11. AJAKAN PERTEMUAN KEDUA

9 2 0
                                    

Sepanjang perjalanan, sejak turun dari motor hingga saat ini, entah sudah berapa pasang mata yang menatap kami lekat-mungkin lebih tepatnya, menatapku lekat. Bukan hanya menatap, mereka juga saling bisik. Entah tentang apa. Namun, aku sedikit merasa terganggu dengan hal itu. Bahkan tatapan-tatapan tajam dan seperti menelisik itu terus membuntutiku hingga ke kelas.



Kupikir, aku pasti aman dan baik-baik saja di kelas. Namun, ternyata aku salah. Aku malah lebih tak nyaman di ruangan mungil itu. Aku hanya bisa terdiam sambil melangkah masuk bersama Naven.



Kulihat dari kejauhan, kali ini mejaku bersih. Tak ada surat atau benda-benda aneh lain.



Setelah aku duduk, Naven meletakkan tasnya di sampingku, kemudian menatapku cukup lama. "Alya, aku pergi dulu bentar. Ada urusan," ucapnya tiba-tiba yang tentu saja membuatku tercengang.



Di tengah suasana kelas dan situasi seperti ini, dia malah mau meninggalkanku?



"Tapi-"



"Cuma sebentar kok," potong Naven cepat. Ia mengusap puncak kepalaku sebelum akhirnya pergi meninggalkanku.



Aku pun hanya bisa menatapinya yang semakin kecil dan makin menjauh dari pandanganku. Membuatku seketika merasa terasing di tempat yang baru saja mulai membuatku merasa nyaman.



Saat sosok Naven tak bisa ditangkap oleh penglihatanku, saat itu pula aku merasa ditikam beribu pisau dan anak panah dingin. Ketika kucoba mengedar pandangan ke sekitar, kutemukan teman-teman sekelasku sedang menatapku tajam. Beberapa dari mereka membentuk kumpulan, menatapku, sambil saling bisik.



"Ugh, yang bener aja. Masa gue harus sekelas sama pembunuh?" celetuk seseorang yang berada di pojok ruangan.



Namanya Misya. Gadis populer yang kebetulan berada di kelasku juga. Teman-teman sekelasku sering menjulukinya tukang mengeluh saking seringnya mengeluhkan ini dan itu. Dan kali ini, ia mengeluh karena satu kelas dengan pembunuh? Siapa yang pembunuh?



"Heh!"



Seketika aku tersentak. Kukerjapkan mataku berulang kali hingga tersadar, sosok yang sedari tadi kuperhatikan telah berdiri di depanku. Ia berdiri dan menatapku tajam.



"Ada ap-"



"Enggak usah sok ramah, apalagi sok baik sama gue. Lagian, gue heran. Kenapa Naven masih mau temenan sama pembunuh kayak lo," potongnya yang membuatku seketika mengernyit.



Aku?



Pembunuh?



Ada apa ini?



"Maaf. Tapi maksudnya apa, ya?" tanyaku heran.



Misya mendengus keras. Tatapannya semakin tajam mengarah padaku. "Udah deh. Ngaku aja. Lo yang ngedorong Liam, 'kan?"



Pertanyaan Misya seketika membuatku ternganga. Apa-apaan ini? Tuduhan?



"Aku?" tegasku sambil menunjuk diriku sendiri.



Saat ini, aku bahkan bisa mendengar bisik-bisik di sekitarku makin intens. Pandangan teman-teman sekelas makin lekat padaku.



Misya mengangguk. "Iya. Lo. Asal lo tau, ya. Gue masih mending mohon-mohon ke guru biar bisa pindah kelas daripada sekelas sama pembu-"



"Jaga mulut lo, Sya!"



Mendengar suara itu, aku segera menoleh dan mendapati Naven sedang berjalan menujuku. Saat suaranya terdengar, semua orang seolah terdiam. Aku bahkan tak lagi mendengar bisik-bisik di sekitarku.

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang