"Kamu berhak dan harus bahagia, Rin."Air mata Arin kembali luruh seraya tubuhnya jatuh ke tanah. Arin sesenggukan tak peduli pada kemungkinan ada orang selain Byan yang akan melihatnya.
Byan mendekat, berjongkok di sisi Arin. Dengan nada lembut ia berkata.
"Lepas rasa sakit kamu, rasa takut dan terutama rasa marah kamu. Kamu marah pada keadaan, kamu marah karena disakiti oleh nasib."Arin masih terus tersedu sembari menahan suaranya agar tak keluar terlalu keras. Saat Byan mengulurkan lengannya, sontak Arin meremas kuat jaket tebal yang pria itu gunakan. Merasa bahwa tangisan Arin tak akan berhenti dalam waktu dekat, Byan lantas berdiri dan meninggalkan Arin yang tak peduli. Tak lama kemudian Byan kembali sembari menyerahkan helm dan sebungkus tisu kepada Arin, dia sendiri telah menggunakan helmnya. Tanpa persetujuan sang empunya tangan, Byan menyeret lengan Arin agar mengikutinya.
"Ayo naik," kata Byan saat dirinya telah siap dengan motor yang telah menyala.
Ragu-ragu Arin menaiki motor yang akan dikendarai Byan. Setelah memastikan dirinya duduk dengan nyaman dan aman, Byan pun melajukan motornya membelah jalanan yang gelap gulita akibat pemadaman listrik. Genset hanya digunakan di tenda pengungsian, kantor pemerintahan dan fasilitas kesehatan. Masjid juga menggunakannya namun untuk saat-saat tertentu saja, kala tiba waktunya shalat contohnya.
Byan membawa Arin berkeliling. Dia sengaja melajukan motornya tak terlalu cepat, agar Arin punya waktu untuk menenangkan diri. Suara isakan Arin terdengar jelas di telinga Byan, bersahutan dengan deru motor yang memecah kesunyian malam.
"Nggak papa, nangis itu wajar. Tapi jadi nggak wajar kalau nangisnya dijadiin rutinitas. Beberapa bulan lalu aku lihat kamu nangis malem-malem di belakang tenda pengungsi korban banjir, pas di lokasi gempa juga. Sekarang nangis lagi, kayaknya nangis udah jadi rutinitas kamu ya, Rin?"
Arin enggan menjawab, namun tak ayal isakannya sedikit berkurang.
"Kamu kangen sama seseorang?"
"Hmm," sahut Arin dengan suara serak.
"Sama siapa?"
Arin kembali tergugu. "Aku kangen sama suami-suami dan anak-anak aku. Sama mertua aku juga. Aku kangen mereka semua."
Motor yang dikendarai Byan mendadak berhenti. Saat ini mereka berada di depan sebuah hotel yang sebagian bagunannya mengalami kerusakan akibat gempa. Byan mematikan mesin motornya lalu turun. Ditatapnya wajah Arin yang disinari cahaya bulan setengah purnama.
"Tunggu, aku tahu kamu udah nggak gadis lagi. Dan entah apa yang terjadi sama pernikahan kalian yang bikin kamu nangis gini. Tapi, barusan kamu bilang suami-suami kamu? Emang suami kamu ada berapa?"
"Suamiku dua, anakku tiga."
"Hah?! Kamu nikah dengan dua orang sekaligus? Kamu poliandri?" Byan tak menutupi nada terkejutnya.
Arin melempari Byan dengan tisu bekasnya. "Ngaco!"
"Terus?"
"Suami pertama aku udah meninggal-"
"Ohhh ... jadi kamu nikah lagi?" potong Byan. "Nah, kalau suami kedua sama anak-anak kamu?"
"Mereka semua nyusul suami pertama aku," jawab Arin dengan suara bergetar. "Nggak ada satu pun yang bersedia tinggal dan nemenin aku."
Arin menceritakan secara singkat kejadian yang dialami suami dan anak serta mertuanya. Kali ini Byan sangat terkejut mendengar kisah Arin. Tak ia sangka, perempuan yang terlihat ringkih dan teguh di saat bersamaan itu punya luka sebegitu parah. Byan yang dulu pernah mengalami masa ditinggal pergi sahabat baiknya saja merasa sangat terpukul. Bagaimana dengan Arin yang kehilangan semuanya sekaligus?
KAMU SEDANG MEMBACA
A L O N E
General FictionKenangan itu terus mengalun mengiringi setiap langkahnya, seolah tak menginginkan dirinya lupa barang sedikit pun. Kenangan yang terus menggerogoti hidupnya Abadi Arinta Puspita-single now