4. Kenangan

933 118 23
                                    


(Bacanya sambil puter lagu Kamu dan Kenangan - Maudy Ayunda)

.
.
.

Setahun kemudian

Kehilangan orang yang sangat disayangi tentu merupakan pukulan berat, terlebih kalau kehilangan semuanya sekaligus.

Arin nyaris gila menghadapinya. Sinarnya telah redup, hidupnya tak lagi cerah. Semuanya pergi meninggalkan ia sendirian, merangkak melanjutkan hidup dengan susah payah.

Hingga tiga bulan setelah kepergian suami dan anaknya, Arin masih terus menjerit lalu tak sadarkan diri. Semakin banyak hari yang tercipta, Arin merasa semakin kosong. Rasa kehilangannya terasa semakin besar. Rindu pada terkasihnya terasa semakin menyakitkan. Teman yang datang silih berganti, tak mampu membawa Arin beranjak dari ruang tamu sambil menatap nanar pada halaman depan.

"Bukan temenku yang aku tunggu kedatangannya. Tapi mereka, yang bilang mau nyusulin aku ke sini," begitu ucapnya tiap kali ada yang menegur.

Berminggu-minggu setelah keperguan suamindan anaknya, Arin jadi penunggu ruang tamu rumahnya. Hanya beranjak kebelakang seperlunya. Tak mandi, tak ganti baju, makan disuapi. Kondisinya begitu mengenaskan. Memang Arin tak lagi menangis histeris. Tapi dia menggantinya dengan mondar-mandir di teras rumahnya dengan raut wajah gelisah.

"Mereka kok nggak nyampai-nyampai ya? Ditelfon juga nggak aktif. Nyasar kali ya?"

Hari ini Arin beralasan mereka nyasar, kemarin dia beralasan mereka mampir mall dan lupa waktu. Ada pula alasan ban mobil mereka bocor di tempat yang jauh dari tambal ban, dan berbagai alasan lain yang dibuatnya. Keluarganya semakin khawatir dengan kondisi Arin. Lalu di saat Arin tertidur di sofa seperti biasanya, Eza nekat membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

Arin meronta saat terbangun dan mendapati dirinya tak berada di ruang tamu rumahnya. Arin terus berontak meminta pulang untuk menyambut kedatangan anak, suami dan mertuanya. Dia bahkan harus diborgol tangan dan kakinya lalu diberi obat penenang. Membuat hati Eza teriris melihatnya.

Sebulan Arin dirawat di rumah sakit. Saat keluar, kejiwaannya sudah mulai pulih. Namun, dia tetap rutin mendapat pengobatan dan pencerahan dari seorang psikiater yang juga merupakan sahabat semasa SMA dulu. Dari seminggu dua kali, berangsur menjadi sebulan sekali.

Hari ini, tepat setahun kepergian suami dan anaknya. Arin mendatangi toko bunga langganannya.

"Mawar merah empat ikat ya, Ly. Sama mawar putihnya satu," pintanya pada pemilik toko.

"Iya, Mbak. Mbak Arin duduk dulu, aku buatin teh ya?" Lily sang pemilik toko menyahut.

Mereka telah dekat sejak dulu, karena tiap Arin pulang ke kampung halamannya, Ditya selalu membelikannya bunga kesukaan Arin di toko ini. Hati Arin kembali pedih mengingat memori bersama suaminya di toko ini.

"Minum dulu ya, Mbak?" Lily datang dengan dua cangkir teh.

Arin menyesap tehnya perlahan. "Aku nggak tahu harus gimana, Ly. Rasanya masih sakit banget."

Lily menatap Arin sendu. "Aku juga dulu gitu, Mbak. Rasanya nggak pengen hidup lagi waktu Mama pergi. Aku nggak punya siapa-siapa lagi, nggak ada keluarga dan teman. Aku sendirian."

Arin menitikkan air mata. "Aku masih terus ngerasa bersalah, karena mereka jadi kayak gitu gara-gara mau nyusulin aku ke sini. Kalau aja aku pulang lebih cepet ke Bandung, mereka nggak perlu nyusulin aku."

"Nggak ada yang salah, Mbak. Semua udah ketentuan takdir. Tapi, aku nggak nyalahin Mbak Arin karena punya pikiran kayak gitu. Dulu aku juga benci sama diri sendiri, dan lebih benci sama orangtuaku karena pergi ninggalin aku."

A L O N ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang