32. Napak Tilas

533 79 9
                                    

Tiga hari di Bandung, Arin menyibukkan diri kesana-kemari mengunjungi lokasi yang pernah disambanginya bersama suami dan anaknya. Air matanya keluar kala ia makan mie pedas khas Korea yang dulu sempat ia dan Ditya cicipi di sebuah restoran. Tak ada pengunjung yang menatapnya aneh, sebab sebagian dari mereka pun meneteskan air mata karena rasa pedas yang teramat sangat.

Menikmati siomay kesukaan Diandra hingga puding regal kesukaan Revan, Arin merasa bahagia dan sepi sekaligus. Bernostalgia dengan 'mereka' memang menghadirkan rasa bahagia karena pernah memiliki mereka. Akan tetapi juga menghadirkan rasa sepi, mengingat ia kini sendiri.

Malam terakhirnya di hotel, Arin memuaskan diri memandangi kompleks rumahnya dari jendela hotel sembari menikmati roti bakar toping coklat keju.

"Inget nggak, Mas, dulu pertama kali aku ke sini, aku kebangun tengah malem dan kelaperan. Kamu bawa aku keluar naik motor nyari makan dan akhirnya kita beli roti bakar, karena waktu itu penjual pertama yang kita temui ya penjual roti bakar ini. Tadi aku beli lagi di sana, varian rasanya sama kayak yang dulu kita beli. Tapi rasanya kok beda, ya? Enakan dulu waktu makan bareng kamu. Atau lidah aku yang berubah?"

Arin terus melahap roti bakar di tangannya dengan pandangan lurus ke arah rumahnya. Sesekali mulutnya mengeluhkan rasa roti bakar yang tak seenak dulu sewaktu dibelikan oleh Ditya.

<><><>

Pagi-pagi sekali Arin sudah chek out dari hotel kemudian bertolak menuju lembang. Sewaktu sampai di rumah Mirna, ia disambut hangat oleh kakak iparnya. Namun hatinya tetap berdenyut perih, karena sang mertua tak turut menyambutnya seperti dahulu. Arin hanya meletakkan koper kecilnya di kamar yang dulu dipakai Ditya sedari kecil. Lantas Arin meminta ijin keluar.

"Kita makan dulu, Rin!" seru Mirna menyusul Arin yang sudah bersiap duduk di motor.

"Nggak, Teh. Aku mau makan di tempat yang dulu kita datangi," tolak Arin. Setelah memanaskan motornya sebentar Arin pun melajukan motor itu menjauh dari rumah yang menjadi tempat Ditya lahir, tumbuh dan besar.

Tempat pertama yang Arin tuju ialah makam sang mertua. Di sana, Arin mencurahkan segala isi hatinya layaknya anak curhat kepada ibunya. Setelah puas melepas rindu, Arin melajukan motornya menuju cafe bertema kebun bunga yang menjadi favorit Diandra dan Bella tiap ke Lembang. Arin memesan makanan kesukaan Diandra dan es krim kesukaan Bella.

Sembari menunggu pesanan datang jemari Arin sibuk mencorat-coret sebuah buku organizer yang dibawanya, masih ada banyak tempat yang belum dikunjungi dalam catatan di sana. Rencananya, Arin akan berada di Lembang selama tiga hari, dilanjutkan ke Kawah Putih baru ia akan kembali ke Wonosobo. Ponselnya masih belum diaktifkan olehnya. Ia rasa keluarganya di Wonosobo telah yakin akan keadaannya.

Usai makan, Arin melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya. Ia baru kembali ke rumah Mirna saat langit telah gelap dan waktu menunjukkan pukul delapan malam.

"Kamu nggak capek apa, Rin? Beberapa hari ini jalan terus," tanya Mirna khawatir.

"Capek, Teh. Makanya sekarang mau istirahat biar besok punya energi lagi," balas Arin sembari pamit ke kamarnya.

Arin hanya sempat mencuci kaki dan mengganti bajunya sebelum jatuh tidur. Tubuhnya sangat letih hingga ia merasa tak sanggup untuk sekadar mandi. Rasa letihnya terbayar dengan rasa puas yang didapatnya. Hatinya semakin ringan seiring semakin banyaknya tempat yang ia kunjungi. Bisa jadi berat badannya juga naik drastis karena ia makan banyak selama di sini.

<><><>

Hari kedua di Lembang, Arin meninggalkan rumah Mirna pada pukul setengah tujuh pagi. Mirna tak sempat melarang karena Arin pamit sembari menyalakan motornya, ajakannya untuk sarapan bersama ditolak dengan alasan yang sama seperti hari sebelumnya. Hal itu jelas membuat Mirna khawatir.

A L O N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang