9. TERSANGKA

4 2 0
                                    

Aku terdiam saat tiba-tiba Naven menarikku dengan kuat. Membuatku menubruk tubuhnya dengan cukup kuat. Terasa lengan besarnya memeluk tubuhku. Mengusap kepalaku, sembari menarikku menjauh dari tepi rooftop.



Sementara itu, tiga orang yang datang setelah Naven, berusaha menarik Liam yang masih berjuang keras menggantungkan hidup di kedua tangannya. Mungkin jika itu aku, aku akan memilih untuk pasrah dan menyerah. Lalu aku akan bertemu Tuhan.



Butuh waktu sekitar sepuluh menit sampai akhirnya Liam berhasil diangkat dan kembali berada di area rooftop. Ia didudukkan di lantai semen. Tampak wajahnya begitu pucat, seolah tak ada setitik darah pun yang mengalir dalam tubuhnya.



Dadanya tampak naik turun dengan begitu cepat. Seolah ia baru saja dikejar-kejar oleh pemangsa paling buas di dunia. Badannya pun gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki.



"Liam, lo enggak apa-apa?" tanya salah satu temannya. Pipi Liam bahkan sampai ditepuk-tepuk pelan, demi memastikan bahwa lelaki itu masih hidup.



Setelah menunggu beberapa menit dan Liam tampak agak jauh lebih baik, mereka membantu memapah Liam menjauh dari tepian sekaligus keluar dari area rooftop. Begitu pun aku. Dengan masih dirangkul Naven, aku melangkah keluar dari area rooftop.



Kami melewati satu persatu anak tangga, melewati tiap lantai hingga sampai di lantai terbawah. Kemudian mereka membawa Liam menuju UKS yang berada tak jauh dari ruang guru. Aku pun dibawa ke sana oleh Naven. Padahal kupikir, itu sangat tidak perlu.



"Naven, kita pulang aja," ajakku, berusaha menolak langkah Naven yang membawaku makin mendekati UKS.



Namun, Naven menggeleng. Tanpa menatapku, ia membalas ucapanku. "Kamu harus dicek dulu. Aku harus pastiin kamu baik-baik aja."



Mendengar jawabannya seketika membuatku berdecak. Naven kini malah terdengar seperti orang tua yang terlalu protektif terhadap anaknya. Ya, biasanya dia memang protektif. Tapi yang seperti ini ... sepertinya baru kali ini.



Kami pun memasuki ruangan UKS. Oleh teman-temannya, Liam dibaringkan di brankar. Beberapa petugas kesehatan segera mengambil alih untuk mengecek kondisi Liam yang kulihat masih gemetar dan berwajah pucat.



Sementara itu, aku duduk di salah satu kursi yang berada tak begitu jauh dari brankar Liam. Tak lama, aku didekati seorang petugas kesehatan yang kemudian duduk di sampingku.



"Ada yang dikeluhkan?" tanyanya yang membuatku langsung menggeleng. Karena nyatanya, aku memang tak merasakan apa pun yang mengganggu saat ini. "Izin cek dulu, ya," lanjutnya sambil memasang stetoskop yang ia bawa sedari tadi. Aku hanya mengangguk. "Permisi."



Aku hanya berusaha bernapas senormal mungkin sampai petugas kesehatan tersebut selesai memeriksa kondisiku dan menyatakan bahwa aku baik-baik saja. Ingin sekali aku bersuara keras, mengatakan bahwa sejak tadi aku memang baik-baik saja. Tapi ... ah, sudahlah.



Aku pun menoleh ke arah Liam yang masih berusaha ditenangkan oleh teman-temannya. Tampaknya, lelaki itu benar-benar terguncang.



"Kenapa lo bisa sampai gelantungan di sana, hah? Gue pikir lo cuma mau ke rooftop doang. Mau nyoba bunuh diri?" tanya salah satu temannya yang langsung membuat teman Liam yang lain menepuk bahunya keras.



"Yang bener kalo ngomong," tukas lelaki berjambul itu. "Am, lo lagi ngapain sih di sana?"



Dari tempatku duduk, aku bisa melihat Liam sedang berusaha mengatur napasnya. Kemudian mencoba menjelaskan dengan sisa kekuatan yang ia miliki.



"Gue diundang seseorang ke rooftop. Enggak tau siapa. Tapi pas nyampe sana, gue enggak nemu siapa-siapa. Yang ada, gue didorong sama seseorang. Untung aja gue masih kuat pegangan. Kalau enggak, gue enggak tau gimana nasib hidup gue sekarang," jelas Liam panjang lebar dengan sedikit terbata-bata.



Namun, sebuah gestur aneh seketika kutemukan. Setelah ucapan Liam selesai, teman-temannya seketika menengok, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Seperti tatapan tajam dan mengintimidasi, tapi juga tatapan seperti seseorang yang ingin menghabisi seseorang yang berdiri di depannya saat itu juga.



Salah satu dari mereka bangkit dan mendekatiku. Membuat mataku seketika tak lepas dari pergerakannya, hingga akhirnya ia berhenti satu meter di depan kursiku. Jari telunjuknya langsung menunjukku dengan tegas.



"Lo tadi di rooftop, 'kan?" tanyanya langsung. Membuatku langsung mengangguk.



"Ngapain lo di sana?"



Sejenak, keningku berkerut. Untuk apa dia menanyakan hal seperti itu?



"Woy, jawab!" gertaknya keras.



Namun, belum sempat aku menjawab, Naven sudah menutupi tubuhku dengan tubuhnya. "Kalau mau tanya-tanya, yang sopan. Bisa. Ini lo nanya sama cewek. Kalau lo nanya sama gue sih, silakan. Mau pake adu jotos pun gue jabanin," ujar Naven yang kini seolah menjadi tameng bagiku.



Lelaki itu terdengar mendengus keras. "Oke. Tapi lo minggir."



"Awas kalau sampai Alya kenapa-kenapa gara-gara lo," balas Naven yang terdengar begitu sengit. Membuatku sedikit menyesal dalam hati. Kenapa juga harus sampai seperti ini?



"Iya iya. Gue ngerti. Udah sana. Minggir," usir lelaki itu lagi.



Kali ini Naven patuh. Ia tak lagi menutupi tubuhku. Membuatku bisa melihat sosok teman Liam itu dan menatapnya yang mencerminkan begitu banyak pertanyaan dalam benaknya.



"Lo ngapain di rooftop?" tanyanya lagi.



Aku menoleh pada Naven. Meminta persetujuannya dan Naven mengangguk. Itu artinya aku harus menjawab pertanyaan itu. Tapi, aku tak harus jujur 100%, bukan?



"Niatnya cuma mau main sambil nunggu Naven selesai sama urusannya. Soalnya aku udah bilang sama Naven. Kalau dia selesai dan aku enggak ada di kelas, berarti aku ada di rooftop. Terus, karena aku bosen di kelas sendirian, jadinya aku ke rooftop," jelasku.



Teman Liam itu terdiam cukup lama. Mungkin dirinya sedang menimbang-nimbang jawabanku. Namun, kemudian tatapan gaharnya kembali muncul.



"Kenapa lo dorong Liam? Setau gue, lo sama Liam kan enggak saling kenal," tanyanya tiba-tiba yang membuatku langsung terbelalak.



Aku bahkan merasakan tubuh Naven yang ada di sampingku ingin bergerak maju. Namun, segera kutahan dengan tanganku.



Aku langsung bangkit dari dudukku. Kutatap tajam teman Liam itu. "Maaf. Jangan asal tuduh, ya. Jangan mentang-mentang aku ada di TKP, aku langsung jadi tersangka," protesku keras.



Dadaku berdegup kencang. Menyakitkan rasanya dituduh melakukan sesuatu yang tak pernah aku lakukan. Aku bahkan tak tahu apa pun. Tapi di sini aku malah dituduh sebagai pelaku aksi kriminalitas yang baru saja terjadi. Gila.



"Lho, nuduh gimana? Liam gelantungan di tepi rooftop dan cuma ada lo di sana. Liam bilang, dia didorong. Siapa lagi yang bisa dorong Liam di rooftop selain lo? Rooftop itu tempat sempit. Lo hampir bisa liat keseluruhan rooftop dari pintu," balasnya yang membuat darahku terasa makin mendidih.



Tidak. Aku tidak bisa dijatuhkan. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyalahkanku. Karena aku yakin, bukan aku pelakunya.



"Aku liat ada yang dorong Liam!" pekikku yang seketika membuat semua orang terdiam.

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang