dini. Sejak dua bulan lalu, dia bekerja sebagai guru pembantu di sini. Mengajari dan bercengkrama dengan anak-anak rupanya mampu mengobati sakit hati Arin. Dia tak masalah dibayar sedikit, toh dia tak butuh uang banyak untuk hidupnya.
Arin tak punya tanggungan apapun selain dirinya. Dia yang kembali tinggal di rumah ibunya tak perlu memikirkan soal makan, karena baik bapak maupun kakaknya sama-sama kekeh untuk menghidupinya. Untuk keperluan lain, Arin mendapat kiriman dari kakak iparnya di Bandung. Uang dari beberapa unit ruko yang disewakan milik Ditya.
Enam bulan lalu, setelah perasaannya jauh lebih tenang, Arin bertolak ke Bandung untuk menyelesaikan urusan rumah mereka. Arin ingin menyerahkan rumah itu pada Mirna selaku kakak kandung dari Ditya, tapi Mirna menolak. Mirna merasa, Arin lebih berhak soal rumah itu. Karena keduanya sama-sama menolak, maka disepakati bahwa rumah itu akan dikontrakkan dan uangnya dibagi dua untuk Arin dan Mirna. Karena untuk menjualnya, mereka sama-sama berat.
Barang-barang Ditya dan anak-anak akan disumbangkan. Arin dan Mirna hanya diijinkan menyimpan sedikit dari banyaknya barang mereka. Ada rasa tak rela kala melihat truk yang mengangkut semua barang milik orang terkasihnya untuk di bawa pergi, tapi Arin juga tak mungkin menyimpan semuanya selamanya. Barang itu akan lebih berguna bila diberikan pada yang membutuhkan.
Tak lebih dari seminggu Arin berada di Bandung. Selama di kota kembang itu Arin tidur di rumah Mirna. Dia tak sanggup untuk tidur sendirian di rumah itu tanpa Ditya dan anak-anaknya. Kenangan itu terasa begitu kuat dan nyata saat berada di dalam rumah itu.
Kini, Arin tengah berusaha bangkit dari keterpurukannya dengan menjadi pengajar di PAUD. Tak hanya itu, Arin juga menjadi relawan bencana sejak lima bulan lalu. Tepat satu bulan sekembalinya Arin dari Bandung, ia berangkat menuju lokasi banjir bandang yang melanda salah satu kota.
"Bunda Arin!"
Arin menoleh waktu mendengar suara cadel khas salah satu muridnya. Sosok kecil itu melepaskan diri dari pegangan ayahnya dan berlari menyongsong Arin.
"Acha jalannya hati-hati, nggak usah lari!" tegurnya yang tak digubris bocah itu.
Arin menangkap tubuh mungil berkuncir kuda itu saat berada di hadapannya. "Aduh, kalau jatuh gimana?"
"Nggak papa, kan ada Bunda yang niupin lukanya," jawab Acha dengan wajah polosnya.
"Nggak boleh gitu. Tetep harus hati-hati biar nggak terluka, ya?"
"Iya, Bunda."
Arin tersenyum hangat. "Ya udah, pamit dulu sama ayahnya. Habis itu masuk kelas."
Acha berpaling pada sosok laki-laki dewasa di belakangnya. "Dah Ayah! Acah sekolah dulu."
"Udah salim belum?" tanya Arin.
"Udah dong, tadi sebelum turun mobil salim dulu sama Ayah."
"Pinter, ya udah sekarang masuk dulu ya. Kasih tasnya ke Bunda Ani." Acha menurut.
Arin beralih pada sosok di depannya yang menatapnya intensif, membuatnya canggung.
"Titip anak saya, Bun," kata lelaki itu.
"Iya, Pak. Kami pasti akan menjaga anak-anak," balas Arin ramah.
"Kalau gitu, saya pamit dulu. Mari, Bunda Arin."
"Silahkan, Pak."
Lelaki dengan tinggi menjulang itu adalah Chandra, duda beranak satu berumur 37 tahun. Dari cerita salah seorang pengajar yang kebetulan bertetangga dengan orangtua Chandra, istri Chandra meninggal saat melahirkan Acha. Dan selama empat tahun ini, Chandra setia dengan status dudanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A L O N E
General FictionKenangan itu terus mengalun mengiringi setiap langkahnya, seolah tak menginginkan dirinya lupa barang sedikit pun. Kenangan yang terus menggerogoti hidupnya Abadi Arinta Puspita-single now