6. SURAT TAK BERTUAN

6 3 0
                                    

Pagi ini, sekolah tampak sedikit berbeda. Naven bilang, sekolah tampak jauh lebih ramai dari biasanya. Semua itu terjadi karena peristiwa semalam, di mana Liam tiba-tiba terkapar dengan mengeluarkan darah yang cukup banyak dari mulutnya. Aku tidak heran jika semua orang akan menjadikan itu topik bahasan utama mereka. Karena aku pun sama penasarannya dengan mereka. Namun, di sisi lain aku juga tak mau ambil pusing.

Aku memasuki ruang kelas, bersamaan dengan Naven yang seketika itu juga dihadang banyak siswa lain. Berbagai pertanyaan meluncur dari mereka. Bukan padaku, tentu saja.

“Ven, serius lo liat dari deket?”

“Itu si Liam keracunan apa gimana dah?”

“Lo ditanyain apa aja sama polisi?”

Dan masih banyak lagi yang lain. Jujur, aku heran. Kenapa mereka sepenasaran itu? Padahal kata mereka, melihat Liam memuntahkan darah saja sudah cukup mengerikan.

Aku melihat Naven tersenyum menanggapi berbagai pertanyaan dari para wartawan dadakan itu. Aku yakin. Jawaban yang akan mereka dapat, nantinya akan jadi bahan obrolan di tongkrongan ataupun geng mereka masing-masing.

Kurasakan genggaman tangan Naven mengendur. Membuatku segera menatap ke arah tautan tangan kami, kemudian kembali beralih menatap Naven. Di depanku, Naven tersenyum lembut. Ia kemudian berkata dengan cukup pelan. “Kamu duduk dulu aja. Nanti aku nyusul.”

Aku pun hanya bisa mengangguk, menanggapi ucapannya. Aku melangkah mendekati mejaku, di mana di belakangnya, Rifa duduk sambil terus memandangiku lekat. Risi, sebenarnya. Namun, aku juga tak sedekat itu untuk berani menegur tingkah Rifa.

Setelah duduk dengan nyaman di kursiku, aku mulai mengeluarkan beberapa buku dari tasku dan memasukkannya ke dalam laci meja. Ini kulakukan agar aku tak perlu repot mengambil buku di tas ketika nanti pelajaran berganti. Aku juga tak perlu ribet-ribet menyimpan bukuku dulu di tas selama jam sekolah.

Namun, saat aku mulai memasukkan buku ke dalam laci, kurasakan ada sesuatu di dalam sana. Segera aku menarik benda itu keluar.

Sebuah kertas lusuh. Lembarannya sudah kusut, bahkan warnanya sudah tidak putih lagi. Tampak ada bermacam noda di sana, tapi yang mendominasi adalah warna cokelat. Aku pun mendapati buliran tanah di beberapa sudut kertas itu. Dan itu membuatku bertanya-tanya.

Kertas siapa ini?

Sepertinya aku tidak mungkin menyimpan kertas seperti ini.

Lalu, jika bukan aku, siapa?

Seketika aku melirik Naven. Namun, dari yang aku tahu, Naven adalah manusia yang paling anti dengan hal-hal kotor. Ia selalu menjaga kebersihan di sekitarnya. Kurasa, sangat tidak mungkin jika Naven yang memiliknya.

Aku pun membuka lipatan kertas itu. Di sana, terdapat sebuah tulisan. Tampak cukup samar, tapi masih bisa terbaca olehku.


‘Halo. Maukah kau berteman denganku? Aku benar-benar sendirian. Dan kupikir, kamu adalah orang yang cocok untuk kujadikan teman.’


Aku terdiam. Semakin penasaran. Siapa sebenarnya orang yang menulis dan meletakkan kertas ini di laciku.

Namun, aku seketika terkesiap saat bahuku tiba-tiba ditepuk dengan cukup keras. Aku segera menoleh ke belakang. Tempat di mana Rifa berada.

“Aku yakin, ada yang dendam sama Liam.”

Keningku seketika berkerut saat Rifa mengatakan hal itu padaku dengan nada bicaranya yang dingin.

Apa maksudnya?


****


Saat jam istirahat, aku dan Naven beranjak menuju kantin. Aku pergi mencari tempat duduk, sementara Naven memesankan makanan untuk kami. Aku pun memilih sebuah meja yang berada di pinggir kantin dan hampir berlekatan dengan tembok.

Sembari menunggu kedatangan Naven, aku kembali mengingat isi surat yang tadi pagi kutemukan. Berusaha mencoba mencari simpul yang mungkin saja kutemukan. Namun, yang terjadi justru kini otakku yang bersimpul-simpul.

Hingga tak lama kemudian, mataku menangkap langkah Naven yang mendekat. Aku pun melambai ke arahnya. Memberinya tanda bahwa aku ada di sini. Walaupun aku sendiri cukup yakin jika sejak ia melangkah pun, ia sudah tahu di mana aku berada

“Nih, pesenan kamu,” ucapnya sambil meletakkan semangkuk soto dan segelas es teh padaku. Lalu meletakkan semangkuk bakso dan segelas lemon tea.

“Cobain deh. Masih kemanisan kayak kemarin apa enggak?” tanyanya sambil menunjuk gelasku dengan dagunya.

Aku pun langsung mengisap beberapa teguk es teh dan mencecapnya pelan. Kemudian menggeleng. Naven langsung mengembuskan napas lega.

“Syukur deh kalau gitu. Makan gih. Mumpung masih anget.”

Aku hanya bisa mengangguk. Sejujurnya, aku sendiri lupa dengan rasa es teh yang kemarin kuminum di sini. Aku ingat, aku memang meminumnya. Namun, aku tak ingat seberapa manis es teh itu sampai Naven bilang kemanisan.

“Aku ke kamar mandi dulu, ya,” pamit Naven kemudian sambil setengah berlari. Membuatku terkekeh. Apa dia sudah menahannya dari tadi?

Tak sampai sepuluh menit kemudian, Naven sudah duduk kembali di seberangku. Ia pun mulai menyendok bakso dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

“Oh iya,” ujar Naven di tengah acara makannya.

Aku segera mengangkat kepala sembari mengunyah soto yang baru saja aku suap. Kutatap Naven dengan alis terangkat, mencirikan bahwa aku sedang ingin tahu.

“Kamu enggak takut gara-gara kejadian kemarin malem?” tanya Naven.

Keningku berkerut sejenak. Mencoba mencerna apa yang sedang Naven bicarakan.

“Oh, soal yang di pesta itu?” tanyaku memastikan dan Naven mengangguk. Aku langsung mengedikkan bahu.

Tampak Naven mengerutkan kening, menatapku. “Enggak ngeri, gitu?”

Lagi, aku mengangkat bahu. “Emang semengerikan itu, ya?”

Kini Naven benar-benar menatapku dalam. “Kamu serius? Padahal waktu itu ricuh banget di sana,” ujar Naven.

Aku terdiam sejenak. Mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Ya, aku mengingatnya. Aku ingat sedang menikmati buah berlumur cokelat dari fountain yang tersedia di sana. Lalu kemudian ada yang berlarian dan kulihat Liam mulai muntah darah. Aku ... tak ingat dengan suasana di sana. Lebih tepatnya, apa yang aku rasakan di sana. Bahkan mungkin jika Naven tak menyinggungnya hari ini, aku bisa menganggap kejadian malam tadi hanya mimpi.

“Ya ... gitu lah.” Aku hanya bisa menjawab seadanya. Lagi pula, aku yakin orang lain juga sedang bersandiwara hari ini.

Maksudku, ketakutan-ketakutan yang mereka ceritakan itu. Itu pasti hanya imajinasi mereka. Agar terdengar lebih menegangkan dan mengerikan, mereka mendramatisi semuanya.

Naven hanya terdiam setelah mendengar jawabanku. Membuatku akhirnya memilih untuk kembali menyantap makananku hingga tandas di bawah pandangan Naven yang entah kenapa hari ini terasa berbeda padaku.

Setelah selesai makan dan Naven membayar makanan, kami pun kembali ke kelas. Namun, aku seketika bertanya-tanya saat ada cukup banyak siswa yang berkerumun di depan kelas kami. Setelah dengan segala perjuangan, akhirnya aku dan Naven berhasil menembus kerumunan itu dan memasuki kelas.

Namun, ketika berada di dalam kelas, seketika tubuhku membatu. Aku melihat meja yang kutempati bersama Naven berantakan. Terdapat beberapa potongan kertas. Dan yang paling banyak ada di sana adalah tanah.

Aku segera menatap Naven dan kudapati ia tengah menatap galak ke arah meja kami. Ia kemudian berbalik cepat, menatap orang-orang yang berdiri di belakang kami dengan keingintahuannya.

“Siapa yang berani ngotorin meja gue?”

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang