12. TRAGEDI DI GUDANG

7 2 0
                                    

Melewati dan lepas dari penjagaan serta pengawasan Naven bukanlah hal mudah. Aku harus merancang bermacam alasan agar dia yakin padaku. Ya, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan.



Kali ini, aku sudah membulatkan tekad. Aku ingin menemui si pengirim surat misterius itu di gudang belakang nanti. Maka dari itu, sedari tadi aku berusaha merancang alasan yang cukup kuat. Sehingga nantinya, ketika sudah waktunya, aku bisa beradu argumen dengan lelaki itu sampai dia mengizinkanku pergi sendiri. Aku tak mau melibatkan Naven kali ini. Aku ingin mencoba menghadapi masalahku sendiri.



Namun, sepertinya semesta memang sedang berpihak padaku. Bukan aku, justru malah Naven yang mengatakan bahwa ia ada urusan penting yang tak biasa ditinggal. Tentu saja aku mengiyakan dan membiarkannya pergi.



Awalnya, Naven seperti tampak kebingungan. Mungkin karena biasanya aku tak mau ditinggal sendirian olehnya dan kini malah terima-terima saja. Namun, sepertinya kepentingannya itu begitu mendesak sampai ia tak menanyakan apa pun lebih jauh padaku. Dan itu membuatku mendesah lega.



Seperti biasa, aku menunggu beberapa saat sebelum akhirnya berjalan keliar kelas. Kelasku berjarak cukup jauh dengan gudang kosong itu. Mungkin jika dibilang kosong, kurang tepat. Karena nyatanya masih ada banyak barang di sana. Hanya saja, bangunan gudang itu terbengkalai. Tak ada lagi yang merawatnya sejak ada bangunan gudang yang dibuat menempel dengan bangunan sekolah. Begitu cerita beberapa orang di sini.



Selama berjalan, aku mencoba menganggap bahwa di sekelilingku tak ada siapa-siapa. Mereka yang berdiri di luar kelas hanyalah tembok-tembok dan pilar-pilar yang tak perlu aku acuhkan keberadaannya.



Di ujung koridor, aku berbelok ke kanan. Pilihan jalan yang jarang dipilih oleh orang lain. Sangat tampak dari penampakan jalannya. Sudah dipenuhi berbagai tanaman tambat, juga beberapa akar dari pepohonan di sekitar. Rasanya aku seperti masuk hutan.



Tak lama, tampak sebuah bangunan kecil di area sudut bangunan sekolah. Pintunya tampak sudah cukup lapuk. Bukan hanya pintu, kurasa. Bangunannya pun sama lapuknya. Bahkan sepertinya jika ada gempa yang cukup besar, bangunan itu bisa runtuh seketika.



Aku pun mendekat menuju pintu gudang. Melangkah perlahan sambil mencari pijakan yang tepat. Aku tak ingin menginjak duri atau semacamnya. Tak ada yang bisa menjamin keselamatanku di sini.



Kulihat sekeliling. Tak ada siapa pun di sini. Apa dia ada di dalam?



Namun, belum juga aku membuka pintu gudang itu, aku mendengar suara dari dalam gudang. Segera aku mendekatkan tubuh ke pintu. Berusaha mendengarkan percakapan yang terjadi di dalam sana.



"Gue heran. Kenapa bunuh lo sesusah ini? Padahal kemaren, dikit lagi, gue bakal baca berita kematian lo dan gue menang. Tapi si Alya itu ngerusak semuanya."



Aku seketika tertegun saat namaku disebut. Kenapa namaku dibawa-bawa?



"Tapi tenang aja. Hari ini, gue enggak akan biarin lo lolos. Gue pastiin lo-"



Aku seketika mengumpat pelan saat tanpa sengaja menginjak sebuah kayu rapuh yang ada di atas serasah daun kering. Membuatnya terdengar berisik sekaligus memberi tanda kepada orang di dalam sana bahwa ada yang mendengar ucapannya di luar.



Seketika suasana berubah sepi. Tak ada suara terdengar dari dalam. Membuatku akhirnya mau tak mau berusaha membuka pintu gudang itu. Sudah telanjur basah. Aku juga tak mungkin berbalik dan mencari bantuan. Terlalu lama dan aku tak yakin ada yang mau membantuku.



Sekuat tenaga, aku mencoba membuka pintu gudang. Meskipun tampak rapuh, aku tetap kesulitan membukanya.



Setelah berusaha selama beberapa menit, pintu itu akhirnya berhasil kubuka. Aku menemukan seseorang duduk di sebuah kursi kayu, dengan tangan terikat di belakang kursi. Sementara itu, ada seseorang yang hanya bisa kulihat punggungnya berada di pintu lain gudang.



"Hei! Jangan kabur!" teriakku saat sosok itu mulai berlari meninggalkan gudang melewati pintu belakang gudang. Namun, teriakanku tak digubris. Ia terus berlari dengan cepat hingga menghilang dari pandangan. Aku pun tak sempat mengejarnya.



Namun, segera aku lupakan itu. Aku menoleh ke arah seseorang yang terduduk dengan tangan terikat itu. Kepalanya ditutup kain hitam. Membuatku tak tahu siapa dia. Dengan segera, aku membuka kain yang menutup kepalanya itu dan langsung terbelalak.



"Liam?" tanyaku seketika.



Sosok itu benar-benar Liam. Orang yang sama yang waktu itu kutemukan di rooftop. Orang yang sama yang dibilang menjadi sasaran pembunuhanku.



Liam membuka mata. Namun, seketika wajahnya memerah seperti menahan amarah.



"Lo-"



"Astaga. Kamu punya berapa musuh sih? Biar aku bantu lepasin talinya," potongku cepat. Basa-basi seperti itu sedang tak kubutuhkan saat ini.



Namun, Liam terus bergerak dengan begitu kasar. "Lepasin gue! Gue belom mau mati! Lo pikir gue takut sama lo, hah?" ucapnya yang membuatku seketika menghentikan usahaku melepaskan tali yang mengikat tangannya dengan begitu kuat.



Aku langsung memandangnya dengan tatapan bingung dari belakang tubuhnya. "Maksud kamu apa? Aku mau bantu ka-"



"Lo yang waktu itu mau bunuh gue, 'kan? Dan sekarang juga. Iya, 'kan? Cuma karena ketauan sama gue, lo jadi sok baik."



Kernyitanku makin menjadi saat mendengar ucapan Liam yang terdengar sangat tak masuk akal itu.



"Apa sih? Udah deh. Diem. Aku mau bantu lepasin kamu," ucapku agak keras saking gemasnya karena Liam tak kunjung menghentikan gerakan badannya.



Sekuat tenaga, aku berusaha melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangan Liam. Jujur, aku akui ikatan ini sangat kencang. Tanganku bahkan sampai sakit karena berkali-kali menariknya. Belum lagi, Liam yang masih juga bergerak tak tentu arah dan sesekali berteriak.



"Liam, diem dong. Kamu mau bebas apa enggak sih? Aku lagi bantuin kamu, lho," ketusku sambil terus berusaha membuka ikatan tali itu.



Namun, aku baru menyadari saat tanpa sengaja sinar matahari menyorot area simpul tali itu. Tali mati. Pantas saja sulit dibuka. Aku butuh benda tajam untuk memotong talinya karena sudah tak mungkin lagi kubuka secara manual dengan tangan.



Aku menoleh ke kanan dan kiri, bahkan berkeliling gudang. Mencari benda yang cukup tajam, yang kira-kira bisa digunakan untuk memotong tali ini. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah pisau kecil di sudut gudang. Aku pun membawa benda itu menuju kursi Liam.



Namun, bukannya duduk diam dan menungguku, ia malah bergerak-gerak dengan liar hingga ia jatuh bersama kursi yang ia duduki.



"Jangan deket-deket!" pekiknya yang membuatku terdiam sejenak, lalu kembali melangkah ke belakang tubuhnya.



"Enggak usah ngomong yang aneh-aneh. Mau seharian di sini?" tanyaku geram. Rasanya, ingin kucubit ginjal lelaki itu. Dari tadi aku selalu gagal memotong talinya hanya karena Liam yang terlalu banyak bergerak.



"Lepasin!"



"Iya. Ini lagi mau dilepasin. Makanya diem du-"



"Alya?"



Gerakanku seketika terhenti saat mendengar suara Naven. Aku segera menoleh dan mendapati lelaki itu ada di ambang pintu gudang. Menatapku dengan sorot mata tak terbaca.


Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang