4. TRAGEDY

7 3 0
                                    

Aku baru saja menyelesaikan ritual mandiku sepuluh menit yang lalu. Langsung kubungkus rambut basahku dengan handuk kecil yang biasa kugunakan untuk mengeringkan rambut, setelah selesai mengenakan baju.

Kini aku duduk di depan meja belajar. Mengeluarkan sebuah buku catatan dengan sampul berwarna pastel polos dari dalam tas dan meletakannya di atas meja. Buku ini sengaja kuberi tanda. Jadi saat akan membukanya, aku tak perlu bingung atau harus repot-repot membuka dari awal dan mencari halaman yang masih kosong.

Di halaman kosong itu, aku mulai menuliskan apa yang baru saja terjadi hari ini. Aku mencoba kembali mengingat apa saja yang terjadi hari ini. Dalam lima menit, aku berhasil menulis kisah tentang aku yang makan mi ayam di kantin sekolah—yang katanya paling enak, walau aku pun tak yakin dengan itu—dan minum bergelas-gelas air putih. Namun, saat tulisanku mencapai tanda titik, aku terdiam.

Apa yang membuatku menenggak bergelas-gelas air putih seperti orang kehausan?

Keningku mengernyit berkali-kali. Namun, tak ada yang kudapatkan selain bayangan bagaimana aku minum dengan begitu rakus. Segera aku menggeleng, menghilangkan bayangan itu.

Ingatanku beralih menuju saat di mana aku dan Naven berada di sebuah warung makan. Kumulai ceritaku di buku itu di atas sebuah lembar baru. Aku mulai menuliskan bagaimana gambaran warung makan tersebut dan apa yang kami makan. Namun, lagi-lagi gerakan tanganku berhenti.

Apa ukuran dari kata “ramai”? Aku tak tahu apakah bisa mendefinisikan kata itu pada sebuah warung makan yang tak begitu asing di ingatan. Namun, di satu saat yang sama, aku pun tak tahu pernah merasakan dan melihat lalu-lalang manusia yang cukup cepat di sebuah tempat yang tak begitu luas.

Seketika aku teringat percakapanku dengan Naven tadi sore, setelah ia kembali dari toilet.


****


Aku masih belum menyentuh makananku saat Naven kembali dari toilet sambil membersihkan tangannya dengan tisu. Ia sempat menatapku cukup lama. Mungkin heran karena makananku masih utuh. Namun, kemudian ia tersenyum dan kembali duduk di seberangku.

“Oh iya. Pas di toilet tadi aku baru inget,” ucapnya sambil menarik segelas lemon tea.

Sebelah alisku meninggi. “Inget apa?”

“Besok malem kan ada pesta penerimaan siswa baru. Kamu mau dateng, 'kan? Biasanya kamu paling seneng sama pesta yang meriah gitu,” jelasnya.

Apa iya pesta semenyenangkan itu sampai aku begitu senang berada di dalamnya? Ah, kurasa sekali lagi Naven tengah membuat karangan. Bisa saja dia bilang seperti itu karena dia sendiri pun selalu membayangkan sebuah pesta yang meriah, bukan?

Bagiku, semua yang Naven bicarakan tentang pesta hanya seperti sebuah dongeng. Ada karena diciptakan oleh pikiran kita masing-masing.


*****


Waktu terasa berlalu dengan begitu cepat. Tahu-tahu, aku sudah harus menghadapi malam baru, juga agenda pesta penerimaan siswa baru di sekolah. Aku lupa sejak pukul berapa aku bersiap. Yang pasti, aku sudah mendapati bunda dua kali menengokku di dalam kamar. Seolah tengah memastikan jika aku tidak mati mendadak tanpa sepengetahuannya.

Aku kembali menilik penampilanku. Untuk malam ini, dari beberapa dress yang aku miliki, aku memilih sebuah dress berwarna biru pastel dengan bagian lengan yang menerawang. Kugunakan pula sebuah kalung bermotif bulan sabit. Tadinya aku ingin mengenakan salah satu heels yang aku miliki. Namun, kupikir-pikir lagi, sepertinya akan jauh lebih nyaman jika menggunakan sneakers alih-alih high heels malam ini.

Baru saja aku menunduk untuk mengambil sneakers putihku yang berada di rak sepatu, bagian bawah. Kudengar pintu diketuk dengan irama yang sangat konstan. Aku yakin itu bunda.

“Ya, Bunda?” jawabku langsung tanpa membuka pintu.

Dan benar saja. Bunda langsung membuka pintu kamarku. Kini bunda malah menatapiku dari atas sampai bawah.

“Bunda kenapa?” tanyaku heran sambil berjalan mendekat padanya setelah mengambil sneakers dan tas kecil yang biasa kubawa untuk bepergian.

Tak lama, bunda tersenyum lebar. “Cantik banget anak Bunda,” ucap bunda sambil terkekeh. Tangannya dengan jahil mencubit pipiku dengan cukup keras. Membuatku mengaduh pelan hingga akhirnya bunda melepas cubitannya sendiri.

“Udah siap? Nanti dianter papa, ya. Naven udah nunggu di bawah.”

Aku hanya mengangguk dan kemudian berlalu.


*****


Entah sudah berapa lama aku berada dalam pesta ini. Hari ini aku tahu bahwa pesta cukup membosankan untukku. Padahal Naven bilang pesta ini akan sangat meriah. Apalagi panitia mengundang DJ papan atas malam ini. Namun, bagiku ini tak lebih dari perkumpulan siswa yang diiringi musik keras.

Benar, 'kan, yang aku bilang? Pesta meriah itu hanyalah khayalan Naven. Akal-akalannya. Ia ingin pesta yang meriah, makanya ia mengada-ada. Pesta meriah itu tak pernah ada.

Sejauh ini, aku memilih untuk duduk-duduk di kursi yang disediakan panitia dan mengambil beberapa makanan yang terlihat menarik untuk dicoba. Sementara Naven, entah ke mana perginya. Aku pun tak begitu peduli, sebenarnya. Akhirnya aku bisa agak berjauhan darinya setelah hampir seumur hidup berdekatan dan bersinggungan dengannya. Yang penting nanti aku tak pulang sendiri. Harusnya tak akan jadi masalah.

Aku baru saja akan melahap sebuah stroberi yang baru kuselimuti cokelat yang keluar dari fountain di sudut ruangan saat tiba-tiba pesta yang tadinya bisa dibilang cukup tenang, berubah menjadi ricuh. Saat lagu masih mengalun, beberapa orang mulai berlarian menjauh dari sebuah sudut. Mereka mulai berlarian ke segala arah. Bahkan ada beberapa yang menyenggol tubuhku dengan cukup keras.

Di sana, hampir tak ada orang yang bertahan. Semua mencari tempat berlindung kecuali lelaki itu. Kalau tidak salah, namanya Liam. Siswa yang terkenal badung, anak dari salah satu pengusaha besar di Indonesia.

Meskipun pencahayaannya tak begitu bagus, tapi aku cukup bisa melihat apa yang terjadi padanya di sana. Ia terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perutnya.

Seiring kejadian itu, lambat laun musik terdengar semakin pelan hingga akhirnya tak terdengar lagi. Semua orang fokus pada sosok Liam yang kini mulai bersimpuh sambil memegangi perutnya dan terus mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

Tiba-tiba, terasa sebuah tangan menyentak bahuku. Membuatku langsung menoleh dan mendapati sosok Naven di sisiku. “Ada apa?” tanyanya.

Mengesampingkan bagaimana caranya menemukanku di antara sekian ratus bahkan mungkin ribu siswa dan kekacauan, aku menunjuk ke arah lelaki yang kini tampak terkapar tak berdaya. Belum ada yang berani mendekat.

“Liam,” jawabku singkat yang diangguki Naven. Ia kemudian menoleh pada seorang perempuan di sampingnya dan menanyakan hal yang sama.

“Enggak tau, Kak. Tadi aku lagi mau ngambil minum. Tiba-tiba kakak itu batuh-batuk terus muntah darah gitu. Makanya kita langsung lari.

Mendengar itu, seketika aku bergidik ngeri, sementara Naven mengangguk-angguk santai. Seolah informasi yang ia dengar bukanlah hal serius.

Mungkin setelah hampir lima menit kesakitan seorang diri, ruangan pesta kembali diriuhkan oleh suara para petugas kesehatan sekolah yang akan mengevakuasi Liam.

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang