17. Penting

502 74 5
                                    


Byan tak hentinya mengomeli Arin yang dianggapnya tak patuh dengan perintahnya selama sisa perjalanan mereka menuju posko. Padahal para relawan, warga dan aparat justru berterima kasih pada Arin dan teman-temannya karena berani bertindak.

"Dok, kalau khawatir tuh disayang, bukannya diomelin," sindir seorang relawan yang geli namun jengah pula melihat tingkah Byan.

Byan terlihat salah tingkah, namun hanya sebentar, detik berikutnya ia kembali bersikap cool. Berbanding terbalik dengan Arin yang merasa semakin tak nyaman. Harusnya ia dipapah oleh teman perempuannya, namun mereka rupanya sudah punya tugas membawa tas dokter dan alat-alatnya, karena para dokter turut membantu menggotong korban. Begitu pula dengan Byan, ia membantu memapah korban luka, yaitu Arin.

"Dok, udah. Aku jalan sendiri aja, Dokter bantu yang lain sana," pinta Arin.

"Satu-satunya yang perlu aku bantu di sini adalah kamu."

"Tapi aku nggak mau."

Byan menghela nafas. "Nggak usah batu!"

"Tapi-"

"Sekali lagi kamu ngomong, aku gendong kamu!"

Arin mengunci mulutnya rapat-rapat. Setahunya, Byan adalah sosok yang tegas dan menepati omongannya. Bisa jadi ancaman barusan juga bukan sekadar gertakan. Maka sisa perjalanan menuju tenda sejauh seratus meter Arin harus menguatkan hatinya mendengar gerutuan Byan pasal luka di kakinya. Demi Tuhan, Arin bahkan masih sanggup lari, tapi kenapa lelaki itu bertingkah berlebihan?

"Mbak Arin!"

Arin menoleh ke asal suara. Dilihatnya seseorang yang baru keluar tenda berlari menyongsongnya.

"Kaki Mbak kenapa?" Orang itu adalah Dewa, rekan satu tim Arin.

"Cuma kegores dikit kok," sahut Arin santai.

"Mana ada kegores dikit kakinya sampai diperban gitu. Jalannya aja sampai dipapah orang lain!" dengus Dewa. "Duh, Mbak. Kalau sampai pulang nanti kaki Mbak Arin masih kayak gini, bisa-bisa kita kena omel Ibunya Mbak Arin loh."

Arin terkekeh. "Nggak cuma diomelin, bisa-bisa aku dikurung di kamar setahun."

"Ada-ada aja," Dewa tertawa kecil. "Tapi serius Mbak, next harus lebih hati-hati. Kita berada di zona rawan soalnya. Jangan sampai Mbak Arin kenapa-napa lagi. Kita pergi dalam keadaan sehat, pulang juga harus gitu."

"Iya, De, iya. Bawel lo kayak emak-emak! Padahal yang emak-emak kan gue," sungut Arin berjalan tertatih meninggalkan Dewa dan Byan.

Arin segera berkeliling mencari keberadaan Lisa, yang ia tahu memegang tasnya. Setelah mendatangi tiga tenda, akhirnya Arin menemukan Lisa yang tengah menyuapi balita makan bubur.

"Lisa!"

Yang dipanggil menoleh, tampak terkejut selanjutnya menyunggingkan senyumnya.

"Mbak Arin apa kabar? Eh ... itu kakinya kenapa?" raut Lisa mendadak berubah.

"Nggak papa kok, cuma kegores dikit aja. Oh ya, kamu yang kemarin pegang tas aku kan?"

"Iya, Mbak. Kemarin banyak banget telfon masuk, tapi aku cuma bisa angkat satu kali yang dari masnya Mbak. Lainnya nggak sempet angkat."

"Nggak apa, Lis. Justru aku minta maaf udah ngerepotin kamu," ujar Arin tak enak hati.

"Nggak kok, Mbak. Aku ambilin nanti dulu ya, Mbak? Lagi tanggung."

"Kamu terusin aja, aku mau ke dapur bantu-bantu di sana."

Arin beranjak menuju tenda dapur. Setelah mencuci tangannya ia bergabung dengan relawan lain menyediakan makan siang untuk semua orang. Setelahnya ia turut membagikan makanan ke pada para lansia dan korban yang susah berjalan, sedang mereka yang masih bisa berjalan mengambil sendiri di tenda dapur. Seharian Arin sibuk mondar-mandir membantu mengurus warga. Ia tak menggerutu sama sekali, baginya rasa lelah yang dirasa sepadan dengan rasa senang dan ringan di hatinya. Seakan secuil dari lukanya mulai mengering.

A L O N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang