33. Dirawat

595 86 9
                                    


Saat Arin membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya ialah ruangan berwarna krem yang asing baginya. Arin berusaha mengingat hal yang dialaminya sebelum hilang kesadaran. Banyak yang terlintas dalam pikirannya, namun satu yang paling diingatnya, ialah Dani, yang entah dari mana, tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Rin?"

Baru saja dipikirkan, suara Dani kembali terdengar beserta kemunculan seraut wajah tampan nan khawatir.

"Masih sakit?" nada suara Dani terdengar sedih.

"Ini di mana sih, Dan?" jawabannya Arin temukan kala ia mengangkat tangan kanannya dan melihat selang infus tertancap di sana. "Loh, ngapain gue diinfus segala? Emang gue kenapa?"

"Kamu pingsan tadi, makanya aku bawa ke rumah sakit karena lebih deket daripada rumah Mas Hendra. Kata dokter kamu terlalu capek sama pola makannya berantakan. Dokter nyuruh kamu dirawat sampai kondisi kamu pulih," Dani memberi tahu kronologinya.

"Gue udah enakan. Bisa 'kan pulang sekarang aja?"

Dani menggeleng. "Malam ini kamu nginep sini. Tadi Mas Hendra sama Teh Mirna sempet ke sini, tapi udah pulang. Kami semua nyari kamu sejak habis maghrib. Kamu nggak bisa dihubungi, makanya kami berpencar. Untungnya kamu ketemu. Besok, Mas Hendra sama Teh Mirna akan datang lagi."

Arin memejamkan matanya sebal. "Gue malah jadi beban orang-orang gini, sih!"

"Nggak ada yang merasa terbebani, Rin. Kamu istirahat lagi, ya? Biar cepet fit," usul Dani.

Arin tak serta merta menuruti Dani. "Lo gimana bisa di sini, Dan?"

Dani menyugar rambutnya gusar. Di wajahnya terlihat berbagai macam emosi. Sedih, khawatir, takut hingga menyesal. Setidaknya itu yang Arin tangkap.

"Ceritanya besok aja kalau kamu udah sehat. Sekarang kamu tidur lagi. Aku tungguin di sana," Dani menujuk sofa berwarna hitam tak jauh dari ranjang Arin.

Kali ini Arin menurut, kepalanya masih terasa pusing. Namun baru saja ia memejamkan matanya, perutnya terasa bergejolak. Buru-buru Arin bangun dari tidurnya.

"Kamu mau ngapain?" seru Dani panik.

"Toilet. Mual," jawab Arin tak berani membuka mulut terlalu lama.

Dani membantu Arin berjalan menuju kamar mandi. Ia tak lantas keluar setelah Arin sampai di depan kloset. Kibasan tangan Arin tak ia pedulikan. Arin menunggu hingga Dani keluar walau isi dalam perutnya sudah tak sabar ingin keluar.

"Aku di sini, tungguin kamu," Dani berkata tegas.

Arin tak mampu mendebat lagi karena saat itu isi perutnya sudah benar-benar tak tahan ingin keluar. Dani memijat tengkuk Arin, memencet tombol shower, mengelap bibir Arin dengan tisu, hingga membantu Arin duduk di kloset yang telah ditutup. Saat itulah, Arin merasa malu luar biasa karena membiarkan Dani melihatnya muntah.

"Harusnya lo keluar, Dan. Lo nggak jijik apa?"

"Nggak sama sekali."

Dani kembali bersiap memapah Arin. Namun karena tubuh Arin yang sangat lemas, pada akhirnya Dani menggendong Arin dan membaringkannya di ranjang perawatan.

"Kamu makan apa aja? Sampai kayak gini?"

Arin menjabarkan makanan apa saja yang telah masuk ke lambungnya selama di Bandung. Membuat Dani mencubit hidungnya gemas. "Bandel banget sih kamu! Aku laporin ke Mas Eza baru tahu rasa!"

"Cih, pengadu!"

Mengabaikan decihan Arin, Dani memandang perempuan di hadapannya dengan sendu. "Jangan begini lagi. Aku hampir gila waktu kamu ngilang. Dan jantung aku kayak mau copot waktu lihat kamu pingsan tadi," Dani memohon.

A L O N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang