7. NEW FAVORITE PLACE

6 3 0
                                    

"Siapa yang berani ngotorin meja gue?"



Para siswa yang berkerumun di sekitar kami, mendadak hening. Tak terdengar bisikan-bisikan mereka tentang apa yang sedang mereka lihat di meja kami. Tak satu pun di antara mereka yang sepertinya berniat untuk membereskan kekacauan itu. Bahkan kali ini, deru napas Naven yang memburu, terdengar dengan begitu jelas.



Aku menatap Naven dalam. Menyentuh tangannya dan berharap itu dapat meredakan emosinya. Ya, walaupun aku tahu. Naven bukanlah orang yang andal dalam menahan emosi. Namun, setidaknya aku menahan agar ia tak meledak di sini.



Saat jemariku menyentuh lengannya, Naven seketika menoleh dan menatapku. Raut wajahnya sangat jauh berbeda. Ia yang sedari tadi memasang wajah garang, kini menampilkan wajah penuh senyuman lebar padaku. Membuatku mengerutkan kening, bertanya-tanya.



Tak lama, Naven kembali menoleh ke sekitar. "Hari ini, siapa yang piket?" tanyanya tanpa ekspresi dan tampak dingin. Membuat beberapa gadis yang ada di pojok ruang kelas, angkat tangan dengan takut-takut.



Melihat itu, Naven mengangguk. "Tolong bersihin semua ini. Jangan sampai aku nemu ada sisa tanah sedikit pun," ujarnya dingin. Membuat para gadis itu mengangguk cepat. Setelahnya, Naven, segera menarik tanganku keluar dari kelas dan kembali menembus kerumunan yang kini jauh lebih mudah terbelah.



"Ven, kita mau ke mana?" tanyaku saat kami berhasil keluar dari kerumunan. Namun, Naven hanya terdiam dan terus menarikku. Membawaku menaiki tangga yang ada di dekat kelas yang menuju ke lantai atas.



"Naven," panggilku lagi saat kami sudah melewati lantai dua dan beranjak ke lantai ketiga. Hingga akhirnya di pertengahan tangga, Naven menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatapku tanpa melepas pegangan tangannya.



"Kita mau ke mana sih?" tanyaku lagi, penasaran.



Naven tersenyum. "Ke tempat yang aku yakin bakalan jadi tempat favorit kamu yang lain, setelah hari ini. Yuk." Ia kembali menarik tanganku. Membuatku mau tak mau mengikutinya dengan isi kepala penuh tanda tanya.



Apa yang spesial dari tempat yang akan kami datangi?



Lagi pula, memang aku pernah punya tempat favorit? Maksudku, ya ... aku memang sering menyambangi satu dua tempat tanpa alasan yang jelas. Aku tak begitu ingat kenapa aku ke sana dan apa yang aku rasakan di sana. Aku hanya ingat bahwa aku sering menemukan diriku di sana. Entah untuk apa.



Setelah mengucapkan kalimat itu, Naven kembali menarikku. Membuatku kembali beranjak menuju lantai teratas sekolah ini yang juga dimanfaatkan sebagian untuk dijadikan green house-info itu kudapatkan dari beberapa teman sekelas yang sudah pernah ke sana. Aku sendiri, baru pertama kali ini. Ini pun hitungannya karena terpaksa dan dipaksa.



Tak lama, mataku menangkap bayangan sebuah pintu di depan kami. Dengan cekatan, Naven memutar kenop pintu itu dan mendorongnya pelan hingga terbuka sepenuhnya. Menampilkan hamparan lahan yang setengah terisi tanaman dalam sebuah rumah kaca sederhana.



Naven kembali mengajakku beranjak. Menarikku menuju sebuah rumah kaca kecil yang berisi banyak tanaman. Dari luar, tampak berbagai tanaman berwarna-warni menghiasi di dalamnya. Mulai dari yang digantung, hingga yang diletakkan di berbagai tempat yang tersedia.



Tanpa kesulitan yang berarti, Naven pun membuka pintu green house tersebut dan mengajakku masuk ke sana. Seketika membuatku memandang berkeliling.



"Gimana? Suka?" tanya Naven yang entah sejak kapan sudah melepas tanganku. Membuatku juga tanpa sadar sudah melangkah meninggalkannya di belakang.



Aku berbalik dan tersenyum padanya. "Kenapa kamu enggak pernah ajak aku ke sini?" protesku sambil mengerucutkan bibir.



Hal itu membuat Naven tergelak. Ia segera mendekatiku, kemudian mengacak rambutku, pelan. "Belum nemu waktu yang pas aja," katanya santai sambil terus memandangku. "Mulai sekarang, kalau kamu ada masalah atau bingung mau ngapain dan lagi enggak ada aku, kamu bisa ke sini biar enggak bosen di kelas," imbuhnya.



Aku hanya mengangguk.



Selesai mengamati sekitar, pandangan mataku tertarik pada tepian lantai atas yang ditutup teralis itu. Tanpa memohon izin, aku segera melangkah ke sana. Mencoba melongok ke luar teralis.



"Kalau mau bunuh diri, tinggal jebol aja teralisnya. Abis itu terjun," ujar Naven tiba-tiba sambil terkekeh. Membuatku langsung memukulnya pelan.



"Bercandanya enggak lucu."




***




Begitu banyak hal yang terjadi hari ini. Dan itu cukup membuatku lelah, hingga aku memutuskan untuk langsung tidur siang ketimbang beraktivitas kembali seperti biasanya. Bahkan aku tak peduli jika tubuhku masih terbungkus seragam rapi. Toh besok tidak dipakai lagi.



Namun, baru saja aku hendak menutup mata dan terlelap, tiba-tiba saja suara halus bunda menyisip masuk ke telingaku. Membuatku mau tak mau kembali melebarkan kedua bola mataku demi bisa menatap bunda dengan jelas.



"Eh, anak Bunda lagi tidur ternyata. Bunda ganggu, ya?" tanya bunda yang kini sudah berada di sisi ranjangku.



Aku hanya menjawab pertanyaan bunda dengan sebuah senyuman. Entah senyum apa. Aku pun tak tahu karena itu hanyalah sebuah senyum spontan yang kuhasilkan karena tak tahu harus menjawab apa.



Tangan bunda yang halus, mengusap rambutku perlahan, setelah bunda duduk di sebelah tubuhku, di tepi ranjang. "Gimana sekolahnya tadi?" tanya bunda kemudian.



"Hmm ... ya gitu-gitu aja, Bun. Enggak ada yang berubah," ucapku berbohong. Mana mungkin aku berani mengatakan bahwa ada yang mengotori meja kami dengan tanah? Bunda pasti akan bertanya macam-macam jika itu terjadi. Bunda juga pasti akan menginterogasi Naven.



Padahal, di mataku, kejadian tadi mungkin hanya ulah orang iseng atau semacamnya. Tak ada yang perlu aku besar-besarkan.



"Oh iya. Malam ini enggak ada acara, 'kan? Atau mungkin, tugas sekolah?" tanya bunda lagi yang membuatku seketika mengernyit.



"Tugas sih ada, Bun. Tapi bukan buat besok. Emang kenapa?"



Bunda tersenyum lebar. "Keluarganya Om Wisnu ngajakin makan bareng di luar. Kamu mau ikut, 'kan?"



"Naven ikut juga?" tanyaku seketika yang langsung diangguki oleh bunda. "Oke deh. Kalau Naven ikut, Alya juga ikut," sambungku, memberi jawaban.



Bunda tersenyum dan mengacak rambutku. "Ya udah. Mandi gih. Nanti siap-siap."



Seketika aku melihat jam beker di meja belajarku. "Masih pukul tiga, Bun. Buru-buru amat," protesku yang masih malas beranjak dari tempat tidur.



"Kan biasanya kamu kalau siap-siap suka lama banget," ucap bunda sambil terkekeh dan berjalan menuju pintu kamarku.



Aku hanya bisa memanyunkan bibir sambil menatap bunda dengan tatapan kesal. Namun, sepertinya itu malah membuat wanita kesayanganku itu tambah senang. Bisa dilihat dari senyumnya yang makin mengembang lebar.



Bunda akhirnya keluar dari kamarku. Dan detik itu juga, aku meraih ponsel yang kuletakkan di nakas samping tempat tidur. Aku mencari nama Naven di daftar perpesananku. Saat menemukannya, aku mulai mengetik. Namun, sepertinya aku masih kalah cepat dengan Naven.



Belum ada separuh pesanku tertulis, tiba-tiba sebuah pesan dari Naven masuk ke ponselku.




[Nanti malam pake gaun navy yang waktu itu kamu beli sama aku, ya]


Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang