5. BOTOL KECIL

7 3 0
                                    

Pesta malam itu langsung ditutup begitu saja. Bahkan waktu belum menunjukkan pukul sepuluh malam. Kali ini aku duduk di dekat pos satpam, menunggu mobil ayah yang akan menjemputku dan Naven. Sebenarnya, aku bisa-bisa saja duduk dan bergabung di antara teman-temanku yang lain di dekat lapangan parkir. Namun, Naven memintaku duduk di sini. Katanya agar aku lebih mudah dicari.

Ya, ada benarnya juga.

Namun, nyatanya aku malah duduk sendirian di sini karena Naven masih berada di dalam gedung tempat pesta tadi dilangsungkan. Ia dipanggil masuk kembali untuk memberikan keterangan karena menurut beberapa orang, Naven berada cukup dekat dengan Liam saat kejadian.

Ah, entahlah. Aku pun tak ingin memikirkannya lebih jauh. Aku hanya ingin pulang karena udara terasa semakin menusuk malam ini.

Aku semakin merapatkan jaket yang Naven berikan padaku sebelum tiba-tiba mobil ayah melaju memasuki area sekolah. Aku pun segera bangkit dari kursi yang aku duduki dan beranjak mendekati mobil ayah saat mobil itu berhenti cukup dekat dengan pos satpam.

“Mau langsung pulang?” tanya ayah saat kaca samping mobil benar-benar terbuka.

Aku mengangguk. “Tapi nunggu Naven dulu sebentar, Yah. Naven-nya masih di dalem,” jawabku sambil menunjuk gedung serbaguna sekolah dengan daguku.

Tatapan ayah mengikuti arah daguku. Lalu ayah kembali menatapku. “Emang dia lagi ngapain?”

Aku hanya mengedikkan bahu. “Naven bilang Alya nunggu di sini aja,” ujarku setengah berbohong. Aku tak mau dicecar berbagai pertanyaan jika ayah tahu Naven di sana untuk memberi keterangan kepada pihak kepolisian.

Mendengar jawabanku, ayah hanya mengangguk-angguk, kemudian kembali berkata, “Ya udah. Kalau gitu Ayah putar balik dulu, ya. Sekalian parkir. Nanti Ayah ke sini lagi, nemenin kamu.”

Aku menjawab dengan sebuah anggukan dan kembali ke kursi yang tadi kududuki sambil menunggu ayah dan Naven datang.

Selama menunggu, mataku menatap sekitar. Ada yang tampak pucat pasi, ada yang masih cukup histeris saat berbagi cerita dari apa yang mereka lihat, ada juga yang sepertinya sedang membuat story Instagram. Entah untuk apa. Mengabadikan momen? Aneh.

Namun, ternyata sebelum aku selesai menyisir seluruh penjuru sekolah dan sebelum ayah datang, Naven sudah lebih dulu berdiri di sampingku. Kini ia tengah tersenyum menatapku.

“Udah?” tanyaku sambil balas menatapnya. Naven pun mengangguk. “Ya udah. Ke parkiran yuk. Ayah udah nyampe dari tadi. Tadinya mau parkir, terus balik ke pos satpam buat nungguin kamu juga. Eh, kamu udah di sini duluan,” terangku. Entah kenapa, aku seolah sudah begitu terbiasa menjelaskan segalanya sebelum Naven mempertanyakannya.

Mendengar ucapanku, Naven terkekeh dan mengulurkan tangannya. “Ya udah. Yuk. Udah malem juga,” ucap Naven.

Aku menyambut uluran tangannya dengan senang hati, kemudian membiarkan Naven menggenggam tanganku dengan cukup erat. Kami pun berjalan menuju lapangan parkir. Mendekati salah satu mobil di mana ayahku baru saja keluar dan menutup pintu mobil.

Dari kejauhan, tampak ayah tersenyum ke arah kami. Membuatku secara otomatis melangkah lebih cepat menujunya.

“Ternyata Ayah kalah cepet,” ucapnya berseloroh sambil tertawa kecil saat aku dan Naven menghampirinya. Membuatku dan Naven ikut tertawa sejenak.

Lalu, saat tawa perlahan berganti keheningan, aku pun berujar, “Pulang, yuk. Dingin nih.” Aku berujar sambil mengusap-usap lengan jaket Naven sebagai simbol bahwa aku mulai kedinginan.

Ayah pun mengangguk dan menyuruh kami masuk. Seperti saat berangkat, aku duduk sendirian di belakang, sementara Naven duduk di depan, bersebelahan dengan ayah. Padahal aku ingin sesekali duduk di depan jika hanya pergi bertiga seperti ini. Tapi, ya sudahlah.

Tak lama, mobil pun mulai melaju menjauhi lapangan parkir dan keluar dari area sekolah. Selama beberapa menit, mobil dilingkupi kesunyian. Hanya deru mesin mobil dan suara kendaraan lain di sekitar yang terdengar.

“Tumben jam segini udah kelar. Biasanya baru selesai pukul sepuluh malam,” tanya ayah memecah keheningan.

Aku yang sedari tadi asyik melihat-lihat beranda Instagram, mengangkat wajahku. Menatap ayah dari kaca spion depan. Sementara Naven tetap diam. Tak terlihat gestur akan menjawab pertanyaan ayah.

Aku pun mengedikkan bahu. “Tadi di pesta tiba-tiba Liam muntah darah,” ucapku santai.

“Kok bisa?” tanya ayah lagi.

“Mana Alya tau, Yah. Kalau Alya tau, udah Alya kasih tau ke polisi,” balasku santai.

“Kamu enggak takut, Al?”

Aku meneleng menatap spion depan saat ayah melirik ke arah yang sama. “Apa yang mesti ditakutin?”

Seketika ayah menggelengkan kepala.

Memang ada yang salah dengan jawabanku?

Kesunyian kembali menelan kami. Namun, kali ini aku tak membiarkan kesunyian menenggelamkan kami dalam waktu lama. Aku segera menatap Naven.

“Naven tadi di dalem ngapain aja?” tanyaku penasaran. Aku ingin tahu apa yang terjadi di dalam gedung serba guna saat hampir semua orang berada di luar gedung.

Naven menoleh padaku. “Bukan apa-apa, Al. Cuma ditanya-tanya,” jawabnya santai.

“Tapi kamu enggak kenapa-kenapa, 'kan? Cuma jadi saksi?” tanya ayah menyerobot. Sepertinya ayah sama penasarannya denganku.

Tampak Naven mengangguk. “Kebetulan Naven ada di sana aja, Yah. Jadinya ditanyain deh. Kalau boleh milih sih, Naven milih enggak deket-deket situ pas kejadian. Biar enggak jadi saksi, hahaha,” seloroh Naven yang membuatku dan ayah tertawa.

Tak terasa, kami sudah sampai di rumahku. Kami pun turun dari mobil setelah mobil ayah berhasil masuk ke garasi.

Aku baru saja akan mengajak Naven masuk barang sejenak sebelum ia kembali ke rumahnya. Namun, ternyata Naven berhasil mendahuluiku.

“Aku pulang dulu, ya. Udah malem,” pamitnya sambil tersenyum.

Kubalas senyumnya. “Enggak mau mampir dulu? Makan camilan apa, gitu?”

Naven terkekeh, lalu menggeleng sambil mengacak rambutku yang tergerai. “Mumpung masih jam segini. Aku mau main game dulu,” ujarnya.

Pada akhirnya, aku hanya bisa mengiyakan ucapannya dan membiarkan Naven pulang begitu saja melewati pintu samping rumah. Pintu itu memang sengaja dibuat oleh ayah. Ada juga pintu pagar yang menghubungkan rumahku dan Naven. Tentu itu diciptakan dengan persetujuan dua keluarga. Kata ayah, biar mudah kalau suatu hari ada apa-apa.

Setelah Naven benar-benar menghilang dari pandangan, aku pun membalik badan dan berjalan menuju kamar. Sebelumnya, aku mampir ke dapur untuk mengambil sebuah susu kotak kecil.

Sesampainya di kamar, aku melepas segala atribut yang kukenakan. Kukembalikan sneakers-ku ke rak sepatu. Meletakkan tas kecilku di atas meja. Dan segera mengganti dress dengan baju tidur yang nyaman. Setelahnya, aku pun menidurkan diri di ranjang.

Aku menatap langit-langit kamar yang polos. Hanya pendar lampu yang ikut mewarnainya, selain warna cat. Aku menatap jam di atas meja belajarku. Pukul sepuluh malam.

Mataku seketika menatap tas yang tergeletak di samping jam. Aku segera bangkit dan beranjak mendekati meja. Aku pun mengeluarkan seluruh isi tas ke atas meja dan memindahkan tasku ke tempat di mana aku biasa menyimpannya.

Namun, saat aku setengah menggeret tas itu dari atas meja, tiba-tiba terdengar bunyi bergemeletuk. Seperti ada sebuah benda kecil yang menghantam meja. Aku pun memindai seluruh benda di meja. Hingga aku menyadari, ada sesuatu yang ikut tertarik oleh selempang tasku.

Sebuah botol kecil berisi bubuk putih yang entah apa.

Memangnya aku punya benda seperti ini? Lagi pula, benda apa ini?

Aku mencoba membukanya dan menciumnya dari jauh. Namun, tak ada aroma yang berhasil kucium.

Ah, mungkin aku saja yang lupa benda milikku sendiri.

Aku pun memutuskan untuk segera bergelung di bawah selimut dan menuju alam mimpi setelah meletakkan benda itu dan tasku di tempat lain.

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang