Waktu sudah tengah malam, namun Arin masih terus aktif kesana-sini. Menggendong balita menangis hingga tidur. Membantu memapah pasien lansia menuju kamar mandi hingga membuatkan mi instan untuk ibu hamil yang kelaparan. Wajah Arin terlihat lelah, beberapa perawat telah menyuruhnya istirahat karena mereka telah mendapat tambahan relawan lagi, namun Arin menolak dengan dalih belum mengantuk.Bukan, bukannya Arin tak lelah atau belum mengantuk. Hanya saja Arin takut, rasa gelisah yang biasa ia alami menjelang tidur itu akan datang lagi. Terlebih obat tidurnya tak berada dalam jangkauannya. Itulah sebabnya, Arin terus membuat tubuhnya bergerak, berharap tubuhnya terlalu letih hingga rasa kantuk yang teramat sangat akan ia rasakan dan berakhir ia tertidur tanpa perlu mengalami kecemasan.
"Mbak, bisa minta tolong buatin teh hangat?" seorang lelaki tua yang mengalami luka berat di tangan kirinya melambai pada Arin yang tengah duduk di sebuah kursi plastik.
"Bisa, Pak. Tunggu sebentar, ya?" Arin bergerak menuju dapur. Hanya saja niatnya itu terhalang oleh tangan Byan yang tiba-tiba muncul menahan lengannya. Byan menyuruh salah satu relawan mahasiswa agar membuatkan teh untuk bapak tadi.
"Biar saya aja, Dok," Arin menolak bantuan.
"Nggak. Kamu sekarang tidur. Kamu hampir nggak istirahat dari pagi."
Arin menggeleng panik. "Nanti aja, saya belum ngantuk."
"Kamu datang jauh-jauh ke sini sebagai relawan. Artinya tubuh kamu harus prima karena tugas kita di sini masih banyak. Masih ada ratusan orang yang belum ditemukan. Kita nggak tahu apa mereka selamat atau nggak. Tapi apapun kondisinya, tenaga dan pikiran kita sangat dibutuhkan untuk beberapa waktu ke depan. Kamu aku bawa ke sini buat bantuin kami para tenaga kesehatan, jangan sampai kamu justru jadi salah satu yang kami rawat karena kamu abai sama tubuh kamu sendiri. Ayo, kamu harus tidur sekarang! Nggak usah alasan belum ngantuk segala, mata kamu nggak bisa bohong," omel Byan panjang lebar.
Byan membawa Arin ke salah satu ruangan yang digunakan para perawat dan relawan untuk beristirahat bergantian. Kebanyakan dari mereka hanya beristirahat tak lebih dari setengah jam dan tidur dua jam saja. Hal itu dikarenakan jumlah pasien yang semakin banyak setiap jamnya. Arin masuk dengan perasaan gelisah bukan main, di sana terdapat dua dokter dan tiga perawat serta dua relawan yang tengah tidur.
"Tidur yang nyenyak. Bisa jadi kami akan bangunin kamu dua atau tiga jam lagi," pesan Byan.
Arin hanya mengangguk sekilas. Ia merebahkan tubuhnya yang terasa lengket di karpet, bersebalahan dengan perawat perempuan. Sedangkan para lelaki berada di karpet lain. Tak ada dipan yang biasa mereka gunakan untuk istirahat, karena semua tempat tidur telah digunakan untuk pasien, bahkan lebih banyak dari para pasien yang tidur beralas karpet di lantai maupun di tenda darurat yang dibangun di halaman puskesmas.
Tak ada bantal yang bisa Arin gunakan untuk menyangga kepala. Dan Arin sama sekali tak mengeluh karena dia telah menjalaninya berkali-kali sebelumnya. Arin menggunakan tangan kanannya untuk menyangga kepala dan lengan kiri untuk menutupi wajahnya. Suasana riuh di luar sana tak begitu terdengar di ruang istirahat itu. Ruangan itu terasa sepi karena semua penghuninya telah terlelap. Arin berpura-pura tidur hingga Byan melangkah keluar. Dokter itu telah menggunakan waktu istirahatnya selepas menunaikan ibadah shalat Isya' tadi.
Tak sampai lima menit usai Byan keluar, Arin bangun dari tidurnya. Ia butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya yang mulai dibayangi oleh mendiang keluarganya. Arin mengendap keluar berusaha agar tak ketahuan dokter galak tapi baik bernama Byan Beikanara.
"Mau ke mana, Mbak?"
Arin terlonjak kaget saat seorang relawan muncul dari balik pintu belakang yang di bukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A L O N E
General FictionKenangan itu terus mengalun mengiringi setiap langkahnya, seolah tak menginginkan dirinya lupa barang sedikit pun. Kenangan yang terus menggerogoti hidupnya Abadi Arinta Puspita-single now