23. LELAKI JAKET HITAM

4 2 0
                                    

Bau anyir darah, bau busuk, dan rasa pusing yang menyerang secara membabi buta ke seluruh indra, membuatku mencoba membuka mata dengan sisa tenaga yang ada. Berkali-kali aku harus mengerjapkan mata agar bisa melihat dengan jelas karena tempat itu sangat gelap. Jelas, aku ada di sebuah ruangan karena aku duduk di atas sebuah benda yang keras. Di sebelah kanan dan belakang ku pun terasa cukup keras.

Apa aku ada di pojok ruangan?

Detik demi detik berlalu. Aku terus mencoba mengumpulkan setiap cahaya yang masuk, menelisik retinaku. Saat merasa tenagaku sudah sedikit pulih, aku mencoba menggerakkan tubuh. Namun, di saat yang sama aku menyadari bahwa ada sesuatu yang menahanku. Perlahan, kutolehkan kepala ke arah tanganku yang entah kenapa, terasa ditarik kencang ke belakang.

Namun, seketika itu juga aku terdiam. Aku terikat. Dengan gugup, aku menoleh ke sekeliling dan secara spontan menyerukan satu nama. “Naven? Naven?”

Hanya nama itu yang selalu kuulang dengan nada yang semakin tinggi dalam setiap panggilannya. Hingga tiba-tiba, terasa sesuatu memukul kali kursiku dengan cukup keras. Membuat tubuhku sedikit terhuyung dan hampir terjatuh bersama kursi yang ku duduki.

“Ah!”

Segera aku menjaga keseimbangan sambil menoleh ke samping dan mendapati seorang lelaki berseragam SMA dengan wajah penuh lebam dan darah.

“Jangan berisik!” sentaknya pelan sambil menatapku dengan sedikit tajam.

Aku langsung mengerutkan kening. “Kenapa wajahmu lebam?” Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaran ku. Bahkan, aku lupa seperti apa posisiku saat itu.

“Bukan urusan lo.” Lelaki itu membuang muka, hingga aku tak lagi bisa melihat wajah penuh lebamnya. “Yang pasti,” lanjutnya, “Ini semua karena teman lo itu.”

Kerutan di keningku harusnya tampak makin jelas, kini. Aku benar-benar tak mengerti dan tak paham sama sekali atas apa yang ia katakan. Teman? Teman yang mana?

“Temanku?”

Lelaki itu mengangguk. “Naven.”

Kali ini aku benar-benar mematung. Bukankah Naven adalah orang yang aku panggil barusan? Tapi, apa hubungannya Naven dengan situasi kami saat ini?

“Naven? Naven?”

Aku mencoba kembali memanggil Naven. Berharap lelaki itu akan datang dan menolongku. Karena sejujurnya, aku sudah sangat ingin menangis, saat ini. Namun, lagi-lagi hanya sunyi yang kudapatkan dan lagi-lagi kaki kursiku ditendang. Kali ini, jauh lebih keras.

“Bisa diem? Lo mau kita celaka?” ucapnya cukup keras. Apa dia semarah itu?

“Tapi aku cuma—”

“Udah deh. Enggak usah usaha manggil orang yang enggak bakal bantuin lo. Itu percuma. Lagian kalau dia dateng, itu bukan buat nolongin lo,” potongnya. Ia berkata dengan begitu percaya diri.

“Enggak. Naven pasti bantu kita. Kamu percaya sama aku. Naven pasti dateng dan bantu—”

“Terserah lo deh. Toh, kalau gue bilang kalau Naven yang ngiket kita di sini, lo juga enggak bakal percaya,” potongnya lagi sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding berlumut di belakangnya.

“Enggak mung—”

Ucapanku seketika terhenti saat pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Membuat cahaya senja berkenalan masuk memenuhi ruangan. Seorang lelaki tampak berjalan dengan gagah, memasuki ruangan. Saat wajahnya mulai terlihat lebih jelas, saat itu juga rasanya aku ingin berjingkrak bahagia.

“Naven!” pekiku riang. Aku langsung menoleh ke arah lelaki yang terduduk lemah di sampingmu. Menatapnya dengan tatapan yang mengatakan bahwa apa yang kuperkirakan, benar terjadi. Namun, lelaki itu kembali membuang muka sambil menghela napas pendek yang terdengar begitu kasar.

Tampak Naven berdiri sambil memegangi lututnya. Napasnya tersengal, seperti baru saja berlari sepanjang hari. Baju seragamnya saja sudah diganti dengan sebuah jaket hitam. Ia tampak sedikit berbeda jika mengenakan jaket itu.

“Alya, kamu di sini ternyata,” ucapnya dengan napas tersengal. Ia berjalan masuk dengan perlahan.

“Naven, bantuin aku lepasin ini,” ucapku bersemangat sambil mencoba mengarahkan tanganku kepada Naven.

Naven berjalan pelan ke arahku. Namun, bukannya segera menolongku, Naven malah tertawa terbahak-bahak. Tawanya begitu keras dan menggelegar. Sepertinya, itu adalah tawa paling keras yang pernah aku dengar seumur hidup. Ya, seingatku.

Ia berhenti tepat di depan tubuhku dan menunduk. Membuatku bisa menatap wajahnya secara jelas. Terutama, bola matanya yang sama sekali tak menunjukkan karakter yang bersahabat. Aku seperti melihat kobaran api dalam bola matanya.

“Nolongin lo? Jangan ngimpi!” Naven mendorong keningku dengan cukup kuat. Membuatku terdiam untuk beberapa saat.

“Gue udah capek-capek bikin lo berdua ada di sini, terus gue lepasin gitu aja? Enak aja.”

“Nav—”

Naven meletakkan jari telunjuknya di bibirku. Membuatku berhenti bicara. Naven menggeleng, lalu mencengkeram daguku. “Sorry, Al. Tapi gue bukan Naven yang super baik hati yang lo kenal. But, by the way, makasih ya. Berkat ingatan lo yang suka ilang-ilangan itu, gue bisa jebak si berengsek itu sekarang, “ ucapnya sambil mengangkat dahulu. Kemudian ia menatap lelaki di sampingmu dengan penuh kebencian.

Naven melepas cengkeraman tangannya dari daguku, kemudian berjalan ke arah jendela berukuran kecil, bertingkat besi-besi berkarat. Ia menatap ke luar ruangan. “Udah lama banget gue berusaha biar ada di titik ini. Gue enggak pernah berhasil buat narik lo keluar. Tapi emang gue yang bego sih. Gue enggak sadar, kalo umpan besar gue ada di depan mata. Selalu ada di samping gue. Kalau gue sadar lebih cepet, mungkin gue enggak harus nunggu sampe bertahun-tahun. Jadi ….”

Naven membalikkan badan. Menatapku dengan intens dan tatapan yang dalam. Tiba-tiba sebuah senyum mengerikan itu muncul dari wajah Naven begitu saja. “Makasih udah bantuin gue, Al.”

Aku hanya bisa terdiam untuk beberapa saat. Mencoba mencerna apa yang sebernanya terjadi di sini.

“Maksud kamu apa?” Isi kepalaku sudah benar-benar tak bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Mau coba mengingat berkali-kali pun, yang kudapatkan hanya rasa sakit di kepalaku.

“Gue salah apa sama lo?” Lelaki di sebelehku mulai berteriak. “Gue enggak pernah ngusik kehidupan lo. Sekarang lepasin gue, Berengsek!”

Lagi-lagi, Naven tertawa dengan begitu lepas dan keras. Setiap sudut seolah menggemakan suara tawanya yang terdengar begitu mengerikan di telingaku. Seolah, jika aku mendengar tawa itu terus-menerus, aku bisa saja mati detik itu juga.

Naven bertepuk tangan sambil berjalan mendekati lelaki di sampingku. “Liam … Liam. Lo udah sampe bonyok gitu masih berani ngomong? Emang ya. Bakat penghancur enggak akan bisa hilang gitu aja. Ternyata lo sama kayak mereka. Dan itu bikin gue makin benci sama lo.”

Tiba-tiba saja, Naven menjambak keras rambut Liam. Membuat lelaki itu meringis dan membuatku berhasil melihat luka-luka di wajahnya. Termasuk beberapa bekas darah yang tampaknya belum kering dengan sempurna.

“Inget, ya. Jangan berani-berani panggil gue kayak tadi atau lebam lo bakal makin banyak. Gue enggak suka dipanggil berengsek sama berengsek yang sesungguhnya.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Naven menghempas kepala Liam begitu saja dengan cukup keras hingga membentur tembok. Membuat lelaki itu meringis.

Kini, bola mataku tak lagi bisa lepas dari pergerakan Naven. Seolah, tubuhku kini sedang berwaspada.

“Naven, apa maksud semua ini?”

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang