2. FIRST DAY IN NEW CLASS

17 4 0
                                    

“Udah siap, Sayang?”

Aku menoleh dan mendapati bunda sedang menatapiku dari atas hingga bawah dengan senyum terkembang. Aku kembali meneliti penampilanku. Seragam putih abu-abuku sudah rapi. Dasi pun sudah terpasang rapi, melingkari area leherku. Sepasang sepatu pun sudah melingkupi kakiku dengan sempurna.

Kembali kutatap wanita yang belum beranjak dari pintu. Aku pun mengangguk padanya. Senyum bunda tampak makin lebar. “Jangan lupa bukunya,” peringat bunda.

Aku pun mengangguk mantap. “Iya, Bunda. Udah ada semua kok di tas. Kalau enggak percaya, cek aja sendiri,” ucapku setengah kesal. Bunda memang selalu seperti itu. Mengingatkanku bermacam hal secara berulang dalam waktu yang berdekatan.

Mendengar jawabanku, bunda justru tertawa pelan. Entahlah apa yang bunda tertawakan dari jawabanku.

“Ya udah. Berangkat gih. Naven udah nungguin tuh di depan,” balas bunda sambil menunjuk ke luar kamar dengan dagunya. Sementara aku menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Sekali lagi, kutatap pantulan diriku di cermin sebelum akhirnya mengambil sebuah tas punggung berukuran sedang. Isinya cukup banyak. Ada buku pelajaran, buku tulis, dan buku catatan khusus yang tentu saja tidak banyak diketahui oleh teman-temanku. Yang mereka tahu, aku hanya senang menulis. Dan itu cukup menjadi alasan kuat bagiku.

“Alya berangkat dulu, Bunda. Assalamu'alaikum,” pamitku yang segera dibalas dengan salam oleh bunda.

Aku bergegas keluar rumah saat mendapati Naven sudah duduk di motor besarnya. Saat sampai di depan lelaki itu, seketika aku tersenyum canggung.

“Maaf. Nunggu lama, ya?” tanyaku sambil mengusap tengkuk.

Terdengar tawa pelan darinya. “Enggak lama kok. Baru setengah jam.”

“Hah?” Seketika aku melotot. Namun, Naven justru tertawa tebahak-bahak.

“Bercanda, Alya. Ya kali aku nungguin kamu segitu lamanya. Baru beberapa menit kok. Udah siap, 'kan? Nih,” ucapnya sambil mengulurkan sebuah helm padaku.

Mendengar jawabannya, aku mengerucutkan bibir. Benar-benar lelaki menyebalkan. Kenapa pula aku bisa bertahan berteman dengannya? Bahkan kata bunda, aku berteman dengannya sejak aku masih pakai popok. Ya ampun. Aku tak menyangka.

“Naven,” panggilku.

“Apa?” jawabnya sambil bersiap menyalakan mesin motornya.

“Ih, tolong pasangin ini,” ucapku sambil berkali-kali menepuk bahunya agar ia menoleh padaku. Lalu setelahnya, menunjuk strap helm yang belum kupasang.

Namun, lagi-lagi Naven terbahak. “Astaga, Alya. Kirain kenapa. Kapan kamu bisa pasang strap helm sendiri, hm?” tanyanya sambil mengulurkan tangan, membantuku memasang strap helm yang kukenakan.

Seketika aku mengaduh saat ia memukul helm yang kupakai, setelah selesai memasangkan strap-nya.

“Naven ih!”

Kembali Naven terbahak. Sepertinya, hobi lelaki satu ini adalah menjahili dan menertawaiku.

“Udah, ayo naik. Keburu siang. Nanti kita telat. Malu-maluin banget. Hari pertama jadi kakak kelas malah telat,” ucap Naven sambil menyalakan mesin motornya.

Tanpa banyak berkomentar, aku beranjak menaiki jok belakang motornya dan mencoba menyamankan diri. Tak lama setelahnya, Naven pun melajukan motornya keluar dari kompleks perumahan kami dan membelah jalanan ibu kota, menuju sekolah.

****

“Lengket amat kayak perangko.”

“Udah jadian belom nih? Pajak jadiannya mana nih?”

Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu hanyalah segelintir kalimat yang berhasil kuingat pagi ini, sesampainya di sekolah. Aku tak tahu kenapa. Namun, hampir sepanjang perjalanan dari lapangan parkir menuju kelas, aku selalu mendengar kalimat-kalimat seperti itu. Jujur saja, rasanya aku ingin protes. Namun, Naven selalu bilang untuk membiarkan mereka.

“Mereka itu cuma bocah kurang kerjaan yang kurang hiburan, Al. Enggak usah dipikirin, apalagi diambil hati.” Begitu kata Naven padaku. Dan aku selalu berusaha mengingat ucapannya itu.

Langkah kami berhenti di depan kelas XI MIPA 2. Dari luar saja, kelas ini tampak begitu ramai walaupun yang kulihat, hanya ada beberapa orang di dalam kelas.

“Ini kelas kita?” tanyaku pada Naven yang masih menggenggam tanganku dengan erat.

Lelaki itu menoleh dan mengangguk. Tak lupa, sebuah senyum ia lemparkan. Seolah itu sebuah kode bahwa semua akan baik-baik saja. Walau aku tak begitu yakin saat melihat betapa rusuhnya orang-orang di dalam sana.

Apa mungkin aku akan betah di sini?

Kami pun memasuki kelas. Naven langsung menyapa seorang lelaki berbadan cukup tegap berisi. Aku pribadi tak mengenalinya—atau mungkin aku lupa. Namanya pun baru kuketahui saat Naven menyapanya dan lelaki itu merespons.

“Wah, sekelas lagi kita?” tanya lelaki itu sambil menyalami Naven dengan cara para lelaki—adu lengan.

Naven mengangguk. “Enggak nyangka juga gue bakal sekelas sama lo lagi, Gas,” balasnya sambil meninju pelan lengan lelaki yang kuketahui bernama Bagas, setelah berhasil membaca name tag-nya.

Lalu, pandangan Bagas beralih padaku. Ia mengernyit sebentar, sebelum akhirnya bertanya pada Naven sambil menunjukku. “Dia sekelas sama kita juga?” tanyanya.

Lagi, Naven mengangguk. Membuat Bagas menggeleng kecil sambil mendecak pelan. “Gila. Bahkan gue yang punya kembaran aja enggak selalu bisa sekelas. Ini kalian udah macem perangko sama lem. Bareng mulu,” ujarnya sambil tertawa yang dibalas tawa pula oleh Naven.

Aku mati kutu di sini. Aku segera menepuk pelan bahu Naven. Membuat lelaki itu menoleh ke arahku. “Kita duduk di sebelah mana?” tanyaku. Aku mencoba memberi isyarat bahwa aku ingin segera duduk dan menjauh dari Bagas. Dan semoga saja Naven memahami itu.

“Terserah kamu aja mau sebelah mana. Asal bukan di depan banget,” balasnya sambil melepaskan genggaman tangannya. Seketika aku bernapas lega.

Terima kasih, Tuhan. Engkau memberikan kepekaan yang luar biasa pada Naven.

Setelah berpamitan singkat, aku segera menjauh dari mereka dan mencari meja kosong yang bisa aku dan Naven tempati.

Setelah mataku menyisir seluruh sudut kelas, aku berjalan menuju sebuah meja yang berada di pinggir, menempel dengan tembok dan berada di baris tengah. Tampak di meja belakang, seorang gadis sedang asyik membaca novel sambil mengulum permen.

“Halo,” sapaku pelan. Jujur, ini kali pertama aku memulai percakapan dengan orang baru. Seingatku, aku selalu membiarkan Naven menjadi juru bicaraku di mana pun dan kapan pun kami berada.

Tak lama, siswi itu mengangkat kepalanya dan kini menatapku. “Ya?”

“Mm ... meja yang ini udah ada yang nempatin belum?” tanyaku sambil menunjuk meja incaranku.

Namun, gadis itu mengedikkan bahu. “Belum kayaknya. Belum ada tasnya, 'kan, di situ?” ujarnya santai, cenderung tak acuh dan ketus.

Aku menggeleng tegas.

“Ya udah. Berarti di situ kosong. Tapi enggak tau juga ya. Kalo tiba-tiba ada yang dateng dan bilang itu meja mereka, ya tinggal pindah,” terangnya masih dengan nada bicara yang begitu santai. Bahkan kini ia menjawab tanpa menatapku sama sekali.

“Oh, oke kalau gitu. Makasih, ya.”

Ia hanya mengangguk. Tampak begitu khusyuk dengan bacaannya.

“Mm ... namaku Alya. Nama kamu siapa?” tanyaku sambil mengulurkan tangan. Mencoba mengajaknya berkenalan. Aku tak mungkin hanya berkutat dengan Naven, bukan?

Kali ini gadis itu kembali menatapku. Ia menatapku untuk beberapa saat dan beralih menatap tanganku yang masih terulur. Kupikir, ia akan menolak jabatan tanganku. Namun, tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan yang agak dingin menggenggam tanganku.

“Rifa.”

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang