8. ROOFTOP

6 2 0
                                    

Kelas jauh lebih hening dari hari-hari biasanya. Padahal, ini sudah terhitung dua hari sejak kejadian tanah di meja kami waktu itu. Namun, semua seolah memilih bungkam jika sudah melihatku maupun Naven muncul di kelas.



Ya, kuakui itu membuatku cukup nyaman. Karena biasanya kelas ini sangat ribut dalam berbagai hal. Apalagi jika sedang jam kosong. Bahkan kelas ini sudah hafal bunyi langkah guru yang pasti akan menegur seisi kelas saking ramainya.



Namun, situasi seperti ini juga lama-lama membuatku canggung. Rasanya asing. Mungkin ini yang selalu orang bilang dengan perasaan seperti kita berada di suatu tempat baru tanpa ada satu pun yang mengenali kita. Mau menyapa pun harus berpikir ratusan kali.



Pagi ini aku datang ke kelas seorang diri. Naven berkata jika ia harus menemui salah satu pengurus OSIS. Ada hal yang harus dirundingkan, katanya. Entahlah itu apa. Aku pun tak mau ambil pusing, apalagi terlalu ingin tahu. Toh aku juga tak terlibat dalam urusan mereka.



Aku kembali tergugu saat kudapati setangkai bunga mawar yang tampak masih segar dan sebuah amplop lusuh kutemukan di atas mejaku. Kutatap seisi kelasku. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang melihatku. Jangankan melihat. Mungkin melirik pun tidak. Kupikir, tak mungkin salah satu dari mereka.



Kuletakkan tasku di kursi dan kuraih amplop lusuh itu. Ada bercak kecokelatan di beberapa bagiannya. Namun, sepertinya itu bukan bekas tanah. Aku segera membuka amplop tersebut dan mengambil lembaran kertas di dalamnya.



Kertasnya masih cukup bagus. Hanya saja, tampak sedikit kotor di beberapa sisi. Kubuka lipatan kertas itu, hingga mataku menangkap deretan kalimat yang tertulis di sana. Tintanya tergores tipis, tapi masih berhasil kubaca.



Hai kamu.


Rasanya sudah sangat lama aku tak menyurati teman baruku ini.


Sebenarnya, surat ini kukirimkan karena aku ingin mengajakmu bertemu. Apakah kamu mau?


Kalau kau mau, aku menunggumu di lantai teratas sekolah ini.


Rooftop, pukul 14.00, tepat setelah pulang sekolah.


Dan kuharap, kamu berkenan untuk datang ke sana sendirian. Ketahuilah. Aku cukup pemalu. Apalagi dengan lelaki tampan seperti temanmu itu.


Terima kasih sebelumnya, jika kamu mau datang.


Kutunggu dirimu nanti.


Sampai jumpa, temanku.



Aku terdiam. Memikirkan segala kemungkinan tentang siapa yang mengirimkan ini padaku. Naven? Mana mungkin. Bunga ini bahkan masih segar dan Naven berangkat bersamaku. Tapi, tak ada lagi yang dekat denganku. Ya, ada beberapa. Namun, rasa-rasanya mereka tak mungkin sampai perlu repot-repot mengirim surat padaku.



Saat aku masih menekuri pikiranku tentang siapa pengirim surat dan bunga ini, ekor mataku menangkap bayangan sosok Naven yang masuk ke kelas. Segera kulipat kembali kertas itu, memasukkannya ke amplop, dan menyembunyikannya di laci. Entah kenapa aku melakukan itu. Padahal kalau kupikir-pikir, Naven pasti mau membantuku mencari tahu siapa pengirim surat tak bertuan ini.



"Bunga dari siapa?"



Aku segera menoleh dan mendapati Naven sudah duduk di sampingku. Ia memandangku dengan tangan kiri menyangga kepalanya.



"Eh? Ini?" tanyaku gelagapan sambil mengangkat pelan bunga yang masih tergeletak di meja.



Naven mengangguk, mengiyakan. Aku terdiam sejenak. Jawaban apa yang harus kuberikan?

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang