17. TEROR

5 2 0
                                    

Malam ini rumahku lebih sepi dari biasanya. Hanya ada aku dan seorang asisten rumah tangga. Kedua orang tuaku sedang menghadiri sebuah pesta bisnis atas perintah atasannya. Kata bunda, mereka sudah menitipkanku pada keluarga Naven. Jadi kalau aku butuh apa-apa, aku cukup datang ke sana. Tadinya malah mereka mau meminta Naven menungguiku di rumah. Namun, kupikir itu terlalu berlebihan.

Menghabiskan waktu sambil berharap mataku segera memberat, aku mencoba untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah yang waktu pengumpulannya masih cukup lama. Berharap dengan itu aku bisa segera menjemput kantuk dan bisa bertemu ranjang nyamanku.

Namun, kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya. Aku malah tak menemukan rasa kantuk. Berbagai cara kucoba. Mulai dari minum susu hangat, sampai membaca salah satu buku bacaan ayah yang paling membosankan. Namun, semua itu tak berhasil membuat kelopak mataku terkatup. Justru malah membuatnya makin terbuka lebar, terjaga.

Kini aku duduk di ruang keluarga seorang diri. Berniat menyalakan televisi demi memecah keheningan karena asisten rumah tanggaku sudah berada di kamarnya. Aku pun segan kalau harus mengganggu istirahatnya, setelah ia bekerja seharian.

Namun, baru saja aku hendak menekan tombol on pada remote televisi, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu beberapa kali. Membuatku langsung menoleh ke arah pintu depan.

Itu tidak mungkin ayah dan bunda karena beberapa hal. Pertama, tak ada deru mesin mobil. Sedangkan mereka pergi dengan mobil pribadi, bukannya taksi atau semacamnya. Kedua, ayah dan bunda pasti akan langsung masuk ke rumah alih-alih mengetuk pintu. Karena walaupun sudah aku kunci, mereka masih punya cadangannya. Dan terakhir, setelah bepergian dengan mengendarai mobil, kami sangat jarang masuk ke rumah melalui pintu depan. Lebih sering lewat pintu garasi.

Tiga fakta itu membuatku langsung menelan ludah. Jika itu bukan bunda dan ayah, lalu siapa?

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Kini lebih kuat, nyaring, dan temponya lebih cepat.

Dengan penuh rasa penasaran dan kewaspadaan, aku pun bangkit dan berjalan menuju pintu depan. Aku bahkan berjalan mengendap layaknya seorang pencuri yang hendak keluar dari rumah targetnya.

Saat sampai di depan pintu, aku sempat mencoba mengintip ke luar dari jendela. Namun, aku tak menemukan siapa pun di luar sana. Meski begitu, akhirnya dengan gerakan perlahan, aku tetap membuka pintu rumah yang kebetulan belum sempat dikunci itu.

Tak ada siapa pun. Lengang. Namun, sorot mataku langsung menuju ke bawah kakiku. Di sana tampak sebuah kotak kardus berukuran sedang, tergeletak bersama sebuah kertas di atasnya.

Aku langsung berjongkok demi bisa melihat kotak dan kertas itu lebih dekat. Kuambil surat itu dan membacanya lamat-lamat.

Sudah kubilang, 'kan? Cukup ikuti alurnya. Tak perlu membuat masalah lagi. Sekarang, harusnya kamu sadar. Kamu sedang dalam bahaya. Tapi, terlepas dari itu semua, aku ingin mengucapkan terima kasih.

Terima kasih karena secara suka rela mau menggantikan posisiku.

Terima kasih karena membuatku tak terlibat dalam kejahatanku sendiri.

Terima kasih.

Karena kamu sudah sangat baik padaku, maka dari itu kukirimkan sebuah kado untukmu. Tolong jangan dilihat dari harganya. Lihatlah ini sebagai perwujudan rasa terima kasihku.

Seketika mataku melirik kotak yang masih belum kusentuh itu. Jujur, sedari tadi, aku mencium bau tak sedap di sekitarku. Hanya saja, aku tak ingin berpikir yang macam-macam.

Perlahan, setelah meletakkan surat tadi di lantai, aku mencoba membuka kotak berwarna cokelat gelap itu—atau mungkin hitam? Entahlah.

Namun, saat kotak itu terbuka dan aku bisa melihat isinya, seketika jantungku berdegup kencang.

“Aaahh!”

Aku langsung menutup mata dan secara refleks berusaha menjauhkan kotak itu dariku. Hingga tiba-tiba terasa tubuhku dipegangi seseorang.

“Hei hei. Alya. Kamu kenapa?”

Perlahan, aku mencoba membuka mata. Dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok Naven yang kini setengah memeluk tubuhku. Kemudian mataku menatap sekitar. Ada Kak Yohan yang menatapku heran bercampur khawatir, juga ada Mbak Nia—asisten rumah tanggaku—yang tampak begitu panik.

Aku pun akhirnya mencoba menormalkan deru napas yang tadinya begitu sembarangan. Kemudian setelah aku sedikit lebih tenang, Naven kembali bertanya. “Ada apa, Al?”

“Iya. Ada apa sih sampe kamu teriak kenceng banget gitu? Teriakanmu tuh kedengeran sampe rumah kita, Al,” tutur Kak Yohan tak kalah heran.

Jika teriakanku terdengar sampai ke rumah mereka, jelas teriakanku sangatlah keras. Makanya tak aneh jika Mbak Nia tampak sangat panik saat ini.
P
Aku pun menunjuk kotak yang berhasil kujauhkan walau hanya beberapa senti. “Kotak itu,” balasku pelan.

Karena paling dekat, Kak Yohan bergerak mengambil kotak itu. Namun, ia segera menjepit hidung dengan jarinya ketika berada tepat di depan kotak itu. “Ini kotak apaan? Bau banget!”

Aku hanya bisa menggeleng.

“Gila. Ini sih bangkai tikus,” tutur Kak Yohan dengan tetap menjepit hidungnya.

Naven langsung menoleh menatapku. “Siapa yang ngirim?”

Lagi-lagi, hanya gelengan yang kuberikan. Aku hanya menyambung gelengan itu dengan menunjuk kertas yang tergeletak di samping kaki Naven.

“Mbak Nia, tolong jagain Alya sebentar,” ucapnya. Terasa ada pergantian tangan yang menyentuhku, tak lama setelahnya. Itu artinya, sekarang Mbak Nia lah yang memegangiku dari belakang.

Tampak Naven dengan serius membaca seriap baris kalimat dalam surat tersebut. Kak Yohan pun ikut membaca dari belakang tubuh Naven. Tak lama, mereka menoleh padaku.

“Kamu diteror?” tanya mereka bersamaan. Namun, aku hanya terdiam. Aku tak ingat ada teror lain selain ini.

“Aku—”

“Anu ... Den Naven. Sebenernya waktu itu juga sempet ada yang ngelempar jendela pake batu sama cairan merah gitu,” potong Mbak Nia tiba-tiba. Membuatku mengerutkan alis.

Apa iya?

Aku ingat, sempat berkumpul di ruang depan. Namun, aku lupa apa yang terjadi. Bahkan kupikir, apa yang aku ingat itu hanya sebuah mimpi. Tapi jika Mbak Nia mengatakan itu, apakah sebenarnya yang aku pikir mimpi tadi adalah sebuah kenyataan?

“Jadi bukan cuma kali ini, Mbak?” tanya Kak Yohan dengan raut wajah terkejutnya. Berbeda dengan Naven yang hanya terus-terusan menatap surat itu dengan tatapan bertanya. Dari ekor mataku, aku bisa melihat Mbak Nia mengangguk.

“Yaudah. Yang penting sekarang kamu enggak apa-apa. Nanti aku buang bangkainya. Dan malem ini, aku akan temenin kamu di rumah sampai ayah dan bundamu pulang. Oke?” ujar Naven sambil beranjak bangkit dari posisi jongkoknya.

“Mbak Nia, minta tolong ajak Alya masuk dulu, ya. Ini biar aku sama Kak Yohan yang urus,” lanjut Naven setelah mengusap puncak kepalaku. Seolah sedang memberitahuku bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku pun akhirnya dibawa masuk oleh Mbak Nia. Namun, di sela-sela langahku, aku masih sempat mendengar perdebatan kecil kakak-beradik yang masih berdiri di depan rumahku itu.

“Kak, minta tolong buangin, ya.”

“Ogah. Lo aja. Lo yang punya ide. Gue mau masuk aja. Dingin.”

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang