20. Pertengkaran

602 74 3
                                    


Arin mendudukkan dirinya di kursi penumpang sebelah Dani. Perempuan yang kembali berstatus sebagai janda itu telah menyiapkan berbagai peringatan untuk Dani.

"Lo laper? Kita makan dulu, yuk," ajak Dani saat mobil mulai melaju.

Arin memposisikan tubuhnya agar menghadap Dani dengan sempurna. Dani yang melihat gelagat Arin pun bertanya. "Apa?"

Arin mendengus. "Maksud lo apa kayak gini ke gue?"

"Kayak gini, gimana?" Dani berlagak bodoh.

"Nggak usah sok polos, deh! Lo ngapain jemput gue? Kan udah gue bilang nggak usah. Beneran ya, Dan. Gue ogah disangkutpautin lagi sama masalah kalian. Lo kalau mau ribut sama pacar lo nggak usah bawa-bawa gue bisa, kan?"

Arin bukan tanpa sebab bicara seperti itu pada Dani. Bulan lalu ada nomor asing yang mengiriminya pesan. Isi pesan itu meminta agar Arin menjauhi Dani, bahkan pengirim pesan yang Arin tahu adalah pacar Dani itu sampai menjuluki Arin sebagai 'janda kegatelan'. Arin mengabaikan pesan itu karena ia tak merasa seperti yang dituduhkan. Sejak dulu, ia tak pernah mendekati Dani. Apalagi soal julukan itu, sama sekali bukan dirinya. Ia memang janda, tapi ia tidak kegatelan.

"Gue putus sama Tita," ucap Dani datar.

"Terserah kalian mau putus atau terus. Tapi 'kan nggak harus bawa-bawa gue."

"Maaf, Rin. Tapi sejujurnya, alasan gue putus sama Tita, selain karena hubungan kita udah nggak mungkin diteruskan, juga karena lo."

"Karena gue? Emang gue ngapain? Gue aja nggak pernah nyenggol kalian," Arin berseru heran.

"Lo inget nggak, dulu gue pernah ngomong sama Mas Ditya kalau gue akan rebut elo, kalau dia bikin lo sakit hati," Dani bertanya.

"Tapi, Mas Ditya nggak pernah nyakitin gue. Dia justru selalu bahagian gue," bantah Arin tegas.

Dani mengangguk sekilas. "Dia mungkin nggak nyakitin lo sepanjang kalian bersama. Tapi, gue yakin, lo sakit hati karena perpisahan kalian, kan?"

Mulut Arin ternganga. Sama sekali tak menyangka kalau kepergian suaminya justru dijadikan alasan oleh Dani mendekatinya.

"Jadi, lo seneng gitu Mas Ditya pergi ninggalin gue? Lo jadi punya kesempatan buat deketin gue?" tuntut Arin dengan air mata berjatuhan. "Lo busuk banget!"

Dani menepikan mobilnya. Setelah melepas seatbelt tubuhnya berpaling menghadap Arin. "Nggak, Rin. Gue sama sekali nggak seneng. Dulu gue bersyukur lo nikah sama Mas Ditya, karena gue tahu Mas Ditya orang yang baik. Dan bener 'kan, lo bahagia hidup sama Mas Ditya. Yang gue sesali adalah perpisahan kalian. Gue nggak suka lihat lo hidup kayak zombie setelah mereka pergi. Gue nggak suka lihat lo nangis terus tiap ke makam mereka. Gue akui gue emang sering ngikutin lo. Gue cuma pengen tahu gimana keadaan lo, dan ternyata lo nggak baik-baik aja."

Dani menarik nafasnya sebelum melanjutkan. "Lo bohong ke keluarga lo kalau lo udah sembuh dan nggak perlu ke psikiater lagi. Padahal aslinya lo justru ganti psikiater. Itu yang buat gue termotivasi buat buktiin ucapan gue ke Mas Ditya. Lo sedih, Rin. Dan nggak bisa bohong kalau salah satu penyebabnya emang Mas Ditya, kan?"

Arin menangkupkan kedua tangannya di wajah. Ucapan Dani tidak sepenuhnya salah. Ia memang sedih, karena Ditya, yang pergi tanpa permisi. Ia memang belum bisa move on dari mereka, bahkan Rafi sekalipun.

"Tapi gue nggak perlu lo kasihanin, Dan. Gue akan bangkit dengan cara gue sendiri."

"Di mata lo, gue emang nggak pernah kelihatan punya perasaan yang tulus ya, Rin?" Dani berujar getir.

"Gue tahu, lo emang menutup hati dari siapa pun yang coba deketin lo. Tapi, apa sedikit pun lo nggak peka sama perasaan gue? Sekali pun cara yang gue gunakan dulu terbilang kekanakan, tapi apa lo nggak bisa lihat sedikit pun ketulusan dari diri gue? Bahkan Mas Ditya aja langsung tahu."

A L O N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang