Prolog

53 9 0
                                    

Jakarta, Juli 2010


“Alya, main yuk!”

Gadis kecil berambut panjang bergelombang itu seketika menarik tangannya, menghindari tangan bocah laki-laki di depannya yang berusaha menggenggam lengannya. Keningnya berkerut. Matanya tampak penuh dengan tanda tanya.

Namun, respons gadis kecil itu tak membuat bocah laki-laki di depannya menyerah. Ia mendekat. “Ayo, Al. Aku mau ajak kamu ke tempat bagus,” ucapnya sambil kembali berusaha meraih lengan gadis yang ia panggil “Alya” itu.

Belum sempat bocah itu meraih Alya, seorang wanita muncul dari balik pintu rumah di mana mereka sedang bercengkerama. Wanita itu keluar dan mendekati dua bocah berbeda ekspresi itu.

“Eh, Naven di sini?” sapa wanita itu ramah. Ia pun berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan kedua bocah itu.

Bocah laki-laki itu tersenyum lebar. Menunjukkan deretan giginya yang mulai keropos dan ompong. Naven mengangguk antusias, menjawab pertanyaan wanita itu. “Naven mau ajak Alya main, Tante,” tuturnya bersemangat.

Namun, raut wajah penuh semangatnya seketika berubah menjadi penuh tanya saat tiba-tiba Alya berlari dan bersembunyi di balik tubuh wanita itu. Tangannya pun menggenggam erat pakaian yang wanita itu kenakan.

“Bunda,” ucapnya pelan, hampir seperti berbisik. Ia mengeratkan genggaman pada kain di tangannya. Badannya sepenuhnya ia sembunyikan di balik tubuh sang bunda. Kini hanya kepala Alya yang melongok yang bisa Naven lihat.

Wanita yang merupakan ibunda dari Alya itu menatap sang putri dan tersenyum. Perlahan, ia menarik Alya agar tak lagi bersembunyi di balik tubuhnya. “Kenapa, Sayang? Itu Naven. Kan dulu Alya sering main sama Naven,” ucapnya. Ia tahu, ada rasa takut yang bergelayut di benak putri semata wayangnya itu.

Kepala Alya meneleng. “Iya, Bunda?”

“Iya. Mamanya Naven waktu itu bilang. Katanya dulu Naven suka main ke sini, main-main sama Alya. Terus kemarin mamanya Naven juga ngasih liat foto. Katanya itu foto Naven sama Alya. Ada yang mirip Alya, tau, mukanya,” tutur Naven panjang lebar. Ia terlihat begitu bersemangat.

Jelas dia bersemangat. Dia bisa bermain dengan teman seperpopokannya dulu. Keluarga Alya sebelumnya memang tinggal di Jakarta. Namun, saat Alya berusia kurang lebih satu tahun, mereka pindah ke Bandung karena ayah Alya dipindah tugaskan. Dan setelah lima tahun berselang, mereka kembali ke Jakarta.

Alya yang mendengar jawaban Naven langsung menatap sang bunda. Seolah sedang meminta afirmasi atas informasi yang baru saja ia dengar dari bocah yang asing di matanya itu. Namun, lagi-lagi Alya mendapati sebuah senyuman lebar di wajah bundanya.

Wanita itu memegang kedua lengan Alya. Membuat mereka saling bertatapan. “Alya mau jalan-jalan sama Naven, enggak?” tanyanya lembut.

Berkali-kali mata Alya melirik Naven yang terus bergerak aktif ke sana kemari, seolah sedang berusaha menarik perhatian Alya. Mulai dari menggoyang pinggul, berjalan seperti bebek, menirukan gaya orang berenang, dan masih banyak lagi. Semua itu Naven lakukan demi bisa membuat Alya mau bermain dengannya. Dan sepertinya usahanya sedikit membuahkan hasil.

Alya tampak sedikit tersenyum, kemudian mengangguk kecil.

Bunda Alya kemudian beralih kepada Naven. Ia melakukan hal yang sama pada bocah itu—menatapnya lekat-lekat. “Naven, Tante mau minta tolong. Boleh?”

Meskipun bingung, Naven tetap mengangguk. Ia terlalu penasaran atas apa yang akan bundanya Alya katakan.

“Tante nitip Alya. Jangan main jauh-jauh. Dan satu lagi. Pastiin Alya selalu ada di deket kamu. Bisa, Sayang?”

Naven langsung mengangguk dengan begitu mantap. “Sanggup, Tante. Tante tenang aja. Naven jagain Alya. Kan kata mama, Naven itu pangeran berkuda putihnya Alya,” ujarnya sambil tersenyum lebar.

Jawaban Naven membuat wanita itu tergelak. Ada-ada saja.

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang