BAB 17

25 9 7
                                    

"Beneran kamu kerja akhir-akhir ini?" ucap Jaehyun, lebih seperti sebuah pertanyaan.

"Udah cukup lama malah. Aku juga harus kerja untuk kebutuhanku sendiri," jawabku.

"Enggak capek?" Suara Jaehyun cukup serak kali ini. Aku tersenyum gusar. Entah kenapa rasanya Jaehyun seperti sedang sedih.

"Enggak, dong. Kamu sendiri gimana? Lancar kerjaannya?" Aku memberanikan diri menatap Jaehyun, kemejanya dan rambutnya sedikit lebih berantakan.

"Baik," ucapnya pelan.

"Syukurlah. Kamu pasti bahagia banget ya, Jaehyun." Aku tersenyum. Benar-benar bersyukur karena ternyata dugaan dan kekhawatiranku selama ini salah, aku mengira Jaehyun akan merasa tersiksa dan menyesali kesalahannya padaku. Ternyata tidak, ya, nampaknya begitu.

"Udah mau pulang?" Jaehyun mendongak, menatapku yang baru saja selesai menerima pesanan.

"Ya," Aku mengangkat kantung makananku. "Udah selesai. Laper."

"Ralia!" panggil Jaehyun, membuatku kembali menatap eksistensi dirinya. "Aku...," ucapnya ragu.

"Hm?" Aku mengangkat alis, bermaksud menanya apa tujuan Jaehyun.

"Boleh aku ikut ke rumah?" tanya Jaehyun. Aku mematung mendengar pertanyaan Jaehyun. Hatiku terguncang. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Kamu? Mau apa?" tanyaku memastikan.

"Cuma pengen makan malam bareng aja," pinta Jaehyun.

"Baiklah." Aku tersenyum kikuk.

Sepertinya sebuah kesalahan aku mengiyakan permintaan Jaehyun. Sekarang aku sendiri yang menjadi awkward.

"Mmm, mau minum apa?" tanyaku setelah kami selesai makan.

"Enggak, aku kekenyangan." Jaehyun tersenyum menampakkan deretan gigi rapinya.

"Ah, iya juga." Aku kemudian merapikan piring bekas kami makan. Rasanya...., Dejavu. Rasanya tidak asing, rasanya seperti dulu.

Aku bergegas menyelesaikan kegiatan mencuci piring, sementara Jaehyun masih di meja makan dengan sebatang rokok yang menjejal bibirnya.

"Sejak kapan jadi perokok?" tanyaku.

"Sejak kita bercerai," jawabnya, mendadak semua otot jantungku berkerja lebih kencang. Apa lagi ini Jung Jaehyun?

"Semenjak kita cerai, enggak ada lagi yang cerewet ke aku untuk ini," lanjutnya.

"Dasar itu memang kamu yang pengen aja, Jae. Kak Johnny juga single, kalo emang dasar bukan perokok, ya dengan sendirinya dia enggak ngerokok." Aku duduk di hadapan Jaehyun setelah selesai dengan cucian piringku. "Lagian pacar kamu enggak ngingetin emang?" tanyaku.

Jaehyun terdiam, ia menunduk lalu tersenyum kecut.

"Kenapa?" tanyaku.

"Enggak," Jaehyun mengusap tengkuknya.

"Aku kangen kamu, Ralia!" ucap Jaehyun tiba-tiba.

Aku juga, Jaehyun!

"Ya, aku emang ngangenin sebenernya. Kamu yang terlambat menyadari." Aku tertawa.

"Aku pengen peluk kamu." Jaehyun menatapku.

"Jangan macem-macem, Jae. Kita udah bercerai. Inget itu!" Aku menatap Jaehyun tajam.

Jaehyun mematikan puntung rokoknya. Kemudian beranjak mendekatiku.

"Boleh atau enggak, aku mau peluk kamu, Lia. Rasanya egois banget rasa kangen ini cuma aku yang rasain. Jadi kamu setuju atau enggak, aku enggak perduli," ucapnya, kemudian Jaehyun memelukku.

"Cukup, Jaehyun!" sentakku. Jaehyun nampak kecewa.

"Aku enggak suka, bau rokok!" lanjutku. Jaehyun malah tersenyum.

"Jadi nolak aku karena bau rokok aja?" tanyanya. Aku tercekat, bukan begitu maksudku.

"Pulang sana! Udah terlalu malem!" Sebetulnya aku takut kami akan bicara terlalu jauh.

"Okay!" Jaehyun setuju. "Makasih untuk makan malemnya. Good bye, mantan!" ucap Jaehyun seolah meledekku.

"Dasar duda!" balasku.

PARASITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang