31. Memantapkan Hati

574 76 11
                                    


Semua orang telah merestui Dani sebagai orang yang akan menjadi pendamping hidupnya, namun justru Arin sendiri yang masih merasa bimbang. Kepada Eza, Arin menumpahkan segala kegundahannya selepas makan malam. Tentang rasa takut yang masih menghantuinya.

"Adik Mas ini orang baik. Nggak salah kalau banyak orang yang suka sama kamu, hanya saja kapasitas kamu cuma untuk satu orang, wajar kalau banyak yang ditolak sama kamu. Hanya mereka yang nggak dewasa yang menjelekkan kamu setelah ditolak, jangan peduliin. Fokus sama kebahagiaan kamu aja. Nggak perlu takut, ada kami yang akan selalu dukung kamu dan lindungi kamu."

Arin mengingat semua perkataan Eza. Mencoba memantapkan kembali hatinya.

"Mas, aku mau ke Bandung. Cuma pengen tenangin pikiran di sana. Tapi Mas jangan bilang ke Dani. Aku butuh waktu untuk mikir lagi," pinta Arin.

"Kapan?"

"Besok, sebelum Dani pulang dari Malang."

Eza terkejut dengan rencana Arin yang tiba-tiba, tapi ia tak melarang. Eza hanya berpesan agar Arin berhati-hati dan meminta Arin menabahkan hatinya selama di Bandung. Pasti banyak kenangan yang menyesakkan di kota itu.

Paginya, seluruh anggota keluarga Santoso dikagetkan dengan pamitnya Arin yang bilang ingin liburan ke Bandung. Maya tak sempat mencegah, karena pada pukul enam pagi, mobil travel yang dipesan Arin telah menjemputnya di depan pagar. Seperti yang Arin pinta pada Eza, pada yang lain Arin juga berpesan agar tak ada yang memberi tahu keberadaannya pada Dani.

Dengan diringi doa dan ijin setengah hati dari Maya, Arin memasuki mobil travel yang kemudian melaju meninggalkan rumah Santoso.

"Oalah, Mbak Arin tuh udah jadi sultan, to? Enteng banget semalem bilang mau liburan, paginya langsung berangkat ke Bandung, mana nginepnya milih di hotel berbintang lagi," Rina menggelengkan kepalanya.

"Emangnya sekolah ngasih cuti ke Arin?" Maya bertanya sangsi.

"Arin 'kan cuma tenaga pembantu selagi mereka belum dapat guru baru. Sekolah udah dapat guru itu, yang akan mulai ngajar minggu depan, jadi Arin udah bebas mau keluar kapan aja. Katanya udah ngurus surat resign dari minggu lalu," jelas Eza pada Ibunya.

"Wes, ayo masuk! Biarin Arin tenangin diri di sana, kita doain aja supaya dia diberi kesehatan, keselamatan dan ketenangan pikiran. Semoga Arin lekas kembali seperti sedia kala," Santoso berkomentar.

"Aamiin...."

<><><>

Langkah Arin begitu berat kala menapakkan kaki di perumahan tempatnya tinggal bersama Ditya. Sejak kepergian Ditya dan anak-anak, Arin baru sekali mengunjunginya dulu. Kini, Arin kembali untuk bernostalgia. Langkahnya terhenti di depan rumah yang tak mengalami banyak perubahan itu, catnya masih sama hanya lebih cerah. Sepertinya si pengontrak rumah sengaja tak mengganti warna cat hijau mint itu.

Tak berlama-lama Arin berdiri di sana, ia memilih berkeliling komplek menyapa para tetangganya dulu. Mereka masih mengingat Arin dengan baik, bahkan beberpa sempat menitikkan air matanya kala melihat Arin. Mereka meminta Arin untuk mampir lebih lama, yang Arin tolak dengan sopan karena Hendra menelfonnya mengatakan ia telah sampai di depan rumahnya dengan Ditya. Arin berpamitan dengan para tetangganya lalu melangkah menuju mobil Hendra. Ia mendudukkan dirinya di kursi samping Hendra.

"Kenapa mendadak ke sini? Ada sesuatu?" tanya Hendra terkesan hati-hati.

"Aku cuma kangen sama momen kami di kota ini. Rencananya aku mau mengunjungi tempat-tempat yang pernah kami kunjungi sebelumnya, napak tilas perjalanan bersama mereka," jawab Arin lugas.

A L O N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang